Nyenye : [Chapter 3 (Pt. 1)] Lindsay's New Research
Hello guys! Today I bring a good news for you!!♥♥
Here's the 3rd chapter of Nyenye. This chapter was made by Febby and it's divided into two parts - and this is the first part. I hope you guys enjoy! :)xx
***
[The Previous Chapter → Chapter 2 - Rewind]
Chapter 3 - Part 1
Lindsay’s New Research
*Lindsay Ong point of view*
Kegelapan mulai sirna bersamaan dengan datangnya sinar-sinar matahari yang mulai memasuki celah-celah curtain jendela asrama perempuan di IAB. Aku menggeliat dan menguap, membuka kedua kelopak mataku lebar-lebar, mencoba untuk menyingkirkan selimutku yang tebal dari kakiku dan duduk di tepi tempat tidurku. Seperti biasanya, aku selalu melakukan senam sederhana sebelum beranjak meninggalkan pulau kapukku. Kata ibuku, itu dapat meregangkan otot-ototku dan membantunya agar tidak kram, dan kurasa ibuku memang benar.
“Hei, sudah bangun rupanya?” tiba-tiba aku mendengar suara Lotta saat aku membungkuk untuk menyentuhkan jari-jari tanganku ke lantai, aku pun mendongak ke arahnya.
“Loh, Lotta, harusnya aku yang tanya ke kamu. Aku tadi baru saja melihatmu masih tertidur pulas dan malah─mengigau keras,” ujarku sambil tertawa kecil saat mengucapkan dua kata terakhir.Wajah Lotta langsung memerah malu. Bibirnya pun sedikit mengerucut.
“Mengigau apa? Menyebut-nyebut nama Loiz ya?” gurau seseorang dari belakang Lotta yang sebenarnya terdengar aneh dan membingungkan.Lotta membalikkan tubuhnya.
“Loiz?” tanyaku seraya meliukkan tubuhku ke kiri sedikit, melihat Maureen yang sedang bersusah payah mencoba untuk bangun dari tidurnya. Matanya masih menutup.
“Kok bisa sampai Loiz sih?” Lotta memutar kakinya sehingga sekarang dia duduk bersila membelakangiku.
“Ya, iya─kan Encun suka sama Loiz. Mungkin saja─nama Loiz terbawa dalam mimpinya,” jawabnya santai, tak tahu bahwa ia sedang salah menanggapi orang.
“Hayo, lagi mbicarain apa sih? Kok namaku disebut-sebut?” Encun juga mulai terbangun, ia menguap keras, membuat Maureen membuka matanya dan sadar akan kesalahannya.
“Loh, jadi….” Pembicaraannya terputus oleh tawanya, diikuti oleh tawaku dan Lotta. Encun diam kebingungan, melihat ketiga temannya tertawa tanpa sebab.
“Hei, kenapa berisik sekali?” Kami bertiga tetap tertawa geli, tak menghiraukan ucapan Becky.
“Ada apa sih, Cun?” lanjutnya. Aku melihat Encun mengangkat kedua bahunya, tanda tak tahu. Aku semakin tertawa melihat raut wajah Encun yang kebingungan. Dahinya berkerut, salah satu alisnya terangkat, dan mulutnya membuka lebar.
“Hei, hal seru apa yang telah kutinggalkan?” tanya Claire yang baru saja duduk di tepi tempat tidurnya yang berada di paling pojok.
“Ah, sudah, lupakan saja,” kesal Maureen setengah tertawa kecil.Aku mulai berdiri, beranjak mengambil seragamku dari lemari kayu di dekat Claire. Sambil berjalan, aku tersenyum membayangkan penelitianku yang baru. Aku sangat ingin berhasil menyelesaikannya, seperti penelitian-penelitian sebelumnya.
“Kamu kenapa senyum-senyum kayak gitu?” tanya Encun memecahkan bayangan tentang penelitianku.
“Hei, kalian belum menjawab pertanyaanku.” Belum sempat menjawab, Claire sudah menyelaku, dia terlihat berang, tapi aku tak menghiraukannya.
“Hari ini aku mau memulai penelitianku tentang tingkat kejadian menyenangkan dan menyedihkan yang dialami Nye Nye. Kalian tahu kan, kalau aku sudah punya niat ini sejak lama─tapi karena banyaknya PR yang harus dikerjakan, aku jadi belum sempat memulainya. Sekaranglah waktunya yang tepat,” jelasku panjang lebar, penuh semangat.
