First We Met : Future

Aku melirik ke kanan dan ke kiri, semua orang masih sibuk training di sini. Aku duduk di salah satu bangku stadion sembari melanjutkan karanganku. Sudah 2 jam menunggu di sini tidak membuatku merasa bosan, aku tidak akan pernah bosan, bahkan untuk menunggu disini setiap harinya pun.
Old Trafford memang luar biasa. Old Trafford adalah impian masa kecilku. Pemandangan merah-merah yang mendominasi stadion ini dengan kolaborasi rumput lapangan yang hijau segar selalu membuatku merasa tenang. Rasanya begitu hebat bukan ketika kamu dapat sampai pada tujuanmu?
"Sudah lama?" tanya Aline sambil mengobrak abrik isi tasnya. Aline adalah teman baruku. Dia juga sering berkunjung ke sini untuk menunggu kekasihnya training untuk persiapan kompetisi. Kurang lebih sama halnya denganku. Kami sering bercerita bersama, jadi sedikit banyak kami mengetahui tentang kami masing-masing.
"Lumayan sih, udah 2 jam an," jawabku sambil memandang ke arahnya. Aline tampak bersemangat hari ini, pipinya merah merona, tidak seperti biasanya.
"Udah 2 jam? Telat banget berarti," ujar Faza tiba tiba sembari meletakkan tas nike nya. Dia lalu langsung berlari ke tengah lapangan. Begitu konyol ketika dia langsung bergegas ke tengah lapangan dan mendapati pelatih marah marah kepadanya karena terlambat.
"Tumben telat. Habis kemana? Aku kira Faza gak masuk hari ini," ujarku lalu meneguk kopi hangat yang sengaja kubeli di lounge Old Trafford.
Aline terdiam untuk beberapa saat. Tersadar bahwa Aline sedang memandangiku, aku langsung mengalihkan perhatianku padanya.
"Apa?" tanyaku dengan wajah polos.
Aline tersenyum lebih lebar, bahkan pipinya semakin bertambah merah.
"Kami baru saja pulang dari restoran favoritku," jawabnya.
Aku tertawa, "Aku enggak diajak? Ah, enggak asik deh kalian."
Dari raut muka Aline, terlihat jelas bahwa dia seperti ingin mengungkapkan sesuatu yang sangat menarik.
Aku menunjukkan raut wajah penasaranku hingga aku menyadari sesuatu.
Cincin perak di jari manis Aline.
"Kalian bertunangan?" tanyaku kaget.
Aline pun menunjukkan raut-wajah-luar-biasa-senangnya. Aku tahu dia begitu bahagia dengan hal itu. Walau masih muda, dia sering bercerita kepadaku bahwa itu adalah hal yang paling Ia harapkan saat ini.
"Faza mengajakku ke restoran favoritku, lalu dia memintaku untuk memesan apapun yang aku inginkan. Setelah hidangan penutup selesai di hidangkan, Ia memberikanku satu box kecil berwarna merah tua kesukaanku. Dan kau tahu?" jelasnya panjang lebar.
"Aline, will you marry me?" jawabku sambil meniru gaya bicara Faza.
Aline tersenyum senang saat aku mengatakannya, "Dan aku menerimanya. Kami bertunangan!"
"Selamat Aline!!" ujarku sambil memberikan pelukan hangatku kepadanya. Aline sangat beruntung dapat memiliki Faza.
"Terima kasih banyak atas dukunganmu selama ini ya, Len," Aline meneteskan air mata harunya. Aku yakin itu adalah tetesan air mata bahagia.
Kami bercerita banyak setelah itu. Aline benar benar senang ketika mendapati dirinya telah bertunangan dengan kekasihnya. Aku tahu bahwa itu memang perasaan yang spesial. Aku memang masih tak percaya bahwa teman baikku sejak kecil, Faza, akhirnya bertunangan.
Aku ingat benar bagaimana Faza mengatakannya kepadaku tentang hal itu. Di saat dia tidak akan pernah bisa melupakanku. Di saat dia bilang bahwa aku akan menjadi pacarnya kalau sudah besar. Di saat Faza mengajakku untuk menjadi pasangan prom di hari perpisahannya. Di saat Faza mengatakan bahwa dia benar benar menyayangiku. Dan di saat kami berangkat bersama kesini, ke Manchester, kota impian kami sejak kecil.
Rasanya memang beruntung dapat menjadi tunangan orang yang benar benar kau sayang. Kau menunggu saat ini seumur hidupmu, bahkan kau sudah berangan angan tentang hal itu.
Kau menunggu akan janji seseorang, yang pernah berjanji kepadamu bahwa dia akan selalu ada untukmu. Bahkan dia menyayangimu.
Namun, kau mengerti bahwa kau tak bisa bersamanya.
Kau mencoba melupakannya, dan mencari yang baru. Kau sudah bahagia dengan 'yang baru' hingga akhirnya kau menyadari bahwa orang lama itu, telah bertunangan dengan orang lain.
Aku bahkan masih tidak tahu apakah aku harus senang, atau harus sedih.
