Nyenye : [Chapter 8] A Secret Admirer
Hello guys! It has been a longggg of time since I posted the last post about Nyenye. I'm so sorry guys, I have a lot of things to do. I'm a student and I have a lot of business like you know this week has been a tiring week for me.
But yap, at least now I'm continue it, right? (Even though I late, too late, so late, and very very late :p)
Okay well, this is the 8th chapter of Nyenye. It was made by Sekar, and I hope you all love it!!
Check this out!! ♥♥♥
***
Chapter 8
A Secret Admirer
[The previous Chapter → Chapter 7 (Pt.2) It's Been Revealed]
*Carlotta deQuez’s Point of View*
Hari ini hari Minggu. Kami semua – para murid IAB – libur dan bebas melakukan apapun selama tidak melanggar peraturan. Seperti biasa, aku pergi ke perpustakaan, ke deretan rak yang menyimpan novel-novel fantasi. Rak-rak kayu yang menyimpan puluhan (atau mungkin bahkan ratusan) novel fantasi ini terletak di salah satu pojok paling terang dan paling tenang di perpustakaan.
Aku mengambil sebuah novel dari rak, lalu duduk di sofa cokelat kecil di dekat situ. Aku membuka novel itu pada halaman pertama dan meletakkannya di pangkuanku, tetapi tidak kubaca sama sekali. Memang, aku tidak pernah benar-benar membaca di perpustakaan. Aku pergi ke deretan rak novel fantasi karena di dekat rak-rak tersebut ada beberapa sofa empuk, dan sofa-sofa itu enak sekali dipakai untuk tidur. Jadi sebenarnya bukan karena aku suka novel bergenre fantasi.
Akan tetapi, entah mengapa siang ini aku tidak punya keinginan untuk tidur sama sekali. Aku melihat-lihat deretan buku di rak. Mataku tertuju pada buku-buku, tapi pikiranku tidak ada di sana. Aku malah memikirkan kejadian-kejadian yang terjadi di kelasku pada semester yang baru berjalan tiga minggu ini.
Pertama, Nyenye sering termenung-menung dengan tampang memelas dan tatapan kosong setelah Claire menyatakan penolakan terhadapnya persis sebelum turnamen sepakbola. Oh ya, sekedar informasi, IAB kembali memenangkan turnamen tahun ini! Kini ada piala baru bertuliskan ‘Champion of the 8th Australia’s U-17 National Soccer Tournament ’ yang dipajang di lemari kaca di perpustakaan.
Kedua, kedatangan Pierre, seorang murid baru, di kelas kami. Bersama dengan Pierre datang juga cerita masa lalunya yang memicu permusuhannya dengan Nyenye. Mereka berdua tidak pernah saling bicara sampai saat ini – sepatah kata pun tidak.
Ketiga, teman-teman sempat menganggap aku menjauh dari mereka.
Keempat, teman-teman memihak Pierre secara terang-terangan. Heran deh, sebenarnya untuk apa sih pihak-memihak begitu? Menurutku hal-hal begitu sifatnya kekanak-kanakan sekali, karena dengan berpihak berarti kita ikut mencampuri urusan orang lain. Sejujurnya, beberapa hari yang lalu aku agak menjauh dari teman-temanku karena aku sebal. Aku tidak suka pihak-pihakan begitu, jadi kupikir lebih baik aku yang pergi. Sewaktu masalah pihak-memihak sudah mereda, aku mulai bergabung lagi dengan mereka walaupun masih ada sedikit kemarahan. Rasa marah itulah yang menyebabkan kalimat “Aku keliru, Nyenye memang pembohong” keluar dari mulutku. Sebenarnya aku tidak berpikir begitu, sih. Aku tidak mau menuduh ataupun membela siapapun. Aku ingin berdiri sebagai pihak netral yang objektif.
