Nyenye : [Chapter 7 (Pt. 2)] It's Been Revealed
Hellooo guyssss!!! ^^
So here's the 2nd part of the Chapter 7. This part still made by Febby :D
I don't know what prologue I have to write again so CHECK THIS OUT! :3
***
[The Previous Part -> Chapter 7 (Pt. 1) - New Classmate]
Chapter 7 - Part 2
It's Been Revealed
So here's the 2nd part of the Chapter 7. This part still made by Febby :D
I don't know what prologue I have to write again so CHECK THIS OUT! :3
***
[The Previous Part -> Chapter 7 (Pt. 1) - New Classmate]
Chapter 7 - Part 2
It's Been Revealed
*Lindsay Ong’s point of view*
Tok.. Tok.. Tok..
“Sebentar…” ucap seseorang dibalik pintu.
Gareth muncul dan melihat aku bersama Jeanne di depannya. “Eh, kalian, ngapain?”
“Bukumu ketinggalan,” jawab Jeanne menyodorkan buku catatan matematika milik Gareth yang sudah kucel dan kotor terkena tinta bolpoin.
“Makasih sayang,” jawab Gareth tersanjung. Melihat tingkah laku alay Gareth, aku hanya bisa nyengir saja dan tak comment apa-apa.
“Eh, aku lupa kalau ada kamu, Lindsay. Hehe..” Gareth menggaruk-garuk kepalanya. “Ada perlu apa Lindsay?”
“Tidak, aku hanya menemani Jeanne saja,” kataku sambil melihat-lihat isi kamar asrama Gareth.
“Hayooo, kamu mau ngintip ya…”
“Ngaco kamu. Lindsay tidak mungkin berpikiran seperti itu.” Jeanne membantah.
Wah, tahu saja si Jeanne, kalau aku tidak mungkin berpikiran aneh-aneh seperti itu. Jeanne memang baik sekali, aku kagum dengannya.
“Hehe…” Gareth tersenyum. “Iyalah, pikiran Lindsay isinya pelajaran semua.”
“Lebih tepatnya, berisi penelitian-penelitian aneh yang gak penting,” ujar seseorang yang suaranya sudah sangat kukenal. Dia adalah Claire Millan.
“Ah, kau lagi, kau lagi. Kenapa sih, kamu selalu ngejek penelitianku?” ujarku tidak terima.
“Sudah, sudah, Claire cuma bercanda kok.” Lagi-lagi Jeanne berkata bijak. Sungguh sosok yang mengagumkan dia.
“Ngomong-ngomong, kamu ngapain Claire?” tanya Jeanne mengganti topik.
“Tidak. Aku tadi sedang berjalan saja, lalu mendengar kata ‘mengintip’ dari kamar Gareth. Dan aku melihat kalian ngobrol, jadi aku mampir deh.”
“Ah, pikiranmu, Claire,” kataku gantian mengejek.
“Eh, eh, teman-teman.” Gareth memutar kepalanya ke segala arah, memastikan tidak ada orang selain kami berempat, lalu menutup pintu kamar asramanya.
Gareth memulai, “Ada satu yang membuatku bingung tentang Pierre dan NyeNye.”
Kami cewek-cewek saling menatap. “Ada apa?” ucap kami bersama-sama.
“Mereka terlihat aneh.”
“Aneh gimana?” Jeanne bertanya.
“Mereka sama sekali tidak berbicara,” kata Gareth dengan singkat, padat, jelas.
Lagi-lagi kami para cewek saling menatap pasti. Kami sepakat untuk tidak memberi tahu masalah permusuhan NyeNye dan Pierre ke Gareth karena takut dia akan keceplosan bilang ke NyeNye ataupun Loiz.
“Ya mungkin mereka belum kenal,” jawabku mengada-ngada.
“Aku sudah mengenalkan mereka kok. Malah, NyeNye terlihat sangat tidak senang saat Pierre menjabat tangannya.” Gareth menjelaskan.
