First We Met : All Those Promises

Siang itu aku berjalan menyusuri jalanan yang besar. Aku rela berdesak-desakan hari itu hanya untuk membeli tiket konser artis favoritku. Aku mengantre lebih dari 2 jam demi itu, dan sekarang aku sudah berada di antrian ke 10 dari depan. Benar-benar butuh perjuangan.

Aku melihat ke kanan dan ke kiri, rupanya peminat konser ini banyak juga. Tentu saja, siapa sih yang tak kenal dengan James Morrison? Artis keren itu akan datang ke Indonesia tahun ini! Ini merupakan sebuah konser yang harus aku tonton, dan aku tidak akan pernah melewatkannya. 

"Eh hai!" kata seseorang yang tiba-tiba menepuk pundakku. Siapa juga orang yang datang kesini dan kenal denganku?

"Oh, hai!" ujarku kemudian sambil sedikit tersenyum.

"Beli tiket juga, nih?" tanya orang itu ramah. Dia tersenyum kecil, senyum yang sudah tidak asing lagi. Siapa, ya? Apa jangan-jangan..

"Lupa sama aku lagi?" tanya orang itu lagi memastikan. Parah, rupanya orang itu adalah kamu. Aku lupa lagi. Seberapa pikunnya aku, sih kok sampai sebegitu lupa dengan orang seperti kamu ini?
"Eh, sorry-sorry, Faz. Aku enggak tahu kalau itu kamu," ujarku merasa bersalah, "Kamu berubah banget sih!" lanjutku sambil sedikit malu-malu. Malu karena ketahuan kalau pikun.

"Nyantai aja kali. Kamu kan udah sering lupa sama aku, jadinya aku udah kebal," jawabmu sambil sedikit mengejek. Aku memang benar-benar pengingat yang buruk. Aku sudah berkali-kali lupa dengan kamu, sahabatku sejak kecil ini. Pertama saat kita masih kecil sepulangku dari libur panjang di Jogja, kedua saat kita bertemu lagi di SMA dan satu sekolah, lalu saat aku bertemu denganmu lagi di studio kecil yang menjadi tempat kamu berbicara denganku lagi setelah sekian lama itu, dan yang terakhir saat ini.

"Maaf banget. Maklum, kau tau lah," ujarku gampang, "nonton James Morrison juga, nih?" tanyaku penasaran.

Kau tersenyum kecil, masih semanis saat terakhir kita bertemu, "Iya, nih. Kalau kamu juga, sekalian aja titip aku tiketnya. Biar enggak kelamaan antri," ujarmu. Saat itu barisanmu di loket sebelah kananku dan satu baris lebih depan daripada aku. Benar juga, sih, ketimbang antri mending titip saja.

"Oke, deh. Ntar uangnya aku ganti," jawabku singkat. Aku langsung mundur dari antrian sambil mengucapkan terima kasih kepadamu.

***

"Nih uangnya, makasih banyak, ya!" ujarku sambil memberikan uang 8 lembar seratus ribuan.
"Enggak usah diganti, lah," jawabmu singkat. Entah kau kaya atau apa, namun jika aku jadi kamu aku akan tetap menerimanya, delapan ratus ribu rupiah bukanlah uang yang sedikit.
"Serius, nih?" kataku sambil memasang tampang untuk meyakinkannya.
"Serius, tapi ada satu syaratnya," jawabmu sambil tersenyum licik, "kamu harus mau menemaniku hari ini, kita kan udah lama enggak ketemu."
Aku shock, di Jakarta? Hari ini? Menemanimu?
"Emang kamu enggak ada temen atau gimana, sih sampai minta ditemenin segala?" tanyaku penasaran.
"Kenapa? Enggak mau? Yaudah kalo gitu..."
"Eh.. enggak enggak, aku mau, deh. Aku mau," jawabku begitu saja. Sebenarnya aku merasa enggak enak kepadamu terutama karena kamu melarangku untuk mengganti tiket konser itu.
"Mau kemana?" tanyaku lagi.
"Ikut aku aja lah," jawabnya, "dijamin kamu pasti suka."
Aku hanya tersenyum lebar.

***

Kau meniup kopimu lalu meneguknya setelah sudah lebih dingin. Aku melakukan hal yang sama.
"Jadi, sekarang di Jakarta?" tanyaku untuk mengisi keheningan yang ada antara aku dan kau.
"Iya, ambil kelas bahasa Inggris dulu sebelum ikutan seleksi di Manchester,".
"Serius? Mau seleksi apa di Manchester?!?!"

Kau hanya tersenyum kecil seperti biasanya. Manis, penuh arti.
Aku mengerti artinya.

"Seleksi di Manchester United?!?!" ujarku penuh semangat. Temanku, sahabatku sejak kecil, akan ikut seleksi pemain di Manchester United, tim sepakbola kesukaanku. Kau hanya mengangguk kecil setelah itu.

"Dan kau? Untuk apa ke sini?" tanyamu.
"Pre-college untuk ambil kuliah tahun depan,"
"Cool! Jurusan apa?"
"Entah, mungkin audio engineering," jawabku penuh semangat.

Setelah itu kami diliputi keheningan lagi. Kami sudah terlalu lama tak bertemu. Kami hanya saling tersenyum satu sama lain. Terakhir kami bertemu 2 tahun lalu, lalu kami dipertemukan lagi. Kami tidak pernah memberi kabar lagi sejak saat itu hingga akhirnya kami sadar bahwa kita berada di kota yang sama.

