Unexpected Love - Part 1
Selain gemar nge blog, yang baru-baru aja ini muncul, hobi lain aku adalah nulis cerita. Kalau ini sih bisa dikatakan mirip novel, masalahnya panjang banget hueheehehe. Judulnya unexpected love, dan ide ini tiba-tiba muncul disaat aku lagi butuh temen curhat. Ya, rupanya cuma laptop yang ngerti perasaanku :'D
Cerita ini belum selesai dibuat, baru sampai Part 7, dengan Bahasa Indonesia tentunya, kemarin aku udah bilang kan kalau aku gak terlalu fasih bahasa inggris, ya walaupun bisa sih, tapi kalau pake bahasa inggris, kata-kata yang dipake terbatas menurutku xD
So, cekidot---
“Ms. Claire
harap maju ke depan,”
Tanganku basah, jantungku berdetak
100x lebih cepat dari biasanya. Ada apa dengan nilai Geografiku? Semoga di
ujian kali ini paling tidak aku mendapatkan B. Tak ada hal yang lebih
menyeramkan di banding pembagian Ujian Geografi. Dengan langkah tak pasti telapak
kakiku akhirnya menjejakkan dirinya di lantai kelas yang begitu dingin dan
mengkilap, seolah dibersihkan setiap hari dengan pembersih kaca yang sangat
mahal. Tak terasa kakiku sudah menjejakkan telapaknya di depan meja Mrs. Rosel.
“Ada apa dengan nilai ujianku,
Ma’am?”
Mrs. Rosel tertawa terbahak-bahak
seolah telah melihat tayangan komedi yang terkenal, aku sendiri tidak tau apa
penyebab ia tertawa. Dengan muka cemas aku memandanginya sambil mengelap
tanganku yang basah dengan tisu yang telah kubawa.
“Apa yang kau pikirkan, Hill? Kau
pasti sedang bermimpi,”
“Aku tidak tau apa-apa tentang nilai
ujian Geografiku, Ma’am. Kumohon jangan tuduh aku menyontek, aku benar-benar
jujur saat mengerjakannya,”
Mrs. Rosela bangkit dari duduknya.
Ia maju ke arahku sambil membawa selembar kertas. Aku menghela nafas sambil
menelan ludahku.
“Sampaikan surat ini kepada orang
tuamu,” katanya tenang tapi menghanyutkan.
Aku langsung bingung, tekanan
darahku seolah kembali normal setelah mengetahui yang di bawa Mrs. Rosela
adalah surat, bukan nilai ujian Geografiku.
“Ini surat apa, Ma’am?” tanyaku
santai. “Itu adalah surat pernyataan bahwa kamu resmi menjadi peserta
pertukaran pelajar ke New York,”jawabnya sambil memasang kembali kacamata
kudanya yang sudah dipakai 10 tahun menurutku, herannya hingga sekarang masih
ia pakai. “Apakah aku boleh membukanya?” tanyaku kembali. Mrs. Rosela
mengangguk.
Aku kembali ke tempat dudukku seraya
tak percaya bahwa aku dipilih menjadi peserta pertukaran pelajar. Tiba-tiba
Elisa – sahabat karibku – menepuk pundakku dan duduk di sebelahku.
“Kau hebat, Hill! Aku salut
denganmu! Selamat telah menjadi peserta pertukaran pelajar!” katanya riang. Aku
hanya tersipu sambil terus membaca surat yang diberikan Mrs. Rosela kepadaku.
Di surat itu tertera bahwa aku
menjadi peserta pertukaran pelajar dari London ke New York. Selama kelas 8 dan
9 aku akan sekolah di Minuette Secondary School di New York. Aku akan dibiayai
untuk sekolah disana dan akan tinggal di asrama sekolah itu. Aku juga hanya diperbolehkan
pulang saat libur musim panas, libur natal dan tahun baru, serta libur kenaikan
kelas.
Aku tidak menyangka hal sehebat ini
terjadi kepadaku. Otomatis aku harus mengucapkan selamat tinggal kepada London
dan seluruh bagian di dalamnya. Keluargaku, Elisa, dan kamar tidurku akan
kutinggal selama beberapa lama.
Rasanya senang dan sedih. Beruntung
sekali aku bisa terpilih, namun hal meninggalkan hal-hal yang setiap hari terus
menemaniku itu adalah hal yang terburuk. Namun, apa daya? Aku terima saja hal
itu dengan lapang dada, aku yakin mereka akan merasa senang juga jika aku
pindah ke New York.
--- --- --- ---
Setelah kenyang makan siang di
kantin yang sangat ramai itu, akhirnya aku bisa selamat dari keriuhan nya, aku
langsung menuju ke arah lokerku. Aku menyusuri hingga menemukan namaku, Hillary
Claire, di barisan loker yang terkunci rapat-rapat. Aku membuka lokerku yang
telah aku sisipkan kode didalamnya supaya tidak sembarang orang bisa
membukanya. Aku meletakkan surat itu di dalam lokerku.