“Perasaanmu saja kali.” Jeanne menanggapi.
“Tidak kok, Loiz juga merasakan hal yang sama, sayang,” kata Gareth lembut.
“Lagipula, Pierre juga sudah mulai berbicara ke aku dan Loiz, tapi tidak ke NyeNye. Mereka benar-benar seperti─” Gareth terlihat ragu. “seperti tidak mau berteman. Sungguh aneh.”
“Ah, sudahlah. Aku mau tidur.” Claire menyela lalu mengajakku pergi. Aku pun juga menggandeng Jeanne untuk ikut pergi.
***
“Tidak, aku tetap tidak percaya dengan Pierre.” Lotta memberontak setelah kami bertiga selesai memberitahu cerita Gareth ke teman-teman di kamar asrama 24.
“Pierre kan hanya bertanya ke Loiz dan Gareth, tidak ke NyeNye. Berarti bukan salah NyeNye kalau mereka tidak berbicara sama sekali. Itu salah Pierre yang tidak mau mencoba mengobrol dengannya,” lanjut Lotta. Kami tak menanggapi sepatah kata pun, karena kami juga tidak tahu siapa yang harus kami percaya dan siapa yang sebenarnya harus kami bela.
“Sudahlah, aku mau tidur,” kata Lotta dingin lalu beranjak dari tempat tidur Jeanne, tempat di mana kami berkumpul. Tak lama kemudian, kami menutup pembicaraan lalu tidur juga.
***
“Encun, kamu merasa gak, kalau Lotta semakin menjauh dari kita?” tanyaku di akhir pelajaran Mr. Root. Encun sekarang menjadi teman sebangkuku. Sudah seminggu ia duduk bersamaku, setelah Mrs. Sam mengatur tempat duduk murid 9-3 di hari kedua semester yang baru. Encun selain polos, juga enak diajak bicara. Aku senang duduk bersamanya.
“Iya sih. Tapi kenapa ya?” Ucapannya terpotong oleh sapaan Claire dan kawan-kawan yang datang menghampiri tempat dudukku.
“Hai, kalian tahu tidak?” Claire melirik ke kanan kiri. Ia tersenyum senang lalu melanjutkan, “Pierre sudah diterima jadi anggota baru timku loh.”
“Oh.. Kau sudah beritahu Pierre?” tanyaku sambil membereskan buku-buku pelajaranku.
“Nanti siang saja, sekalian nyerahin seragamnya,” jawab Claire.
“Ohh,” jawabku singkat. “Kawan, kalian ngerasa gak, kalau Lotta sedikit menjauh dari kita?” tanyaku selesai memasukkan buku ke dalam tas, lalu duduk bertopang dagu, melihat Lotta yang berjalan bersama NyeNye.
“Iya nih, apalagi setelah dia duduk sebangku sama NyeNye.” Maureen menanggapi, melihat NyeNye dan Lotta juga.
“Iya, aku juga merasakan hal yang sama,” kata Encun ikut menanggapi.
“Oya, ngomong-ngomong tentang NyeNye, menurutku dia sekarang main sepak bolanya kurang bagus,” kata Claire yang duduk di sebelahku.
Mendengar itu, Becky yang memang suka bercanda menanggapinya, “Mungkin dia stress karena kau tinggal, Claire.”.
“Ah, kau ini.” Claire menatap wajah kita satu per satu. “Jeanne mana sih? Biasanya dia yang bela aku kalau lagi terpojok gini.”
“Biasalah, dia pasti sama Gareth.” Maureen memutar kepalanya sedikit ke kanan, melihat Jeanne dan Gareth yang sedang duduk berdua di depan meja guru.
“Apa sih, enaknya pacaran kayak Jeanne dan Gareth?” tanya Encun polos.
“Rasakan saja sendiri,” saran Becky yang disambut tawa kami semua.