Kelima, Nyenye kini tambah sering menampakkan wajah murung seolah dunia sudah berakhir, hanya karena dia merasa tidak punya teman sama sekali. Padahal Loiz selalu setia menemani dan berusaha mengajaknya mengobrol. Akan tetapi, Nyenye tampak sangat membenci Loiz dan malah mendiamkannya saat diajak mengobrol. Kenapa dia begitu pemilih? Tidak bisakah dia melihat ketulusan Loiz dan bahwa di IAB tidak cuma ada anak-anak kelas 9-3, tapi juga ada delapan kelas lain? Aku benar-benar tidak bisa memahami Nyenye.
Aku sudah bosan melihat buku-buku yang berbaris rapi dalam rak, jadi kualihkan pandanganku ke plafon putih di atas kepalaku. Aku memandangi plafon sambil memikirkan penyelesaian paling mudah untuk perkara-perkara ini, karena aku betul-betul ingin semua ini berakhir dengan segera.
Sebuah suara halus yang muncul di benakku berkata, “Bicaralah dengan Nyenye. Kau tahu, berdasarkan survei Lindsay yang ketujuh dulu, 99,9% masalah di IAB dapat diselesaikan melalui pembicaraan.”
Yah, kau benar, Hati Nurani. Aku mengembalikan novel yang sedari tadi ada di pangkuanku – yang tidak jadi kubaca – ke dalam rak, lalu keluar dari perpustakaan.
Aku sudah membulatkan tekad. Aku harus bicara dengan Nyenye.
***
Karena aku sebangku dengan Nyenye, kami harus menjadi partner kerja untuk tugas Biologi. Mr. Blake (yang adalah guru favoritku) menyuruh kami mengamati mikroorganisme air yang hidup di Pantai Crane. Sampelnya sudah ada, kami tinggal mengamati dan mencatat ciri-cirinya saja.
Aku dan Nyenye mengerjakan tugas Mr. Blake di laboratorium sekolah dengan dibantu seperangkat mikroskop, beberapa lembar kertas laporan, satu set alat tulis, serta sekotak pensil warna (untuk menggambar mikroorganismenya). Aku bertugas mencatat dan menggambar, sedangkan Nyenye yang mengamati lewat mikroskop.
“Ada dua mikroorganisme di sini,” kata Nyenye dengan suara-tanpa-semangat-sama-sekali, “bentuknya bulat dengan gerigi-gerigi kecil di sekeliling tubuhnya.”
“Oke, jadi bentuknya bulat dengan gerigi-gerigi kecil di sekeliling tubuhnya,” kataku sambil menggambar. “Warna makhluknya apa?”
Tidak ada jawaban. Aku mendongak dan mendapati tidak ada orang di belakang mikroskop. Nyenye sudah pergi ke ujung ruangan yang lebih terang dan malah melihat-lihat beberapa katak yang sengaja dipelihara untuk percobaan. Wow. Dua detik yang lalu dia masih di belakang mikroskop, di depanku. Tadi Nyenye lari ke sana ya? Dia cepat sekali untuk urusan berpindah tempat. Atau jangan-jangan dia menguasai jurusteleport yang sering dipakai ninja-ninja dalam komik? Ah sudahlah, itu tidak penting.
“Nyenye?” panggilku dengan suara keras. “Apa yang kaulakukan?” Dia tidak menjawab dan tidak bergerak seinci pun.
“Nyenye?” panggilku lagi. Sekali lagi, tak ada jawaban.“
Nyenye! Apa sih yang kau lihat di situ? Itu kan cuma katak biasa!” seruku.
Selama sedetik kukira Nyenye tidak akan bersuara seperti yang sudah-sudah, tapi ternyata aku salah. Pada detik berikutnya, Nyenye mulai menyanyi pelan.
“And tears come streaming down your face
When you lose something you can’t replace
When you love someone but it goes to waste
Could it be worse?”
Aku mengenali lagu itu – Fix You dari Coldplay. Lagu yang diberi gelar Lagu Galau Terbaik Sepanjang Masa oleh Nyenye sendiri. Aku memutar kedua bola mataku. Nyenye mulai lagi, deh.