“Hai, Hill! Aku sarankan kau
mengganti kode lokermu karena aku sudah mengetahui kode nya,” kata Nigel, anak
yang paling menjengkelkan dan sering menggangguku yang kebetulan lokernya ada di sebelahku.
“Tidak, aku tidak akan menggantinya,
terserah kau saja jika mau membukanya,” kataku acuh tak acuh. Aku masih
mengamati surat yang diberikan Mrs. Rosela tadi sambil tersenyum puas. “Hei!
Surat apa itu?” kata Nigel yang melihatku telah membukanya. “Bukan apa-apa tak
penting,” kataku polos.
“Apa itu undangan peserta pertukaran
pelajar?”Tanya Nigel dengan ingin tahunya. “Emm.. yaa. Bagaimana engkau tahu?”
kataku sambil menutup lokerku lalu berkacak pinggang di depan Nigel. “Tentu
saja aku tahu, aku juga mendapatkan surat itu!” kata Nigel yang tak percaya
jika aku mendapatkan surat yang sama dengannya.
Tekanan darahku sepertinya naik,
memang Nigel itu pandai, jadi ia pantas mendapatkan posisi sebagai peserta
pertukaran pelajar itu, tapi kenapa Nigel juga harus ikut bersamaku? Huuhh… dia
sangat sering menggangguku, bahkan aku senang bisa pindah ke NY karena tidak
akan bertemu Nigel lagi. Tapi? Nigel? Ikut? Arrrgghh!! Rencana gagal semua!
“What the?! Kau juga mendapatkannya?
Ke New York? Minuette Secondary School?” tanyaku tak percaya dengan mata yang
melotot. “Damn Mr. Rick! Yea! I got a same letter like you!” kata Nigel dengan
raut wajah tak percaya. Elisa yang mendengarnya hanya tertawa , “Akhirnya
kalian bisa damai juga,”
Huuhh… kata-kata itu justru
menyindirku. Mengingatkanku pada peristiwa saat aku kelas 6 dulu. Iya sih,
Nigel itu tampan, baik, walau kadang menyebalkan. Jadi, ya, aku sempat
menyukainya. Tapi semenjak Nigel benar-benar menyebalkan lambat laun aku
menjadi sangat benci dengannya. Mau tau ceritanya ya? Oke akan ku ceritakan.
Ceritanya panjang. Saat itu aku
kelas 6 SD dan kebetulan aku satu kelas dengan Nigel. Aku sebangku dengannya
kurang lebih hingga 3 bulan. Dan disitulah aku mulai suka kepadanya. Justru
bukan karena dia perhatian terhadapku, tapi karena kami berdua saling mengejek
dan karena itulah kami menjadi semakin dekat.
Setiap pagi kami biasanya masih
akur, tapi kalau sudah siang atau setelah istirahat kami sudah bertengkar
dengan saling mengejek antara satu dengan yang lainnya. Tak hanya itu, kami
juga saling usil satu dengan yang lainnya. Setiap hari juga Nigel sering
menyanyikan lagu-lagu yang kebetulan juga aku sukai. Aku selalu menyuruhnya
untuk diam dan memberhentikan suaranya yang seperti sinden itu, ya walaupun
aslinya aku suka dengan suaranya dan lagu itu juga menghiburku.
Kedekatan kami lebih terasa saat
orang yang menyukai Nigel selalu curhat denganku. Dan aku selalu menceritakan
hal itu kepada Nigel, tapi Nigel selalu acuh tak acuh tentang itu, ia selalu
menganggap itu bagian dari leluconku. Dan juga yang membuat aku lebih dekat
lagi dengan dia adalah saat aku bertanya tentang cita-cita Nigel. Dia ingin
sekali menjadi pemain bola, ia juga berjanji padaku bahwa ia akan menjadi
pemain bola di klub sepak bola kesukaannya dan juga kesukaanku yaitu Manchester
United.
Nigel juga memberitahuku penyanyi
wanita kesukaannya yaitu Taylor Swift. Karena dia juga aku jadi menyukainya, ia
menceritakan lagu-lagu Taylor yang ia sukai dan juga lagu memberi arti yang
mendalam untuknya. Hingga sekarang aku sangat menyukai Taylor Swift, bahkan ia
adalah tokoh idolaku. Ia juga mengatakan bahwa lagu kesukaannya adalah Love
Story, dan hingga sekarang aku juga menyukai lagu itu. Nigel telah banyak
mengajarkanku tentang hal-hal yang baik, dari situlah aku menyukainya.
Aku belum pernah memberitahu siapa
pun jika aku menyukai Nigel hingga sampai kurang lebih satu tahun, hingga
sampai teman baruku sekarang, Elisa, aku beritahu hal itu. Ia selalu
mendengarkan curhat-curhatanku tentang Nigel.