“Eh, eh, sebentar, kawan. NyeNye manggil aku.” Claire menatap celah-celah jendela kelas, lalu berlari keluar. Kami terdiam, menunggu, melihat Claire yang berbicara dengan NyeNye. Mereka terlihat berdebat, dan raut wajah NyeNye kecewa. Lalu Claire meninggalkannya, dan masuk ke ruang kelas 9-3 dengan wajah kesal.
“NyeNye memang aneh.” Dia memulainya dengan langkah kaki penuh rasa marah.
“Dia tidak senang aku memasukkan Pierre sebagai anggota baru club sepak bola kita. Katanya Pierre tidak berbakat. Padahal dia tahu kan, kalau Pierre pernah masuk club sepak bola di SDnya, malah mengalahkannya. Aku sudah menceritakan semuanya, dan dia─” Claire berhenti. Dia terkejut, dan kami pun juga kaget. “Aku menceritakannya ke NyeNye,” sambungnya datar.
Ruang kelas sepi. Tak ada di antara kami yang berani mengeluarkan pendapat. Semua melongo, terkejut akan kejadian yang baru saja terjadi.
“Bagaimana ini?” ucap Claire menyesal.
“Entah.” Aku menjawab.
“Aku telah menghancurkan pertemanan mereka.” Claire menyandarkan tubuhnya ke belakang.
“Kok bisa?” tanya Encun tanpa rasa bersalah.
“Aduh Encunn… Kau ini..” balas Becky geram.
“Kenapa?” Encun bertanya, semakin polos.
“Apakah kau tidak berpikir panjang? Kalau NyeNye tahu bahwa Pierre menceritakan semua masalah mereka ke kita, NyeNye pasti semakin marah. Dan itu bisa membuat parah permusuhan mereka,” jelasku.
“Tanpa NyeNye tahu kalau Pierre menceritakan masa lalunya saja, dia sudah tidak senang dengan Pierre. Apalagi kalau dia sudah tahu. Parahnya lagi, setelah semua kejadian ini, aku yakin kita semua akan sebal dengan NyeNye. Dan itu akan membuat NyeNye semakin benci dengan Pierre,” lanjutku panjang lebar.
“Kecuali Lotta.” Encun menambahi.
“Btw, kita juga masih gak tau kan, kebenaran di balik semua ini?” tanya Maureen ragu.
“Lindsay, Maureen benar, kita gak tau –siapa yang harus kita percaya-,” ujar Becky setuju.
“Betul juga. Kita serba salah kalau begini.” Encun menanggapi.
“Entah kenapa, aku yakin NyeNye yang salah,” kata Claire penuh kepastian.
“Entahlah, aku juga berpikir begitu, Claire,” ucapku yang terakhir kali. Setelah itu, kami semua pergi meninggalkan kelas dengan putus asa. Aku dan Claire pergi ke kamar asrama putra untuk menyerahkan seragam tim sepak bola sekolah kepada Pierre.
***
“Benarkah? Aku diterima jadi anggota timmu?” tanya Pierre tidak percaya. Aku dan Claire mengangguk senang. “Sudah lama aku ingin masuk ke dalam sebuah clubsepakbola lagi. Sejak NyeNye marah kepadaku, aku memutuskan untuk keluar dariclub. Kupikir, itu dapat membuatnya lebih senang.”
“Sekarang Pierre, kau tidak perlu menyembunyikan bakatmu, hanya untuk berteman dengan NyeNye yang aneh itu. Kau harus membantuku memenangkan pertandingan, Pierre,” ucap Claire penuh semangat.
“Ya sudah Pierre, kita pergi ke kamar dulu ya. Kami mau istirahat sebentar,” Aku melambaikan tangan, diikuti oleh Claire yang masih tersenyum senang.
“Claire, makasih banyak ya.”
***
“Lotta datang, Lotta datang,” kata Encun tegang, membuat suasana kamar asrama putri nomor 24 menjadi ikut tegang.