“Nyenye, sudahlah. Anak-anak IAB tidak hanya yang belajar di kelas 9-3 kan? Kalau kau kesepian cobalah cari teman dari kelas lain,” saranku. “Tapi tidak usah jauh-jauh pun sebenarnya ada anak yang benar-benar ikhlas mau berteman denganmu. Loiz-”
“UGH,” dengus Nyenye, memotong kalimatku. Dia masih berdiri memunggungiku di ujung laboratorium. “Sebut nama Loiz Van Houten sekali lagi dan sepatuku akan melayang ke arahmu. Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu.”
Aku menaikkan alisku. “Sepertinya kau ini sangat sensitif dengan nama Loiz. Memang kenapa sih?” tanyaku sambil bersiap-siap menghindar kalau tiba-tiba sepatu hitam Nyenye melesat ke arahku. “Menurutku dia tidak seburuk itu, kok. Dia baik dan ramah sekali malah, terutama terhadapmu.
Tapi kalau kau memang tidak mau menjadi teman dekatnya, aku tidak akan memaksa. Tapi kau juga jangan berbuat seolah-olah dunia sudah kiamat begitu, dong! Aku dan teman-teman sekelas sudah bosan melihatmu galau berlebihan begini,” aku berterus terang.
Nyenye diam saja. Dia memutar tubuhnya menghadap ke jendela, dan mulai berjalan ke sana. Pandangannya kosong. Eh, jangan-jangan dia mau mencoba bunuh diri seperti anak depresi di film yang ditonton Becky dulu itu? Tidak!! Nanti kalau arwahnya gentayangan di IAB kan bisa parah…
Untunglah imajinasiku itu tidak terjadi. Nyenye berhenti setelah mencapai jendela, tidak melompat seperti perkiraanku. “Masalahnya tidak semudah itu,” gumamnya. “Untukmu sepertinya mudah saja, Lotta. Kau kan tidak pernah mengalami kejadian yang sama denganku. Di sekolah ini tidak ada yang bisa mengerti, tidak ada dan tidak akan pernah ada.
“Bahkan mungkin saja para ilmuwan yang terpintar pun tidak akan pernah bisa mengerti masalahku ini. Sepertinya apa yang kualami ini adalah kejadian langka. Hanya Tuhan yang bisa mengerti. Tapi walaupun Tuhan tahu apa yang sedang bergejolak dalam batinku ini, permasalahanku ini tidak akan pernah selesai sebelum aku mati. Karena kalau aku belum mati, berarti aku belum bisa bertemu dengan Tuhan. Berarti aku belum bisa membicarakan masalahku dengan-Nya, dan Dia belum bisa menyelesaikan perkara yang membebani jiwaku. Persoalan yang kualami ini tidak akan pernah ada habisnya, dia akan selalu menghantui dan membayang-bayangiku kemanapun aku pergi. Mungkinkah ini yang disebut ‘akhir dari segalanya’ oleh orang banyak? Akan tetapi, kalau ini memang akhirnya, mengapa aku belum mati?”
Nyenye masih terus menggumamkan puisi super-galaunya. Dia melihat ke luar jendela, ke arah Bukit Lavender, tapi pandangannya kosong. Kedua tangannya mencengkeram kusen jendela erat-erat.
Aku masih duduk di belakang meja, tak bisa berbuat apa-apa. Jujur saja, aku sedikit takut. Saat itu Nyenye tampak seperti orang dengan tekanan batin yang luar biasa hebat, yang biasanya kita temukan di rumah sakit jiwa. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
Nyenye masih terus berpuisi di depan jendela selama sekitar delapan menit, lalu tiba-tiba dari mulutnya keluar beberapa kalimat yang ditujukan padaku, yang diucapkannya dengan suara agak keras. “Coba bayangkan saja, Lotta. Kau dijauhi oleh sahabatmu, belahan jiwamu, karena dia sudah punya pacar. Dia sudah menemukan belahan jiwanya sendiri. Lalu ketika kau sudah menemukan orang yang kauanggap pas untuk mengisi hatimu, dia menolak mentah-mentah. Tak lama kemudian, datanglah musuhmu dari masa lalu. Musuh yang sudah menghancurkan reputasimu dan membuatmu malu di depan seluruh orang. Parahnya lagi, semua orang malah membelanya. Bagaimana perasaanmu?”
