Nyenye : [Chapter 9 (Pt.1)] Concoction and Love Letter Water Jet
To pay out my owe to you, I post the first part of the 9th chapter of Nyenye. Yap, I'm so excited! I'm so thankful cause I have at least a spare time now. So yap, I write.
Okay, this part was made by Via. I'm gonna post the 2nd part asap, then my turn to write. Sounds exciting (for me) :3
Yap, here we go!! :D
***
Chapter 9 (Part 1)
Concoction and Love Letter Water Jet
[The Previous Chapter → Chapter 8 - A Secret Admirer]
*Becky Shue's Point of View*
"WE ARE THE CHAMPION!!
WALK LIKE PEACOCK!
RUN LIKE CHEETAH!
PREY LIKE TIGER!!
ROARRRR.....!!"
Aku dan Encun baru saja menyelesaikan aksi cheerleading sebagai penutupan perlombaan sepakbola antara IAB dengan Silverwood Academy. Dari tiga pertandingan musim panas yang pernah ada selama kami bersekolah di sini, entah mengapa IAB selalu mendapatkan kejuaraan, dan selalu nomor satu. Bahkan saat masing-masing pemain kami memiliki masalah pribadi yang, yah, bisa dianggap sangat riskan kalau dibawa ke permainan seperti ini. Ingatlah Nye Nye yang tak konsentrasi saat bermain tadi. Hampir sepuluh kali dia mencoba memasukkan bola ke gawang. Tujuh kali mencoba memasukkan ke gawang lawan, dan sisanya ke gawang sendiri. Sungguh tak membantu...
"Stt, Beck, ngapain, tuh, Nye Nye sama Claire di tengah lapangan?" Encun mengagetkanku. Seketika aku memutar pandangan dari Miss Emy -pembimbing cheerleader IAB- yang sedang memberikan ceramahan atas ketidaksempurnaan kami saat beraksi tadi di pinggir lapangan. Di sana ada Nye Nye dan Claire yang sedang berdiri berhadap-hadapan tepat di dalam lingkaran kick off. Dapat ku lihat bahwa hanya tersisa dua sejoli, eh maaf, dua pemain sepakbola di sana. Seharusnya, kan, setelah selesai pertandingan, pemain akan berkumpul di base camp mereka atau paling tidak di pinggir lapangan seperti yang tim cheerleader lakukan.
"Mereka ngapain, ya," gumamku pelan. Tapi aku yakin Encun mendengarnya. "Claire kelihatan ma..."
"Bec to the ky, En to the cun!! Ga to thewat!!" Tiba-tiba Maureen berlari dari balik pohon akasia yang terletak di sebelah Barat lapangan sepakbola sambil berteriak tertahan. Mukanya tampak pucat pasi. Ah, tidak juga. Bukan pucat, lebih tepatnya campuran kaget, khawatir, bingung, sedikit cengoh, dan segala jenis ekspresi lain yang tidak enak dipandang mata. Oh, maafkan aku Maureen. Ditangannya terdapat sebuah kamera dengan lensa yang cukup besar dan panjang serta ada sebuah speaker di sampingnya. Apa? Speaker?! Tidak salah lihat, kah, aku?
Tunggu, aku memutar pandangan ke sekelilingku. Rupanya para anggotacheerleader sudah bubar dan tak satupun tersisa di pinggir lapangan kecuali aku dan Encun yang dengan manisnya duduk beralaskan karpet lapangan lari -terletak di sekeliling lapangan bola-. Memangnya seberapa menariknya pemandangan Nye Nye dan Claire sehingga kami melupakan Miss Emy and the gank? Bahkan kedua orang yang tadi asyik kami pandangi sudah tidak ada di tempat semula.
"Apaan, sih? Santai bisa kalik ngomongnya. Anak Tangerang aja nggak tahu kamu ngomong apa," protes Encun keras-keras seraya berdiri, aku mengikutinya.
"Gawat! Gawat, nih!"
"Kenapa?!"