"Allen.." Mike memanggilku. Dia nampak letih setelah selesai latihan untuk pertandingan penting melawan Liverpool akhir pekan ini. Faza menyusul di belakangnya. Dilihat dari raut wajahnya, sepertinya Faza jauh terlihat lebih kelelahan dibanding Mike. Sepertinya Pelatih Anderson habis menghukumnya karena terlambat.
Aku memberikan satu cup kopi yang sengaja aku beli untuk Mike saat aku membelinya di lounge tadi kepada Mike. Mike menyambutnya dengan senyuman hangat.
"Jadi, kalian sudah bertunangan?" ujarku sambil terkekeh kecil, "selamat Faza, Aline! Best wishes for you both! "
Mike terlihat lebih bersemangat daripada biasanya, "Kalian, bertunangan?"
Faza hanya tersenyum kecil sambil mengangguk. Senyum manis itu, lagi.
"Selamaaattt!!!" Mike langsung memeluk Faza. Faza dan Aline tampak bahagia bersama. Aku juga, iya benar, aku yakin, aku juga bahagia.
Seusai latihan berat hari ini akhirnya kami pulang ke apartemen kami masing-masing. Aku pulang bersama Mike, memang seperti itu setiap harinya. Sejak kami semakin dekat, kami berjanji untuk pulang bersama setiap harinya. Aku tetap menyetujuinya walaupun aku harus menunggunya di Old Trafford lebih dari 2 jam, seperti yang aku katakan, aku menyukai Old Trafford.
Harus kuakui, memang berat rasanya disaat kau tahu bahwa sahabatmu sejak kecil yang kau sayangi (dan pernah menyayangimu) telah bertunangan dengan orang lain. Bagaimanapun juga, kau pernah menyayanginya juga, kan?
"Kau mau pergi ke suatu tempat dulu?" tanya Mike sambil menancapkan kunci ke mobilnya. Mobil ini tetap seperti biasa, bersih, harum, dan terlihat sangat rapi (terutama untuk ukuran laki-laki)
"Aku terserah saja, hari ini aku bebas kok," ujarku sambil memasang sabuk pengaman. Aku dapat memastikan Mike tersenyum setelah itu.
Aku tidak tahu dimana tepatnya Mike membawaku, terutama karena Mike memang suka membawaku pergi ke tempat tempat unik yang dia temui di Manchester.
"Kau mau mengajakku kemana?" tanyaku. Mike hanya menunjukkan ekspresi lihat-saja-nanti-nya yang begitu menggemaskan. Dia selalu seperti itu. Kami dipenuhi oleh keheningan, tidak seperti biasanya. Aku dan Mike suka sekali berbicara tentang musik dan bola. Tak jarang aku membawa CD artis favoritku untuk di dengarkan di mobilnya, bahkan aku juga sering lupa membawanya pulang. Tapi Mike tidak pernah keberatan tentang hal itu, dan aku tahu itu.
Mike adalah temanku sejak SMP, kami kenal dekat karena memiliki kesamaan hobi dan ketertarikan yang aneh terhadap musik. Saat SMP dulu, Mike bisa dikatakan anak yang kurang dikenal, tapi aku tahu dia anak yang luar biasa. Apalagi bakat sepakbolanya, aku memang mengagumi cara caranya bermain bola sejak dulu.
Sebenarnya dan sejujurnya, dia memang tampan. Tapi, tak banyak yang mengenalnya (bahkan membenci dan menghindarinya) karena dia merupakan anak tunggakan di sekolahku. Dia lebih tua 1 tahun dari pada aku, tapi kami menjadi sekelas ketika dia tak naik kelas.
Mobil Mike terhenti di tempat yang lagi-lagi tak kukenal. Seperti biasa, Mike tampak tak asing dengan tempat ini.
"Belum tahu tempat ini juga ya?" kata Mike bersemangat. Raut wajahku benar-benar meyakinkan bahwa aku memang tak pernah mengetahui tempat ini.
Tempat itu tampak ramai, dengan plang besar bertuliskan "Matt & Phreds" sepertinya tempat ini juga asik untuk nongkrong. Fakta bahwa ada live music yang tampil di tempat ini membuatku lebih bersemangat.
"Masuk saja," Mike tampak jauh lebih baik daripada biasanya. Bahkan, dia belum berganti seragam latihannya tadi. Kami langsung memasuki tempat ini dan mengambil tempat di dekat panggung live music itu. Seusai memesan pizza favorit ala Matt & Phreds, kami menikmati live music. Kali ini Myles & Chandler yang tampil di tempat keren temuan Mike ini. Myles & Chandler adalah salah satu grup duo Manchester favoritku. Mereka menampilkan musik jazz tradisional yang begitu enak di dengar, walau baru melihat live penampilan mereka beberapa kali, aku sudah jatuh hati dengan suara mereka.
Aku dan Mike sering sekali membicarakan tentang grup duo ini, bahkan Mike lah yang memperkenalkanku tentang band ini. Dia juga yang mengajakku untuk menonton penampilan mereka di salah satu tempat favoritnya.