Aku benar-benar berusaha membayangkannya. “Pasti sedih sekali,” aku mengakui. “Tapi sedihmu sudah benar-benar kelewat batas, Nyenye! Bersikap wajar sajalah. Aku tahu kau pasti sangat sedih, tapi jangan biarkan perasaan itu menguasaimu dan mempengaruhi hidupmu. Kau sendiri sudah lihat akibatnya, kan. Posisimu sebagai kapten tim sepakbola inti terancam karena kau tidak main dengan sepenuh hati. Kau tidak mau bicara dengan teman-temanmu sekelas, dan akhirnya kau tidak diikutkan dalam berbagai acara kami. Kalau kau terus-terusan begini, aku yakin kau pasti akan mendapat banyak hal buruk lagi,” kataku. Aku kehabisan napas karena bicara terlalu panjang, maka aku menunggu sejenak sebelum melanjutkan lagi. “Semua itu hanya efek samping dari sedihmu yang berlebihan. Hilangkanlah hal itu, dan semua efek sampingnya akan ikut pergi.”
Nyenye terdiam cukup lama di depan jendela. Pandangannya belum beralih dari Bukit Lavender. Setelah keheningan terjadi selama hampir lima menit, Nyenye mulai bersuara.
“Kau bicara apa, sih? Aku tidak mengerti,” gumamnya lirih, hampir tidak bisa kudengar. “Aku tidak mengerti, dan tidak mau memikirkan hal ini lagi. Biarlah semua berjalan sebagaimana mestinya, aku tak mau mengurusi hal ini lagi.”
Kini dia mulai berjalan menuju pintu keluar dengan wajah lesu dan langkah gontai. “Ya sudah, kalau kau memang tak mau bicara lagi,” kataku cepat-cepat, sebelum dia keluar dari laboratorium. “Tapi tugas kita bagaimana?”
“Kau saja yang mengerjakan,” kata Nyenye tanpa berbalik. “Aku sudah tidak bisa berpikir lagi.” Dalam sekejap dia sudah lenyap dari pandangan.
Aku kembali mengerjakan tugas dari Mr. Blake sambil berpikir tentang percakapanku dengan Nyenye barusan. Jalan pikiran anak itu benar-benar aneh. Benar – benar sempit pikirannya. Aku sama sekali tidak bisa memahami mengapa dia suka sekali memandang segala sesuatu hanya dari satu sisi. Dan parahnya hampir selalu dari sisi buruk. Aku sudah mencoba bicara baik-baik dengannya, tanpa kemarahan, tapi gagal.
Akan tetapi, aku masih belum menyerah. Kalau tidak bisa melalui diskusi baik-baik, berarti aku harus mencari cara lain untuk menyembuhkan Nyenye dari penyakit galau kronisnya. Dan ide untuk ‘cara lain’ itu sebaiknya cepat datang, sebelum Nyenye benar-benar nekat dan kemudian ada berita penemuan mayat tenggelam di Danau Flakes atau mayat yang tergantung di salah satu pohon di kebun apel IAB.
***
Menurutku, hari Jumat adalah hari terbaik ketiga dalam seminggu – setelah Sabtu dan Minggu, tentu. Di hari ini hanya ada satu jam pelajaran siang, tidak empat seperti hari-hari lainnya. Maka dari itu, hari Jumat adalah Hari Tidur Siang untukku. Setelah pelajaran siang selesai, biasanya aku langsung kembali ke kamar dan tidur sampai hampir waktunya makan malam.
Tapi hari ini tidak biasa. Aku baru saja mencoba mencicipi segelas white coffee di kantin tadi saat istirahat, karena terpengaruh perkataan Gareth yang mengatakan bahwa white coffee adalah minuman terlezat di dunia. Karena dia ahli dalam hal makanan, aku percaya saja. Sebelumnya aku tidak pernah minum kopi, karena aku selalu berjuang untuk menjaga tubuhku tetap sehat. Nah, akibatnya sekarang aku sama sekali tidak mengantuk. Ah, sungguh tidak nyaman. Kebiasaan tidur siangku kan jadi terganggu. Dan karena tidak kunjung mengantuk maka aku pergi saja ke lapangan sepakbola untuk menonton Claire, Becky, dan Encun berlatih (Becky dan Encun masih menjadi cheerleader).