"Itu, lho, itu, Nye Nye dan Claire! Mereka bertengkar di tengah lapangan. Beradu bicara!! Ya, bukan beradu bicara juga, sih, soalnya sedari tadi yang ngomong hanya Claire. Tapi gawatnya, Nye Nye kena semprot habis-habisan sama Claire karena tadi tidak bermain dengan baik. Bagaimana ini?"
Oh, sekarang aku tahu mengapa Nye Nye dan Claire masih berada di tengah lapangan padahal matahari sudah berada di atas ubun-ubun. Debat. Yah, kau taulah bagaimana Claire. Saat ada bahan untuk berdebat, meski sedikit saja, ia pasti bisa membuatnya tampak banyak dan tak ada habisnya.
"Memangnya kenapa kalau berdebat?"
"Mari bersembunyi dan aku akan menunjukkan kalian sesuatu."
Maureen menarik -lebih tepatnya menyeret ke dua tangan kami menuju sebalik pohon akasia tempatnya bersembunyi tadi. Dengan lihai, jari-jari Maureen menekan tombol-tombol dikameranya hingga menunjukkan sebuah rekaman berisi seorang laki-laki dan perempuan di tengah lapangan yang kuyakini adalah mereka. Setelahnya, ia menarik speaker besar yang sempat kupertanyakan tadi. Wow. Kalian tahu, speaker itu terhubung dengan kamera Maureen melalui tongkat stainless seperti yang terdapat pada remot kontrol mobil mainan. Dan saat rekaman Nye Nye dan Claire diputar, kami dapat mendengar suara keduanya dengan jelas. Hebat sekali kamera ini, mampu merekam suara dan gambar dari jarak yang sangat jauh, dari pohon akasia menuju tengah lapangan.
"Kau tahu, aku sudah lelah dengan segala ketidak konsentrasianmu saat bermain tadi. Aku bosan mengingatkanmu agar tetap fokus ke bola dan memasukkannya ke gawang lawan, bukan gawangmu sendiri. Beruntung saja IAB mempunyai Pierre yang sangat handal saat mengoper bola. Aku tak tahu apa aku masih sanggup bermain denganmu atau tidak."
"Tapi kita menang, Claire."
"Ya, aku tahu kita menang. Tetapi skor kita hanya selisih sedikit. Kita tidak pernah seperti ini. Sebelumnya kita selalu menang telak. Ini tahun terakhir kita di IAB, Nye, dan kau menghancurkannya."
"Maafkan aku. Aku hanya tak bisa berhenti memikirkanmu. Aku tahu kita sempat berbicara setelah kau tahu perasaanku bahwa, uh, aku menyimpan rasa padamu. Memang aku angkat bicara, mengatakan padamu kalau yang kau dengar dari teman-temanmu itu sungguh-sungguh benar. Tetapi aku tidak pernah menyatakan cinta padamu atau bahkan memintamu menjadi pacarku, bukan? Begitu saja kau menjauhiku. Heh... Aku merasa kita tidak seperti dulu lagi. Kau menjauh, tak ada sesi curhat lagi di antara kita, ditambah dengan kedatangan Pierre, ia memperparah keadan. Aku belum usai menghadapi masalahku dengan Gareth, namun kau menambahi bebanku. Seharusnya aku yang berkata bahwa aku lelah menghadapimu."
Setelah beceramah panjang lebar, Nye Nye masih tetap pada posisinya, namun bedanya, kini ia memandangi sepatu kuning menyala miliknya yang bertambah silau karena terpantul teriknya sinar matahari siang. Berbeda dengan Claire yang justru meninggalkan lapangan menuju ruang ganti putri, tanpa menoleh sedikitpun kepada Nye Nye.
"Mereka semakin parah, aku tidak tahu harus apa. Bagaimana menurut kalian?"
Aku dan Encun saling bertatap-tatap, kemudian mengalihkan padangan menuju langit biru yang sangat cerah. Kami sedang berpikir. Bagaimana cara meredakan semua ini?