"Len, kau sedih?" tanya Mike tiba tiba di sela penampilan Myles & Chandler.
"Uh?" ujarku bingung. Bahkan kalau boleh jujur, perasaanku memang tidak enak. Terutama karena Faza, iya fakta bahwa teman dekatku ini telah bertunangan dengan orang lain membuatku sedikit kecewa. Tapi, benar, aku bahkan tak berhak untuk menuntutnya atau apapun.
"Faza? Aku tahu kau sedih. Kau berbeda dari biasanya," ujarnya. Mike memang selalu memperhatikan raut wajahku, kategori peramal yang baik.
Aku masih diam saja, aku tentu tak mungkin untuk bercerita terang terangan dengan Mike, terutama karena Mike sekarang juga menjadi teman dekat Faza.
"Ceritalah, Len."
"Baiklah, kalau boleh jujur, aku memang sedikit kecewa dengan keputusan Faza. Terutama karena dia pernah mengatakan padaku bahwa dia menyayangiku," kataku, "dan sekarang secara mengejutkan dia telah bertunangan dengan orang lain, rasanya itu seperti tak mungkin."
Aku dapat memperhatikan raut wajah Mike yang begitu simpatik. Mike sering sekali bahkan kadang memaksaku untuk bercerita tentang masalah-masalahku. Mike adalah orang yang baik, bahkan sahabat yang begitu baik.
Mike bahkan tidak berkomentar apapun setelah itu. Kami menikmati alunan lagu yang sedang dinyanyikan Myles & Chandler. Ah, I'll Be, salah satu lagu favoritku.
"Kau tak pernah berniat untuk mencari yang lain? Yang lebih baik daripada Faza?" tanyanya ketika Myles & Chandler menyanyikan lirik I'll be your crying shoulder.
Aku terdiam sejenak untuk beberapa saat. Aku tak tahu harus menjawab apa. Bahkan aku juga heran mengapa kali ini Mike menjadi sangat bijak.
"Saranku, mungkin kau harus mencoba mencari yang lain. Banyak orang disana yang benar-benar menginginkanmu," lanjut Mike. Air mataku mulai keluar dari pelupuk mataku, namun aku cepat-cepat menyekanya.
Ya, mungkin sebenarnya Faza tidak pernah benar-benar menyayangiku. Apa yang dia bicarakan saat kecil dulu bukan berarti aku benar benar harus bersamanya.
Setelah menyadari akan hal itu, air mataku pecah. Aku menyadari penantianku selama ini sia-sia.
Mike memandangiku dengan begitu simpatik. Dia memang tak pernah mau melihat orang lain sedih di hadapannya.
"Ingat, Len. Aku akan selalu benar-benar ada untukmu ketika kau benar benar membutuhkan seseorang untuk diajak bicara," kata Mike sambil meyakinkanku.
Aku tersenyum tulus. Mike memang sangat baik. Dia adalah teman terbaikku.
Kami semua diliputi keheningan untuk beberapa saat. Hingga lagu I'll Be pun selesai dinyanyikan.
Tiba-tiba Faza dan Aline datang ke tempat dimana kami menikmati live music hari ini.
"Kalian enggak ngajak ngajak!" ujar Aline langsung duduk di samping kami. Aku dan Mike menyambut mereka dengan senyuman hangat.
Persahabatan kami berempat memang jauh lebih berarti daripada pertunangan Faza dan Aline. Kami mengerti bahwa kami akan selalu bersama apapun yang akan terjadi.
"Kalian tak usah khawatir. Kami akan selalu ada untuk kalian dan tetap menjadi sahabat kalian," ujar Faza meyakinkan kami.
Aku menyadari sesuatu, mungkin aku dan Faza memang tak akan pernah bisa bersama. Namun, kami tentu akan selalu bersama apapun yang terjadi. Persahabatan kamilah yang membawa kami kesini. Ke tempat ini, impian ini, pertunangan ini, serta hubungan ini.
Bahkan aku menyadari, kekuatan persahabatan yang membawa kami ke kehidupan ini.
Faza dan Aline lalu menuju ke bar untuk memesan langsung pizza spesial Matt & Phreds. Sekarang, tinggal aku dan Mike.
"Kau mau pergi ke pesta pernikahan Faza bersamaku?" tanya Mike tiba-tiba. Dia tersenyum penuh harap.
Aku membalas senyumnya. Senyum terbaikku, yang bahkan tak pernah kuberikan kepada Faza. Aku memeluknya, tanda bahwa aku benar benar tak mau kehilangan Mike, tanda bahwa genggaman tangan bahkan tak sekuat pelukan teman terbaik. Mike pun membalas senyumanku dengan senyuman termanis yang pernah kulihat darinya.
Satu yang dia tidak tahu, aku bahkan sudah mengaguminya sejak pertama kali kamu bertemu.
THE END.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

A Thing About Yogyakarta, 2024

Elixir: [Track 6] Used to Me

Elixir : [Track 5] Yesterday Once More