“Kau terlihat senang sekali─kau suka ya sama NyeNye?”Aku langsung membalikkan badanku, menghadap Becky yang melontarkan ucapan itu. Wajahku cemberut. Tanganku sudah menenteng (?) di pinggang, siap untuk memarahinya.
“Iya, jangan-jangan benar yang dikatakan Becky,” ujar Claire menahan tawanya, tapi akhirnya tawanya meledak, bersamaan dengan tawa teman-teman lainnya di dalam kamar. Bibirku semakin mengerucut.
“Sudah-sudah─tak mungkinlah Lindsay suka dengan NyeNye.” Tiba-tiba terdengar suara Jeanne di sela-sela batuknya. Hanya dialah yang membelaku.
“Benar itu kata Jeanne,” jawabku segera, saat tahu bahwa masih ada orang yang membelaku.
“Jeanne? Kau terlihat pucat,” ujar Claire. Mendengar ucapan Claire, semua orang langsung memperhatikan wajah Jeanne dengan seksama, termasuk aku.
“Iya Jeanne, kamu sakit ya?” tanyaku, mendekatinya dan duduk di tepi tempat tidurnya.
“Sepertinya iya, Lindsay. Badanku terasa sakit semua. Kepalaku juga sedikit pusing,” ujarnya, suaranya serak sekali, ia juga terlihat lesu.
“Lalu, apakah kamu mau tetap bersekolah?” tanya Lotta sambil meletakkan telapak tangannya di dahi Jeanne. Kalian tahu kan, Lotta memang sering disebut dokter di kelasku dan ia selalu menganggap tangannya sebagai thermometer. Tapi sampai sekarang yang kutahu, “thermometer”nya itu selalu diletakkan di dahi, bukan di ketiak. Dan aku yakin ia tidak akan melakukannya.
“Sepertinya tidak, Lotta,” jawabnya lemas.
“Ya, sudah, kamu istirahat saja, nanti aku yang kasih tahu wali kelas,” kata Encun.
“Terima kasih, Encun.”
Tanpa kami sadari, keheningan terjadi beberapa detik.
“Kenapa kalian diam saja?” tanya Jeanne memandang wajah kami satu per satu.“Kalian tidak siap-siap ke sekolah?” lanjutnya sambil melihat jam dinding yang terpasang di depannya. Kami pun ikut menengoknya. Setelah menyadari bahwa jarum jam menunjuk angka enam, kami langsung kembali ke tempat tidur masing-masing, merapikannya. Berbeda dengan aku dan Jeanne. Aku kembali menghadap lemari kayu untuk mengambil seragam sekolahku dan bergegas keluar untuk mandi. Jeanne menarik selimut tebalnya kuat-kuat, agar selimut itu dapat menutupi seluruh tubuhnya, dan ia pun tidur kembali.
***
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa benar-benar tidak ada Gareth dan Jeanne di sekitar kami.
“Aku yakin, NyeNye hari ini akan senang. Jeanne tidak masuk sekolah, berarti Gareth tidak akan berpacaran di sekolah. Dengan begitu, NyeNye dapat kembali bersama Gareth,” seruku sambil terus melangkah bersama kelima teman sekamarku.
“Iya, ya. Benar juga Lindsay. Tapi bagaimana Gareth?” tanya Lotta. Aku yakin sebenarnya ia tahu jawaban dari pertanyaan itu, tapi mungkin ia hanya mencoba menanggapi pendapatku.
“Tentu saja ia sedih. Loiz juga pasti sedih,” jawab Encun segera.
“Cie… Cie…” Becky langsung menyorakinya.
“Apaan sih.” Wajah Encun merona merah di pipinya.
“Hei, kalian. Apa benar Jeanne hari ini gak masuk?” tiba-tiba NyeNye muncul di depan kami. Aku bisa melihat aura wajahnya yang berseri ketika mendengar Claire menjawab, “Iya.”
“Wah, kalau begitu Gareth bisa sama aku lagi dong,” jawabnya senang.
“Hei NyeNye, kok kamu jahat sih? Kasihan Jeanne dong,” ujar Maureen saat melihat raut wajah NyeNye yang terlihat gembira.
“Ya─iya, sih─tapi harusnya kalian juga kasihan sama aku. Sudah berminggu-minggu aku dikacangi, tidak diperhatikan, tidak digagas sama Gareth gara-gara dia pacaran sama Jeanne. Hubungan kami terputus, seperti hati yang terbelah dua. Hidupku jadi hampa tanpa dia.” Ia langsung menggerutu tidak jelas dengan kata-kata puitisnya.