"Selalu saja ada yang mempertemukan kita," ujarku lagi sambil tersenyum, walau tak semanis senyummu.
"Destiny?" ujarnya tanpa berpikir terlalu panjang.
"Mungkin.." ujarku sedikit ragu-ragu. Kamu tertawa setelah itu.
"Sejak kapan kamu jadi suka ngomong bahasa inggris gitu?" tanyaku. Kau hanya melempar senyum manismu itu. Aku langsung mengerti apa jawabannya, "Oh, iya kau ambil kelas bahasa inggris."

Jujur saja, aku tak mengerti kenapa kita dipertemukan lagi disini.

Sejak kelulusanmu itu, kita memang berjanji untuk saling mengabari satu sama lain. Kau berjanji untuk tetap menjadikanku sahabat yang baik. Namun aku tahu sepertinya kita memang tidak bisa. Kita tidak ditakdirkan untuk bersama.
Kau tak pernah mengabariku lagi, kau hilang (lagi) begitu saja dari hidupku. Hingga aku berusaha untuk melupakanmu dan mengikhlaskan semuanya.

Ya, semuanya. Kenangan itu, yang sudah aku harapkan. Aku sadar bahwa mungkin aku tidak sepatutnya untuk berharap. Kau saja bahkan sudah bilang bahwa kita memang tidak bisa bersama.

Sayang sekali, di saat aku mencoba untuk melupakan, kau datang, lagi.

"Kenapa kita di pertemukan lagi?" tanyaku padamu untuk yang kesekian kalinya. Kau terlihat sedikit terkejut dengan itu.
"Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Kau yang kenapa.." jawabku lagi.
Wajahmu menunjukkan bahwa kau tengah kebingungan.

"Maksudku, kenapa kita dipertemukan lagi kalau pada akhirnya kita tidak akan pernah bersama?" tanyaku lebih pasti.
"Kau..."
"Aku sudah lelah untuk berpura-pura, Faz. Kenapa kita harus dipertemukan lagi? Kenapa kamu tidak pernah benar-benar hilang dariku? Kenapa kamu selalu membawa senyum manismu itu kemanapun kita bertemu?"  ujarku panjang lebar.
"Aku juga tak mengerti. Memang ada yang salah kalau kita dipertemukan lagi? Kenapa kau tak sepantasnya senang karena kita bisa bersama lagi?"
Aku terdiam sejenak. Aku mengerti kau menganggapku hanya teman.

"Aku tak pernah bisa menganggapmu hanya sekedar teman, Faz. Di saat aku kehilangan kamu, aku tahu bahwa mungkin kau memang bukan untukku. Tapi aku tidak tahu kenapa setiap aku berusaha melupakan kamu pasti kau datang lagi. Jujur saja, aku sudah tak pernah merasakan apa-apa setiap kau hilang dariku, tapi kau selalu datang. Setiap datang rasanya ada sesuatu yang aneh,"

"Aku tahu apa itu. Fakta bahwa akhirnya aku tak bisa bersamamu, kan?" jawabmu santai sambil meneguk kopi yang kau beli. Aku kaget dengan reaksi yang kau berikan. Oh iya, kamu memang cowok anti melankolis. Tak perlu menyampaikan hal-hal dramatis yang hanya buatku muak saja.

"Allen, jujur. Aku memang menyukaimu sejak dulu, sejak pertama kali aku sadar kalau aku bertambah dewasa. Kau selalu ada untukku walau itu sudah berlalu. Aku juga merasakan hal yang sama setiap kali aku bertemu denganmu. Namun aku mengerti kalau kita berbeda. Aku tidak mengerti kenapa kita harus saling menyukai," ujarmu panjang lebar. Oke, kali ini benar-benar dramatis. Dan di saat itu juga aku tahu, bahwa kau memang menyukaiku.

"Aku senang kita bisa berbicara jujur seperti ini," jawabku sambil tersenyum sedikit. Kamu menggeser posisi dudukmu ke sebelahku.

"Lihat aku, Allen. Aku tahu ini agak berlebihan, tapi aku memang benar-benar menyayangimu. Tapi aku tahu kalau kita tak mungkin bersama. Aku tahu ini sulit bagimu, tapi ini juga sulit bagiku. Tapi maaf sebelumnya, aku sudah mempunyai pacar," Rasanya dunia seperti berhenti untuk beberapa saat. "Tepatnya sejak aku bertemu denganmu lagi di SMA saat itu."

Untuk pertama kalinya, aku ingin menangis di hadapanmu sendiri. Tapi, aku berusaha secepat mungkin menghilangkannya.

Kau merangkul pundakku, aku tahu itu agak aneh. Setelah apa yang kita lakukan selama ini, ternyata kau sudah punya pacar? Lalu untuk apa kau melakukan semua ini untukku? Kenapa kamu mau melakukannya untukku?

"Sayangnya satu, aku juga menyayangimu seperti adikku sendiri. Aku tidak mau melihat kau tersesat sendirian, aku ingin kau tetap ada bersamaku seperti kita dulu. Aku tak pernah bisa merelakanmu begitu saja walau aku sudah punya pacar. Tapi maaf sekali kalau kau benar-benar sakit hati," katanya.

"Aku juga menyayangimu, Faz. Maafkan aku, aku tahu ini sedikit dramatis namun maaf aku tidak ingin mengganggu hubunganmu dengan pacarmu itu. Sungguh maafkan aku," ujarku sambil menghilang dari hadapanmu. Lalu menghilang, menghilang jauh, dan tak bertemu dengannnya lagi.

Hingga akhirnya aku sadar bahwa ini semua salah.

Dia benar-benar tulus mencintaiku.

                                                           TO BE CONTINUED



Comments

Popular posts from this blog

A Thing About Yogyakarta, 2024

Elixir: [Track 6] Used to Me

Elixir : [Track 5] Yesterday Once More