Nyenye : [Chapter 9 (Pt. 2)] Concoction and Love Letter Water Jet
I'm back!
So sorry if it takes a long of time to post cause still, I'm so busy! :3
So, here's the 2nd part of the 9th Chapter. Still made by via and I'm gonna write for the 10th chapter. Gonna write it soon.
Okay, check this out! :D
***
[The previous part → Chapter 9 (Part 1) - Concoction and Love Letter Water Jet]
Chapter 9 - Part 2
Concoction and Love Letter Water Jet
*Becky Shue's Point of View*
Kami -aku, Maureen, Jean, Lotta, Gareth, Nye Nye, dan Lindsay- sedang berkumpul di salah satu kolong meja laboratorium IPA yang cukup lebar. Nye Nye mengajak kami untuk membahas mengenai rencana-balas-jasanya yang entahlah akan ditunjukkan untuk siapa dan untuk apa. Nye Nye sungguh misterius. Tadi saat kami berkumpul di dekat sungai timur hutan pohon cemara, ia hanya berkata, "Jadikanlah kami seperti semula." Apa maksudnya coba? Kalimat yang disampaikan Nye Nye memiliki banyak pengertian, tergantung pada mereka yang menganalisanya. Kalau bagiku, ada dua pengertian.
Pertama, Nye Nye menginginkan dia dan Claire kembali seperti dahulu kala. Maksudku tanpa adanya jarak hanya karena masalah yang sepele, yaitu Nye Nye yang menaruh rasa pada Claire. Mungkin ia merindukan saat-saat ia bisa curhat mengenai Gareth, atau paling tidak berlatih sepakbola berdua di luar jam ekstrakurikuler. So sweet...
Pengertian kedua, ia ingin persahabatannya dan Gareth kembali utuh seperti saat mereka belum bersekolah di IAB -lebih tepatnya sebelum Jean menjadi pacar Gareth. Di bagian ini, mungkin Nye Nye rindu untuk berjalan bersama sahabat laki-laki yang mampu mengerti dirinya dan tidak heboh seperti Loiz. Bagaimanapun juga, sebagai seorang laki-laki, Nye Nye masih membutuhkan pendamping yang sejenis, bukan yang berbeda jenis saja seperti Claire. Pembicaraan Nye Nye dengan teman laki-laki pasti berbeda dengan Claire. Ya, mungkin.
"Tentang rencana yang aku punya, ehm, begini, aku ingin itu, eh, menyatakan perasaanku kepada Claire. Ya, menyatakan perasaanku kepadanya," Nye Nye tampak ragu-ragu di awal pembukaannya."Mengapa," tanyaku -mencoba- untuk santai. Sebenarnya, dari lubuk hatiku terdalam, aku memiliki keinginan untuk mengganti jalan pikiran Nye Nye. Dia, kan, sudah jelas-jelas dijauhi oleh Claire hanya karena mengetahui perasaan Nye Nye yang sebenarnya meski secara tidak langsung. Sudah tau begitu mengapa masih mau melakukan hal yang lebih ekstrim lagi? Bisa-bisa ia dikurung oleh Claire di gudang penyimpanan.
"Aku ingin memperbaiki hubungan kami melalui jalan yang baik. Tenanglah, jangan berpikiran yang buruk dulu tentangku. Kalau memang Claire tidak bisa kuajak berdamai melalui pidato, puisi, maupun ceramahanku, berarti aku harus melakukan tindakan yang lain, yang lebih mengambil resiko. Ingat, aku pria, bukan? Dan pria selalu mencari cara secara gentle untuk mendapatkan apa yang ia inginkan."
"Oke, aku terima idemu itu. Tapi apa langkahmu? Kau mau merokok supaya dibilang gentle? Mau berendam satu minggu dihadapan Claire supaya ia mengiramu tangguh? Berpuasa makan dan minum satu bulan? Atau menjadi berandalan sekolah," balasku panjang lebar dan sengit.
"Dengarkan dia dulu, Beck. Siapa tahu idenya cemerlang," bela Jean. Aku membuang nafas dengan kasar. "Aku butuh jet air supaya tampak gentle."
"Jet air??!"
***
"Halo, Simbah."
"Eh, Cah Ayu, piye kabare, ndhuk? Simbah wis kangen."
"Hehehe... Kula sae. Nganggo ngoko wae, yo, Mbah. Cucun lali basa krama. Maklum, Anak Tangerang, Mbah."
"Woo, bocah kurang ajar. Yo, wis ora apa-apa. Simbah ngerti, saiki kancamu bule-bule unyu, ngomonge nganggo basa alien, simbah ora mudheng. Menungsa wae nduwe basa, kok, yo kudu nganggo basa alien. Kurang gawean. Heh, ana apa kok skaipian, ndhuk?"
"Anu, Mbah, Cucun karo kanca-kanca arep nggawe ramuan kanggo kancane Cucun. Nah, Cucun kapingin wong kang disenengi kancaku kuwi uga seneng balik. Ngono, lho, Mbah."