Di satu sisi aku ingin Nye Nye agar melupakan rasanya kepada Claire aliasmove on. Jelas sekali bahwa Claire menolak mentah-mentah dirinya di hadapan Nye Nye maupun di hadapan kami semua. Dari pada cintanya bertepuk sebelah tangan dan berujung pada kematian (?), lebih baik disudahi saja, kan? Tapi mana mungkin Nye Nye bisa melupakan Claire. Setiap hari saja mereka bertemu, bahkan terpaksanya bertatap muka secara langsung saat latihan sepakbola. Susah.
Di sisi yang lain, aku ingin membuat Claire memiliki rasa yang sama kepada Nye Nye. Entah mengapa, aku berpikir kalau tidak mungkin Claire bersikap seperti tidak ada apa-apa di antaranya dan Nye Nye.
Itu akan sangat menyesakkan bagi batin Nye Nye. Maka dari itu, rasa mereka harus sama. Paling tidak begitu, lah.
"Apa kalian berpikiran untuk membuat Claire jatuh cinta pada Nye Nye," tanya Maureen menghentikan aksi berkhayalku -dan juga Encun.
***
Sungai timur hutan cemara. Sekarang.
-Encun, Becky, Maureen-
Sent!
Sent!
Sent!
Sent!
Sent!
Rencananya, kami -para pengirim pesan singkat- akan membuat sebuah proyek baru untuk kelangsungan kisah cinta Nye Nye terhadap Claire. Kalau kuceritakan, kalian pasti akan tertawa atau menganggap kami aneh karena kami masih menggunakan cara kuno yang -sepertinya- tidak laku lagi di era platinum seperti saat ini. Tetapi tidak ada yang tak mungkin, bukan?
"Hei, kalian! Ada apa, nih," pekik Lotta seraya menghampiri kami yang sedang berbaring tak beraturan di atas rerumputan. Beberapa detik kemudian, Gareth, Jean, dan Lindsay menyusul dari belakang Lotta. Lotta hanya menggunakan pakaian tidur dan kepalanya yang basah dililiti handuk berwarna putih. Ck, ia pasti memiliki rencana untuk tidur panjang setelah menonton pertandingan sepakbola tadi, mengingat ini hari terkahir kami berleha-leha.
"Diam dan lihatlah ini," Maureen menyodorkan kameranya ke hadapan Gareth, Jean, Lindsay, dan Lotta. Mereka diperlihatkan oleh rekaman yang sama dengan yang kutonton bersama Encun tadi. Sadar atau tak sadar, mereka berempat hanya menampakkan ekspresi datar dari awal hingga akhir.
Bahkan saat rekaman selesai, mereka tidak berbicara sama sekali. Apakah penghuni hutan cemara mampir ke tubuh mereka?
"Begini, kita harus membuat proyek baru dan kami sudah ada ide."
Aku menyisir padangan ke arah mereka berempat satu persatu. Tak ada gerakan. Oke, bagus.
"Jadi, kita akan membuat ramuan herbal."
Krik.. Tak ada reaksi sama sekali dari mereka. Sial, ada apa ini sebenarnya?! Aku menghembuskan nafas dengan kasar. Tahanlah, Becky, tahan. Bersabarlah demi kemajuan nusa dan bangsa (?).
"Ramuan herbal untuk Nye Nye agar Claire dapat terpikat ke padanya."
Astaga. Masih saja tak ada suara di antara mereka berempat. Ya, Tuhan, sebenanya ada apa dengan mereka?! Pita suara mereka copot? Atau tersangkut makanan? Argh...
"Woy! Ngomongo!" Encun berteriak dengan lantang menggunakan Bahasa Jawa -bahasa daerahnya yang selama ini iya banggakan, meski kadang ia mengaku berasal dari Tangerang-. Tangannya melempari ke empat manusia dihadapan kami dengan tangkai bunga dandelion yang telah gundul karena ditiup angin.
"Ap---tid-- a-- kau--- hah-- maksudmu apa-- ma-- la-- tak--"
Seketika makhluk yang kuanggap telah dimasuki penunggu hantu cemara ini berbicara saling menimpali satu sama lain. Lotta yang paling heboh, Jean yang paling kalem, Lindsay yang tampak berusaha mengeraskan suara, dan Gareth yang paling alay.