“Berarti itu salah Gareth, bukan salah Jeanne,” marah Becky.
“Kenapa kalian tidak ada yang membelaku?” ujarnya kesal, lalu berjalan meninggalkan kami.
***
Aku terus memandangi NyeNye ─yang sedang duduk di bangku deretan paling kiri─dari kejauhan. Aku bingung, kenapa NyeNye tidak mendekati Gareth yang jelas-jelas lagi sendirian. Bukannya tadi NyeNye sudah merasa senang ketika mendengar Jeanne tidak masuk. Ini sungguh aneh. Jangan-jangan, NyeNye merasa tersinggung dengan kata-kata Maureen tadi. Ia tidak mau dibilang jahat karena senang akan ketidakhadiran Jeanne dan malah mendekati Gareth untuk membujuknya kembali berhubungan.
Aku menghela napas. Dalam hati aku hendak mencari Claire dan teman-teman yang sedang jajan di kantin untuk menanyakan hal itu. Aku menengok ke kanan sebelum berdiri dan beranjak meninggalkan tempat dudukku.
“Eh, Loiz, kamu dari tadi di sini?” tanyaku kaget, melihat Loiz duduk di sampingku dengan wajah sedih dan putus asa.
“Iya, Lindsay,” jawabnya sambil melirik ke arahku sebentar lalu menunduk lagi.
Sejenak aku memerhatikannya, lalu menanyainya, “Kamu kenapa sih? Kok sedih begitu?”
Dia menghembuskan napas, dan menjawab, “Tak apa-apa.”
Aku tahu ia berbohong. Menurutku, Loiz salah satu orang yang tak pandai berbohong. Malah surveiku membuktikan bahwa Loiz adalah anak yang paling lemah dalam aksi “membohongi orang”. Itu hasil penelitianku yang sudah lama kulakukan. Setelah kupikir-pikir lagi, sepertinya itu malah penelitianku yang kedua saat aku duduk di bangku kelas tujuh di IAB, berarti sudah lama sekaliii…
“Jangan bohong, Loiz. Ayo, ceritakan saja─mungkin aku bisa membantu,” ujarku membujuknya untuk mengucapkan yang sebenarnya terjadi.
Dia tetap diam membisu.“Loiz, ayolah. Aku berjanji akan membantumu,” lanjutku. Sebenarnya aku ragu dengan kata “berjanji” yang kuucapkan, karena aku tak tahu apa masalah yang dihadapinya. Tapi menurutku, masalah Loiz sepertinya selalu berhubungan dengan perilaku NyeNye yang selama ini selalu mengacuhkannya. Kalau sampai benar, itu akan membantuku menyelesaikan penelitian baruku. Oleh karena itu, aku sangat berharap ia dapat bercerita kepadaku.
“Sebenarnya begini Lindsay,” ujarnya memulai.
“Hu-uh,” jawabku meyakinkan bahwa aku mendengarnya dengan seksama.
“Aku sudah mulai putus asa dengan NyeNye.”
“Hah? Putus asa?” tanyaku memberhentikan pembicaraannya.
“Maaf, lanjutkan saja,” sambungku segera.
“Aku merasa, NyeNye memang tidak mau berteman denganku. Berkali-kali aku mencoba mendekatinya, menghiburnya saat ia kesepian di tinggal Gareth. Tapi ia selalu bertindak yang sama. Meninggalkanku yang baru menemaninya─semenit.” Aku merasa kasihan dengannya. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia benar-benar sedang dilanda kesedihan.
Memang sih, Loiz dari dulu terlihat ingin berteman dengan NyeNye. Ia selalu mencoba menghibur NyeNye dengan kata-kata alay-nya.
“Dari kelas tujuh, aku memang ingin menjadi temannya. Tapi aku tahu, kesempatanku sangat kecil karena Gareth selalu berada di sampingnya. Namun saat kelas delapan, aku melihat Gareth mulai melupakannya karena ia berpacaran dengan Jeanne, tapi tetap saja tidak membukakan kesempatanku untuk menjadi temannya,” sambungnya panjang lebar.
“Loiz, bukankah kita semua ini teman? Berarti kau dan NyeNye juga teman.”
“Maksudku teman dekat, Lindsay.”
“Oh─jangan putus asa Loiz. Mungkin saja NyeNye sedang sakit hati karena ia ditinggal Gareth, jadi ia tidak mau menerima siapa saja yang mendekatinya."