Kami berenam -tanpa Nye Nye- sedang menemani Encun ber-Skype-an ria dengan nenek buyutnya di Bukit Lavender. Sengaja kami memilih tempat terasingkan di sini supaya Claire tidak dapat menemukan keberadaan kami yang menghilang semenjak tadi pagi. Lagi pula, sinyal di Bukit Lavender sangat kuat dan dapat menghubungkan akses internet ke seluruh dunia, bahkan antar planet. Bukit Lavender juga dekat dengan tanaman rempah-rempah yang mungkin akan kami butuhkan untuk membuat ramuan pemikat hari Claire.
Ngomong-ngomong soal Claire, jujur, kami belum bertemu dengannya setelah pertandingan sepakbola IAB-Silverwood. Aksi mengendap-endap yang kami lakukan untuk bolak-balik ke kamar asrama tidak diketahui oleh Claire. Keberadaan Claire saat ini juga tidak terdeteksi. Menurut feeling-ku, sih, Claire sedang berendam di pemandian air panas sekolah atau mungkin membaca novel karya John Green di perpustakaan sekolah. Pasti dia galau.
Sebelum berkumpul di tempat ini, kami sudah menyiapkan berbagai peralatan yang kemungkinan akan dibutuhkan untuk membuat ramuan. Ada mortar mini di hadapan kami, pisau, sedikit air mineral, sarung tangan (supaya kami tidak keracunan kalau memegang bahan), dan masih banyak lagi.
"Baiklah, aku akan menjelaskan tata cara membuat ramuan yang sudah diberikan oleh nenek buyutku. Yang pertama, kita harus berdoa menurut agama dan kepercayaan kita masing-masing. Tujuannya, supaya saat kita membuat nanti -mudah-mudahan- bahan yang kita campurkan tepat dan tidak memakan korban. Intinya kita harus berdoa supaya tidak gagal. Kan, gawat juga kalau Nye Nye jadi korban.
Nah, yang kedua, siapkan alat dan bahan. Aku akan membagikan tugas kepada kalian untuk berburu bahan ramuan.
Pertama, Jean, kau mencari kencur dan kunyit.
Lindsay, carikan madu sebanyak satu sendok makan juga daun kemangi.
Maureen, kau bagian mencari kulit kayu manis.
Gareth kau cari daun pandan sebanyak lima helai.
Sedangkan Lotta, mencari ranting cemara yang diameternya tidak lebih dari 0,5 sentimeter.
Terakhir, kau Beck, carikan bunga mawar putih, mawar merah, dan juga bunga melati. Kalau bisa cari yang banyak, ya! Kata nenek buyutku, ketiga bunga itu merupakan komoponen paling penting dari ramuan yang akan kita buat."
"Siap, Cun!"
"Oke, Cun. Sepuluh menit lagi aku akan kembali!"
Kami berpencar, menuju tempat yang menyimpan bahan-bahan tersebut. Aku segera berlari menyusuri lembah Bukit Lavender menuju pondok kecil milik Nany Nay. Ia merupakan salah satu perawat kebun IAB yang dipekerjakan di pulau ini. Setahuku, Nany Nay juga membudidayakan bunga mawar. Tak mungkin, kan, seseorang yang menanam ratusan bunga dan tanaman hias melewatkan tanaman mawar yang sangat populer.
"Nany Nay," sapaku kepada sosok wanita muda yang sedang menghitung uang di depan pagar pondok miliknya.
"Halo, Becky. Lama tak berjumpa. Apakah ada yang bisa kubantu?"
"Ya, tentu saja. Apa kau memiliki mawar merah, mawar putih, dan melati?"
Katakan ya...
"Oh, maafkan aku, Beck. Kau terlambat satu per sekian-sekian detik. Aku baru saja menjual bunga yang kau cari kepada perantau dari Indonesia."
"Ah, sial. Tidak adakah yang tersisa? Satu atau dua kelopak bunga saja?"
"Maaf, Beck, tidak ada. Oh, tunggu! Aku masih menyimpan bunga melati kering untuk membuat teh di dapur. Kau mau?"
"Melati kering? Ya sudah, tak masalah."
Ditanganku sudah ada satu genggam melati, melati kering, tepatnya. Warnanya coklat bahkan ada yang hitam, kelopaknya sangat kering bahkan bisa retak kalau disentuh. Ini sebenarnya aku yang bodoh atau Nany Nay, sih? Memangnya melati harus dikeringkan, ya untuk dijadikan teh? Memangnya melati kering bisa dijadikan ramuan? Hah?
Pasti bisa.
Aku terus berpikir sambil berjalan meninggalkan pondok Nany Nay. Apa yang akan menjadi ganti mawar merah dan mawar putih? Bunga dadelion? Warnanya, kan, memang putih, tetapi mana mungkin. Bunga lavender? Di bukit juga banyak kalau begitu, tapi warnanya ungu, bentuknya juga sudah beda jauh. Ah! Aku ada ide! Setelah sekitar setengah jam berpencar, kami kenbali berkumpul. Ditangan kami masing-masing sudah ada bahan-bahan untuk membuat ramuan. Encun kembali memandu kami.