Aku duduk di tempat penonton dan mulai mengamati sekelilingku. Claire, Kate, dan teman-teman setimnya sedang berlari mengelilingi lapangan untuk pemanasan. Becky dan Encun sibuk merancang formasi piramida baru yang bisa ‘dibangun’ sambil membawa pom-pom. Pierre, dengan rambut hitam yang baru saja disemir menjadi pirang, berlatih menggiring bola. Beberapa anak laki-laki dari kelas 8 berlarian kesana-kemari dan membuat tumpukan daun cokelat – yang rencananya akan dibakar tukang kebun sekolah – berantakan kembali. Baru kali ini aku melihat tumpukan itu. Padahal tumpukan dedaunan itu sudah besar sekali, kira-kira sudah dikumpulkan selama seminggu. Selama ini aku kemana saja? Tanpa perlu bertanya seperti itupun aku sudah tahu jawabannya. Aku terlalu banyak tidur di siang hari dan malah terjaga saat malam. Akibatnya aku tidak tahu apa-apa saja yang terjadi saat siang hari, dan malah mengetahui semua hal yang terjadi di malam hari. Uh. Aku mengalihkan pandangan dan melihat seorang anak kelas 7 sedang duduk di ayunan yang tak jauh dari lapangan sambil mengigit roti krimnya. Eh, sejak kapan ada ayunan di sana? Duh, aku benar-benar harus mengurangi jam tidur siangku. Ternyata di siang hari juga ada banyak hal yang menarik, yang selama ini ternyata kulewatkan.
Kini aku mengamati tempat duduk penonton di seberang lapangan. Aku melihat beberapa anak perempuan di sana. Salah satu dari mereka tampak sedang mengamati lapangan dengan penuh perhatian. Tepatnya bukan lapangan yang diamatinya, tetapi anak laki-laki yang mengenakan jersey IAB berwarna hijau dengan nomor punggung 13, yang berlatih terpisah dari teman-temannya yang lain. Anak laki-laki itu tampak tidak bersemangat sama sekali, dan anak perempuan itu kelihatannya sedang berusaha mengirimkan gelombang semangat untuknya. Anak laki-laki itu berbalik, dan aku bisa melihat wajahnya.
Ternyata dia adalah… Nyenye! Tepat dugaanku. Tidak ada anak lain yang seloyo dia. Dia masih saja bersikap seolah-olah akhir dunia sudah nyaris tiba, bahkan setelah pembicaraan yang terjadi di laboratorium beberapa hari lalu. Tapi setidaknya aku masih bisa bersyukur karena Nyenye sampai sekarang belum memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Entah karena dia memang tidak pernah berpikir kesana, atau karena tidak punya nyali untuk melakukannya.
Selanjutnya, setelah berhasil mengetahui siapa anak laki-laki itu, aku jadi penasaran dan mengamati wajah anak perempuan yang memandangi Nyenye itu dengan lebih teliti, berusaha mengenalinya. Kurasa aku sudah sangat sering melihatnya. Ah, ya, aku ingat. Dia seangkatan denganku dan menempati kamar asrama putri nomor 23 – bersebelahan dengan kamarku. Kalau tidak salah, gadis cantik berkulit coklat dengan rambut hitam panjang dan mata hitam indah itu namanya Teresa Parvati Singh. Seingatku, Teresa berasal dari India, sama seperti Nyenye.