Aku mulai menghiburnya.
"Tapi ia juga dekat dengan Claire, Lotta, Maureen, dan lainnya. Hanya aku yang tidak diterimanya.”
Ia coba meyakinkanku bahwa pendapatku itu salah.
“Maksudku─terutama bila yang mendekatinya cowok. Mungkin ia trauma dengan sahabat cowok.” Aku mulai mengada-ngada. Aku tak tega melihat raut wajah Loiz yang semakin lama semakin terlihat sedih dan muram.
“Sepertinya tidak,” jawabnya lagi.
“Ayolah Loiz, jangan seperti itu─Lihat! NyeNye lagi sendirian di sana. Coba kamu temani dia,” saranku dengan putus asa juga.Loiz melihat arah jari telunjukku yang menunjuk NyeNye, tapi ia menggelengkan kepalanya.
Aku melihat Claire dan teman-teman masuk ke kelas. Aku memutuskan untuk mendekati mereka saja. Aku sudah mulai putus asa dengan Loiz. Ia sangat sulit dibujuk.
“Ya udah Loiz, aku mau bergabung sama Claire dan kawan-kawan. Kau mau ikut?”
“Nanti saja aku menyusul.”
Aku meninggalkan Loiz yang masih duduk termenung di kursinya. Banyak sekali yang ingin kusampaikan ke teman-teman. Banyak juga yang ingin kutanyakan kepada mereka. Hal itu membuatku sedikit melupakan Loiz. Ya, sedikit. Karena hal-hal yang akan kubahas dengan mereka beberapa juga berhubungan dengan Loiz, tapi kebanyakan memang NyeNye sih.Claire dan teman-teman duduk di bangku bagian belakang kelas. Aku menghampirinya dan langsung duduk bertopang dagu di sebelahnya sambil melihat NyeNye.
“Ngliatin NyeNye?” tanya Becky menggodaku lagi.
“Iya, buat penelitian,” jawabku sambil terus memandang NyeNye yang sedang duduk sendirian.
“Buat penelitian apa kamu memang suka?” Lagi-lagi Claire ikut membela Becky, menggodaku.
“Hehh, beneran buat penelitian, Claire,” jawabku. Kali ini menoleh, mengganti pandanganku menjadi wajah Becky dan Claire yang masih asyik tersenyum-senyum tidak jelas.
“Kalian tahu gak?” tanyaku memulai pembicaraan yang serius.
“Apa?” tanya mereka serentak.
“Sttt, jangan berisik, nanti NyeNye dan Loiz tau,” jawabku menenangkan mereka.
“Jadi begini, sebenarnya ….” Pembicaraanku terputus ketika mengetahui NyeNye berjalan ke arah tempat duduk di mana kami sedang berkumpul.
“Lupakan,” sambungku segera. Aku tak ingin penelitianku ini ketahuan NyeNye.
“Hai, teman-teman,” sapanya lesu. Ia tampak tidak bersemangat.Tidak ada dari kami yang menyapanya balik. Entah kenapa, aku pun tak tahu. Aku juga tidak membalas sapaannya. Aku takut Becky akan menganggap balasanku adalah hal yang istimewa, padahal sebenarnya tidak.
“Hai, Nye. Hai, teman-teman.” Tiba-tiba Loiz datang menghampiri kami. Ia langsung bergaya alay di depan kami semua, termasuk di hadapan NyeNye.
Sejak kedatangan Loiz, secara sadar aku menggerakkan kesepuluh jari tangan kananku, menekuknya satu per satu seiringan dengan berjalannya waktu. Aku mau menghitung, apa benar yang diucapkan Loiz, bahwa NyeNye akan meninggalkannya semenit sesudah ia datang.
“Hai juga,” sapa Encun dengan wajah polosnya.Mata Claire, Becky, Maureen, dan Lotta langsung melirik licik ke arah Encun. Aku menoleh, melihat semua bibir mereka tersenyum, menunjukkan maksud bahwa sebenarnya mereka ingin berkata “Ciee… Ciee…” tapi tidak bisa, karena situasi sedang tegang.
“Apa?” tanya Encun bingung, suaranya pelan.Tik tok tik tok… Suasana hening tercipta kembali. Aku tetap fokus menggerakkan jari-jariku. Menurut perhitunganku, waktu sudah berjalan 50 detik sejak Loiz datang, tapi tak ada tanda-tanda bahwa NyeNye akan pergi meninggalkan kami semua. Baru setelah detik ke-55, dia menghembuskan napas kesal lalu berdiri dari kursinya tepat pada menit pertama dan beranjak pergi sedetik kemudian.