"Diam! Katakan satu-satu!"
"Tidak mungkin membuat ramuan, kan, Beck?! Kita tidak tahu komposisi apapun dari ramuan herbal. Lagian ramuan apa?? Ramuan kuat? Ramuan anti patah hati? Ramuan aku rapopo? Ramuan yes?" Lotta angkat bicara terlebih dahulu. Sepertinya dirinya yang paling tidak bisa menerima ide kami.
"Kalian ketinggalan jaman. Masak kita pakai ramuan," celetuk Jean.
"Bukan! Ramuan untuk memikat hati Claire, Lotta sayaaaaaang," geram Maureen sambil meremas-remas kameranya.
"Apa kalian tahu komposisinya? Tidak, kan! Kalau salah nanti fatal. Kau bisa dipanggil oleh pembina PMR, guru BK, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, kepala sekolah, penunggu asrama atau mungkin dipanggil Tuhan! Sebaiknya tidak usah saja. Biar semuanya mengalir dengan sendirinya, lagian aku ada proyek baru yang menyangkut orang lain -penggemar Nye Nye."
Sungguh aku tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Lotta. Bagaimana bisa dipanggil Tuhan?
"Tenang saja, aku bisa menanyakan komposisi ramuan tersebut pada nenek buyutku yang tinggal di Indonesia. Dia seorang dukun beranak, eh, hanya dukun, bukan dukun beranak. Dia pasti tahu semuanya tentang ramuan-ramuan seperti itu. Serahkan saja padaku. Kita bisa mengabarinya melalui Skype- buyutku canggih," jelas Encun kepada kami semua. Nah, itu ide yang bagus. Kami semua mengangguk-angguk paham, termasuk Lotta.
"Kukira pakai telepon kaleng, Cun," timpal Gareth disusul dengan tawa menggelegar dari dirinya sendiri. Cheesy. Tiba-tiba kami kedatangan seseorang yang kebetulan sedang kami bicarakan. Nye Nye. Aku mengerutkan keningku, begitu pula dengan teman-temanku yang lain. Mengapa dia kemari? Bukankah kami tidak mengundangnya? Mana mungkin mengundang kalau yang dibicarakan saja dia.
"Ada apa menyuruhku datang kemari?"
Kerutan di kening kami semakin dalam. Menyuruhnya? Datang kemari?
"Hah? Seharusnya kami yang tanya begitu padamu, Nye," jawab Maureen.
"Lho, bukankah kau yang mengabariku lewat sms atas nama kau, Encun dan Becky?"
Ah? Kok, bisa? Kan, aku hanya mengabari empat orang dan itu adalah Gareth, Lotta, Jean, dan Lindsay. Tapi-- astaga! Tadi ada lima notifikasi 'terkirim' yang muncul di handphone Maureen. Ya, ampun, aku menyiarkan pesan singkat itu kepada nomor-nomor siswa 9-3. Tanpa Loiz karena ia tak memilki handphone untuk di bawa ke asrama. Aduh...
"Aduh! Salah kirim, Nye. Maaf maaf," kataku menyesal.
"Hah, ya, sudah. Tapi ngomong-ngomong, apa yang sedang kalian lakukan? Mau merencanakan sesuatu untukku lagi, ya? Seperti saat kalian memintaku memilih satu siswi IAB dari beberapa foto yang kalian sodorkan kepadaku dahulu," tanya Nye Nye sambil memposisikan duduknya di samping Lotta, tempat terjauh dari Gareth.
"Ya dan tidak. Kali ini berbeda dan kau harus mau," tegas Lindsay. Sepertinya dia sudah sangat setuju dengan ide kami -aku, Maureen, dan Encun-.
"Baik. Jelaskan padaku. Tapi aku akan menurutinya jika kalian juga berjanji membantuku. Bagaimana?"
-To be continued-
***
Hope you guys like it. Gonna post the 2nd part after this. Stay read! (?) :D
Byeee and thank you for reading! :)
Comments
Post a Comment