Tapi, sekarang aku benar-benar benci
dengan Nigel. Dia selalu menggangguku sekarang, semenjak kami kelas 7. Itu
karena pengaruh-pengaruh yang diberikan temannya kepada dia. Sekarang kami juga
jarang bicara, jika ketemu saja kami malah menghindar seperti orang yang tidak
kenal satu dengan yang lain, itu karena Elisa selalu men-ciyeeeee-ku jika aku
bertemu dengan Nigel. Ya dan itulah ceritanya.
“Hill?? Hill? Hei! Ini sudah saatnya
kita class meeting sepak bola! Jangan melamun saja!”kata Elisa tiba-tiba
mengejutkanku. “Hah? Apakah aku melamun?” tanyaku tak percaya. “Iya! Kenapa?
Kau salah tingkah karena akan sekolah bersama dengan Nigel?”tanyanya polos.
“Bzzz.. aku benci sekali! Kenapa harus sama Nigel?!” kataku tak percaya. “Udah
deh, lupain aja itu. Ayo kita nonton pertandingan sepak bola nya,” kataku
sambil menarik Elisa menuju lapangan sepak bola.
--- --- --- ---
“Ya, jadi kalian berdua akan kami
kirim sebagai wakil sekolah untuk menjadi peserta pertukaran pelajar ke New
York,” kata Mr. Clark, kepala sekolahku. “Kalian akan berangkat dalam waktu 2
minggu lagi, jadi siapkan diri kalian,” lanjutnya. Aku hanya bisa menghela
napas, bagaimanapun juga aku tetap harus ikut karena ternyata sekolahku telah
menghubungi orang tuaku dan mereka menyutujuinya.
“Kalian pasti akan kerasan disana,
percayalah,” ujar Mrs. Rosela memberi ceramah kepadaku dan Nigel. Aku pikir
ceramah itu hanya penghibur semata yang benar-benar tidak bermanfaat menurutku.
Nigel menghela napas, “Mengapa harus dengan Hillary Ma’am? Kupikir yang lain
juga bisa,”. Hatiku sakit sekali rasanya. Bagaimanapun juga aku pernah
menyukainya, jadi tentu saja aku sakit hati karena itu.
“Iya, Ma’am, mengapa harus Nigel?
Aku piker Cannadie atau Maddison lebih pantas daripada dia,” kataku
melanjutkan. Aku sangat jengkel, biar saja dia sakit hati. Lagipula dia juga
melakukan itu kepadaku.
“Sudahlah anak-anak, ada apa
sebenarnya dengan kalian?” Tanya Mrs. Rosela. Mrs. Rosela juga bisa disebut
psikolog anak juga karena dia benar-benar mengerti apa yang dirasakan anak-anak
jaman kini. Maka aku merasa sangat nyaman untuk curhat dengan beliau.
“Bukan apa-apa,Ma’am,” kataku lemas
tak berdaya. Aku benar-benar tidak ingin membahas hal itu sekarang. “Aku pulang
dulu ya, Ma’am,”kataku kepada Mrs.Rosela dengan lemas sambil meninggalkan
beliau dan Nigel.
-- -- -- -- -- -- --
“Madam, bantu Hillary untuk
merapikan pakaiannya ya,”kata Mom kepada Madam Ling, pembantuku yang
benar-benar sudah kuanggap teman dekatku sendiri. “Memang Hillary mau
kemana?”Tanya Madam. “Mau pindah,Ma’am ,” kataku santai sembari memasuki
kamarku. Aku lesu sekali saat itu.
Madam Ling kaget. Namun ia sengaja
tidak melontarkan banyak pertanyaan kepadaku. Ia tahu apa yang sedang
kurasakan, tapi pasti ia akan menanyakannya lain kali.
--- --- --- --- --- --- --- --- --- --- ---
Malam itu adalah malam yang sangat
menyedihkan menurutku. Semua temanku menanyakan hal tentang pertukaran pelajar
itu. Elisa sudah meng SMS 230 kali hari ini. Mom sudah ribut mempersiapkan
segalanya untukku. Dad mulai mengangkut koperku yang berat ke dalam mobilnya
supaya besok tidak terburu-buru saat akan berangkat. Madam Ling sibuk mengecek
bawaan yang telah kubawa sudah lengkap atau belum. Joe dan Joey – kedua
adikku-- sibuk bermain sendiri, maklum
mereka masih berumur 2 tahun.
Suram. Itu adalah kata yang dapat
mengekspresikan perasaanku malam ini. Aku tidak bisa tidur malam ini. Semoga
saja besok menjadi awal yang baik bagiku. Dan juga menjadi awal perdamaian
antara aku dan Nigel.
***
So, that's the first part of Unexpected Love.
Hope that u all gonna like it :p
Comments
Post a Comment