“Benarkan Lindsay,” kata Loiz yang ikut-ikutan pergi menjauh. Sebenarnya aku ingin membantahnya, karena perhitungan Loiz salah. NyeNye meninggalkannya satu detik lebih dari perkiraannya. Tapi apa boleh buat, tak mungkin aku mengatakannya dalam situasi seperti ini.
“Haduh, gimana ini? Aku jadi gak enak sama NyeNye dan Loiz,” ujarku, menepuk dahi.
“Emang kenapa?” tanya Maureen meminta penjelasan.“Aku kasihan Loiz─dia selalu dicuekin NyeNye─malah lebih parah jika kupikir-pikir lagi. Menurutku, NyeNye justru membencinya, bukan lagi menyuekinya. Setiap Loiz datang, katanya semenit setelah itu─NyeNye pergi darinya. Walaupun sebenarnya kalau aku hitung semenit lebih satu detik. Tapi….”
Penjelasanku terputus oleh Lotta yang secara tiba-tiba mengajukan pertanyaan tak pentingnya. Ia menyelaku dan bertanya, “Kau menghitungnya benar Lindsay?” Otomatis aku mengangguk dan melanjutkan pembicaraan serius ini.
“Tapi di sisi lain, aku kasihan juga sama NyeNye. Menurut penglihatanku, dia sudah tak mau mendekati Gareth. Padahal tadi pagi kalian dengar sendiri kan, kalau dia senang mendengar bahwa Jeanne tidak masuk─dan kalian tahu artinya sendiri lah. Apa ya, yang menyebabkan NyeNye jadi gak mau sama mendekati sahabat lamanya?”
“Well, sebenarnya kemarin ada kejadian yang menyedihkan, menurutku. NyeNye secara tidak sengaja membuka rekaman video-video indah waktu kelas 7 yang kau buat itu. Kamu sudah mencegahnya untuk tidak melihatnya, tapi NyeNye tetap memutarnya. Dan setelah dia melihat semuanya─dia berkata bahwasepertinya Gareth bukanlah sahabat sejatinya yang sebenarnya. Menurutku, itu yang membuat NyeNye sudah tak mau bersahabat dengan Gareth lagi.” Becky menjelaskan panjang lebar.
“Ohh, jadi itu penyebabnya. Kukira tadi NyeNye tidak mau mendekati Gareth gara-gara perkataan Maureen tentang NyeNye jahat karena senang mendengar Jeanne tidak masuk. Kalian tahu lah apa maksudku.” Becky mengangguk, diikuti anggukan beberapa teman di sekitarnya.
“Lalu─apa yang dimaksud Loiz tadi?” tanya Lotta tiba-tiba.
“Yang mana?” tanyaku bingung, mengingat-ingat lagi apa saja yang dikatakan Loiz kepadaku.
“Yang itu lho benarkan Lindsay,” katanya dengan suara yang dibesar-besarkan, agar sama seperti suara Loiz.“
Oh, itu─Hmm, nanti aja ya aku beritahunya. Bentar lagi pelajaran nih, aku belum siap-siapin bukunya,” ujarku saat sekilas melihat jam tanganku.“Ah, Lindsay, jangan begitu, aku jadi penasaran,” kesal Lotta. Wajahnya terlihat sangat kecewa.“Kan jam pulang sekolah sebentar lagi, tunggu bentar lah,” ujarku lagi. Aku tetapngotot (?) ingin memberitahu mereka sepulang sekolah.
“Aku ada ekstrakulikuler,” kata Lotta.
“Aku juga,” kata Encun menyusul.
“Iya, aku juga.” Diikuti Becky, Maureen, dan Claire yang menjawab serentak.
“Untung saja aku free. Hehehe…” ejekku, menjulurkan lidahku yang pendek sekuat tenaga.
“Ahh, menyebalkan kau.” Claire mulai bergerutu.
“Hahahaa, selamat ber-penasaran ria,” ujarku mengejek sekali lagi. Lalu aku meninggalkan mereka yang masih terlihat ingin sekali mendengar ceritaku.
***
Then that was the first part of the Chapter 3! :D and please wait for the 2nd part, okay?
Thank you! BYEEEE!!! :)x
God bless each one of you ♥♥
Lohh Kalinnn...
ReplyDeleteItu belom mbok edit..