Perhatianku teralih dari Teresa saat Becky, Encun, dan Claire berseru memanggilku. “Lotta!” teriak mereka bersamaan. Dengan santai aku berjalan ke tengah lapangan. “Apa?” tanyaku setelah sampai di tempat mereka berdiri. “Tidak ada apa-apa sih,” jawab Encun sambil mengambil botol minumnya dari tangan Claire, “cuma tiba-tiba ada keinginan yang mendorongku untuk memanggilmu saja.” Aku mengabaikan jawaban Encun yang diucapkan dengan tampang polos dan bertanya lagi, “Latihannya sudah selesai ya?”Becky mengangguk. “Ayo, kita kembali saja ke asrama. Aku ingin segera membersihkan badanku dari segala debu dan keringat ini. Kalian tahu, debu dan keringat begini tidak baik untuk kulit. Kalau tidak cepat-cepat dibersihkan bisa menimbulkan jerawat, dan aku tidak mau di mukaku ada jerawat,” katanya sambil menunjuk kulit mukanya yang putih mulus dan terawat dengan sangat baik, yang saat itu menampilkan ekspresi cemas.
Claire hanya tertawa mendengar kekhawatiran Becky. “Ah Becky, jerawat kecil begitu saja kau takutkan. Tapi ada baiknya juga kita langsung kembali ke asrama sekarang. Airku sudah habis dan aku masih haus sekali,” ujarnya sambil membalikkan botol minumnya. Setetes air jatuh.“Baiklah, ayo kita kembali. Lagipula setengah jam lagi makan malam akan siap, dan aku tidak mau terlambat,” kataku. “Walaupun tidak melakukan apapun sore ini, tapi tetap saja aku kelaparan!”
***
Aku mengigit enchilada isi daging sapi yang menjadi main course malam hari ini sambil terus mengamati sekitarku. Entah kenapa, hari ini aku baru ingin mengamati segala sesuatu. Encun, Claire, Becky, dan Pierre makan dengan lahap – pasti latihan tadi sore terlalu banyak menguras energi mereka. Nyenye tampak paling tidak bernafsu makan. Dari tadi dia hanya membalik-balik enchiladanya dengan ekspresi datar, tanpa sekalipun memasukkannya ke dalam mulut. Supnya pun masih utuh, belum disentuhnya sama sekali. Jeanne dan Gareth duduk bersebelahan. Mereka makan sambil terus mengobrol dengan riang. Lindsay tampak makan sambil berpikir. Bisa jadi dia sedang mengira-ngira berapa jumlah kalori yang ada dalam makan malam ini. Aku melihat Maureen diam-diam mengeluarkan ponselnya dan memotret enchilada serta sup brokoli di depannya. Selama beberapa saat berikutnya dia sibuk berkutat dengan ponselnya. Kurasa dia meng-upload foto-foto makanan tadi ke Twitter atau Instagram. Hanya Loiz yang makan seperti biasa. Eh, tidak juga.
Table manner Loiz terlalu sempurna, sehingga dia malah tampak seperti robot yang gerakannya kaku. Bahkan ekspresi wajahnya juga kaku, kecuali saat dia mendesis-desis kepedasan.
Bosan mengamati teman-teman semejaku, aku mengalihkan pandangan pada meja-meja lain. Aku melihat Teresa duduk di meja di sebelah kami. Dia duduk di ujung meja, persis berseberangan dengan Nyenye yang juga duduk di bagian ujung. Aku tidak ingin menguping, tapi karena aku duduk tidak terlalu jauh dari mereka, maka aku tetap bisa mendengar ketika Teresa berusaha mengajak Nyenye mengobrol.
Teresa : “Bagaimana latihan sepakbolamu hari ini?”
Nyenye : “Biasa saja.”
Teresa : “Makan malam hari ini enak, ya. Menurutmu bagaimana?”
Nyenye : “Biasa saja.”
Teresa : “Oh ya, kau sudah diberi tugas mengamati mikroorganisme air oleh Mr. Blake?”
Nyenye : “Sudah.”
Teresa : “Hasilmu bagaimana?”
Nyenye : “Biasa saja.”
Aku bertanya-tanya dalam hati, kok Teresa bisa begitu semangatnya mengajak Nyenye mengobrol ya? Padahal Nyenye selalu menjawab dengan ketus dan pendek-pendek. Mungkin Teresa ingin bisa akrab dengan Nyenye karena mereka sama- sama berasal dari India.. Aku juga tidak tahu. Yah, lagipula hal itu juga bukan urusanku. Buat apa aku harus mencari tahu?