Ia duduk di atas kursi santai, di depan tempat tidurku, tempat di mana kami berkumpul. Wajahnya lesu dan terlihat sangat capai. Ia mendesah, dan mulai berbicara, “Teman-teman.”
Ia memandang wajah kami satu demi satu. “Maafkan aku.” Kami masih diam terpaku. Melihat tingkah laku kami, ia memperjelas lagi, “Kupikir kalian yang salah mempercayai orang. Tapi ternyata, aku keliru. NyeNye memang pembohong.”
Selama beberapa detik, ruangan jadi ramai, and Lotta melanjutkannya kembali, “Awalnya, NyeNye membantah ceritaku tentang masa lalunya, seperti yang dikatakan Pierre…”
“Apa? Kau cerita padanya?” Claire memutus kata-kata Lotta. Untung saja, ada Jeanne yang bisa meredakan amarah Claire.
“Iya, aku cerita kepadanya. Dan dia menyangkalnya. Katanya, setelah Pierre masuk ke dalam clubnya, Pierre menjadi sombong dan selalu ingin mengalahkannya. Setelah itu, Pierre pindah ke club lain, dan membuat NyeNye kalah. Pierre pura-pura merasa bersalah, dan dia sengaja keluar dari clubnya, agar semua orang pikir Pierre adalah teman yang baik, yang tidak mau menyaingi bakat NyeNye lagi.”
“NyeNye berkata seperti itu?” tanya Jeanne terkejut.
“Iya, Jeanne. Dan bodohnya, aku percaya dengan omongannya. Oleh karena itu, selama seminggu aku menjauh dari kalian. Aku pikir, kalian sudah tidak percaya lagi dengan aku dan NyeNye,” lanjutnya penuh penyesalan.
“Baru tadi sepulang sekolah, NyeNye mengakui bahwa cerita Pierre lah yang benar. Lalu aku ke sini, untuk minta maaf ke kalian.”
“Jadi, memang NyeNye yang salah?” tanyaku terkejut juga.
“Aku tidak menyangka, NyeNye seperti itu.” Maureen menambahi.
“NyeNye sungguh keterlaluan,” kata Becky yang masih menampilkan wajah-tidak-percaya.
“Dia bukan teman yang baik. Aku tak mau dengannya lagi,” kata Claire penuh emosi.
“Jangan begitu Claire, kasihan dia kalau tidak ada yang mau jadi temannya,” tanggap si Encun yang masih polos.
“Benar kata Encun. Itu masalah Pierre dan NyeNye. Kita tidak perlu ikut campur di dalamnya. Berteman seperti biasa saja, tapi jangan terlalu percaya dengannya,” saran Jeanne bijaksana. Tapi sayang, kami semua tidak bisa menerima saran Jeanne sepenuhnya. Kami masih terbawa amarah di hari-hari berikutnya. Sama sekali tak ada pembicaraan antara kami dengan NyeNye. Kami juga selalu menghindar darinya. Hanya Loiz yang masih setia menemaninya. Walau begitu, NyeNye lebih senang sendiri daripada bersama Loiz. Ia sering mengurung diri dalam kamar, bermain bola asal-asalan, dan tidak ikut dalam acara-acara. Apalagi setelah Mrs. Sam memarahinya dan berniat menurunkan NyeNye dari jabatan kaptennya. Sebenarnya kami kasihan dengannya, tapi kami masih menunggu penyesalan dari NyeNye. Yang dapat kami lakukan hanya satu, yaitu berharap hubungan pertemanan NyeNye dan Pierre dapat terjalin kembali, walau…
Walau tak tahu kapan itu terjadi.
***
Yap, so that's the 2nd part. Hope you guys like it. Talk about the photos of the characters, I think I'm gonna post it after this. Wait for it, okay?
MASSIVE THANK YOU from the authors!! xx
Comments
Post a Comment