"Masukkan kencur kunyit, Jean. Yap, bagus. Lalu madu. Selanjutnya kulit kayu manis, cek. Ranting pohon cemara...."
"Ah, maaf, Cun, ranting pohon cemaranya terlalu tinggi untuk kugapai. Jadi aku ambilkan batang pohon pepaya yang masih muda. Ukurannya tidak berbeda jauh."
"Hahh? Kau serius? Kalau salah bagaimana?"
"Santai saja, lah, Cun, tidak beda jauh, kok. Lagian aku juga tidak dapat mawar merah-putih, jadinya aku ngambil bawang merah sama bawang putih. Warnanya juga sama-sama merah dan putih. Ya, kan, Gar," tuturku.
"Iya, betul. Daun pandan juga tidak ada, jadi aku ambil rumput laut di pantai. Bentuknya berbeda, tetapi sama-sama digunakan untuk bahan masakan, Cun."
"Hah??! Kok, begitu? Kalau gagal bagaimana??"
***
"Nanti, aku akan meluncurkan roket air yang berisi surat cintaku kepada Claire yang sedang berlatih sepakbola di lapangan. Aku pastikan roketku ini akan mendarat sempurna di depannya. Kemudian, ia akan menarik pita merah muda itu dan surat cintaku akan keluar, deh," jelas Nye Nye sambil menggosok-gosokkan kedua tanganya, matanya menerawang jauh ke depan -membayangkan aksinya nanti-.
Kemarin -setelah membuat rempat-rempah yang tak berbentuk, kami melanjutkan proyek balas jasa Nye Nye, yaitu roket air. Jelasnya, Nye Nye akan menyatakan cintanya pada Claire melalui surat cinta yang akan diletakkan di dalam roket air buatan Nye Nye. Huh, menyebalkan. Begitu, ya, anak Klub Sains mengutarakan perasaan. Ada-ada saja hubungannya dengan fisika. Coba saja kalau Claire tahu ide Nye Nye seperti itu, dia pasti langsung mengajak debat dengan rumusan masalah "Kenapa menyatakan cinta saja susahnya minta ampun?"
Kalau dipikir-pikir, cara Nye Nye ini tidak bisa dikatakan gentle tapi unik. Kalau gentle ya bilang langsung, dong -tanpa perantara. Roket aja diunggulin. Ah, jangan bilang nada bicaraku terdengar iri karena Nye Nye bisa membuat roket air.
"Lalu rempah-rempah ini mau kau taruh di mana," tanya Lindsay sambil mengamati roket air Nye Nye -mencari spot fantastis agar ramuan nenek buyut Encun berefek maksimal terhadap Claire. Nye Nye mengerutkan kening sambil memegangi dagunya yang tak berjenggot (?).
"Enaknya di mana, ya?"
"Di ujung roket airnya saja, Nye! Pasti manjur, apalagi kalau dipegang Claire secara langsung. Wuihh, mantab, tuh, pasti," usul Maureen keras-keras. Akhirnya kami putuskan untuk melapisi ujung roket air dengan ramuan herbal acak adul milik kami. Tidak hanya diolesi, lho, tetapi dilapisi. Bisa kalian bayangkan komponen-komponen herbal yang kami dapat kemarin dijadikan satu lalu di lekatkan keseluruhannya di ujung roket air, betapa menjijikkan.
"Eh, itu Claire," pekik Jean.
"Iya. Cepat lemparkan roket airmu, Nye! Mumpung ia sedang sibuk sendiri," tambahku sambil lompat-lompat kegirangan. Aku sudah tidak sabar menunggu reaksi dari ramuan herbal "Pengikat Hati Claire" ditambah dengan surat cinta roket air. Hasilnya pasti sungguh hebat.
"Sabarlah. Aku sedang memompa."
Suuuuuuuuttttt..... Tuiiiiiinggg.....
Roket air sudah meluncur dengan ketinggian yang cukup tinggi. Arahnya mendaratnya pun tepat pada--Brukkk....--kepala Claire.
Tidak!! Nye Nye salah sasaran. Dari jauh, kami melihat Claire meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya yang terantuk moncong roket air. Ditambah dengan lapisan ramuan herbal yang bertebaran di rambutnya.
Yuck! Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Claire. Rambutnya pasti sangat bau dan kotor karena kami. Nano-nano. Menjadi kuning karena terkena kunyit, lengket karena madu dan bayang pepaya yang bergetah, bertekstur kasar karena tumbukan kulit kayu manis, serta bau menyengat dari bawang merah dan bawang putih, belum lagi ada lalat yang sempat hinggap di kepalanya.Claire menengok kesana kemari mencari pangkalan roket air yang tergeletak tak berdaya di dekatnya. Sampai pandangannya berhenti pada kami...
Oh, Tuhan, dua niat baik kami tidak berjalan dengan mulus.
To be continued.
***
Okay that's the 9th chapter. Gonna write for the 10th chapter. Wish me luck, okay? :D
Thank you!!♥♥♥
Comments
Post a Comment