Aku kembali memusatkan pikiran pada makan malamku dan mulai menyendokstrawberry cheese cake di depanku untuk menghilangkan rasa pedas akibat enchilada tadi.
***
Hari demi hari berlalu, aku pun semakin sering melihat Teresa yang selalu berusaha berinteraksi dengan Nyenye. Saat mereka berpapasan di koridor sekolah, Teresa selalu menyapa Nyenye. Setiap jam makan, Teresa selalu mengambil tempat duduk yang persis berseberangan dengan Nyenye dan mengajaknya mengobrol. Teresa juga tidak pernah absen menonton dan menyemangati Nyenye yang berlatih bersama tim sepakbola IAB setiap hari Jumat. Teresa juga akan tersenyum pada Nyenye saat melewati tempat mengobrol kami, dan kemudian duduk di sudut yang agak jauh sambil tak henti-hentinya memandang Nyenye dengan penuh kekaguman.
Dan hari ini, hari Sabtu pertama di bulan April, aku kembali melihat Teresa di bangku penonton, di tepi lapangan sepakbola, untuk melihat pertandingan uji-coba tim sepakbola IAB sebelum melawan Silverwoods Academy minggu depan – dan untuk menyemangati Nyenye. Bahkan dia membawa sepasang pom-pom mungil berwarna merah – sewarna dengan jersey yang dikenakan Nyenye hari ini.
Aku sendiri datang bersama Encun, Jeanne, Lindsay, Becky, dan Gareth untuk menonton Claire dan Pierre bermain. Aku tidak tahu teman-temanku ingin menonton Nyenye atau tidak, tapi sepertinya tidak. Dari raut muka mereka aku bisa tahu bahwa mereka masih menyimpan sedikit kemarahan terhadap Nyenye. Aku baru akan mengamati air muka mereka dengan lebih seksama ketika peluit berbunyi dan babak pertama dimulai. Maka aku memusatkan perhatianku pada lapangan, tidak lagi pada wajah teman-temanku.
Sekilas aku bisa melihat pom-pom merah yang dilambai-lambaikan di bangku penonton tak jauh di sebelah kiriku. Tanpa perlu bertanya kepada siapapun, aku tahu kalau itu Teresa. Aku terus memperhatikannya. Ada sesuatu di ekspresi dan perbuatannya yang kelihatan agak tidak wajar. Dia selalu tersenyum dengan pipi merona melihat Nyenye bermain dan bersorak dengan heboh sambil melambai-lambaikan pom-pomnya setiap Nyenye mendapat bola. Teresa tampak sangat kagum terhadap Nyenye dan caranya bermain bola, walaupun cara bermain Nyenye sudah banyak mengalami penurunan kualitas. Dia sering sekali offside, banyak melamun di tengah pertandingan, dan bahkan Nyenye sudah mendapat satu kartu kuning. Tapi tetap saja, Teresa menonton Nyenye dengan mata berbinar-binar kagum.
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Teresa memperhatikan Nyenye dengan mata berbinar-binar. Setiap kali dia melihat Nyenye, Teresa selalu memberikan tatapan-dengan-mata-berbinar-binar kepada Nyenye. Saat makan, saat menyapa Nyenye, saat berpapasan di koridor, bahkan saat hanya melihat Nyenye dari kejauhan. Tak hanya kedua bola matanya yang berbinar, pipi Teresa juga selalu merona merah saat melihat Nyenye.Aku nyengir saat menyadari suatu hal. Tampaknya Nyenye punya penggemar rahasia. Kuharap ini adalah ‘cara lain’ yang ditunjukkan oleh Tuhan untuk menyembuhkan Nyenye dari penyakit galau kronisnya. Semoga ‘cara lain’ ini tidak bernasib sama dengan proyek-proyek yang kami lakukan untuk Nyenye sebelumnya.
Semoga…..
-To be continued-
***
Well yeah, that's all. Sorry I'm very very very late to post this. Again, sorry.
Lots thanks from the authors. God bless! ♥
Comments
Post a Comment