Christmas Countdown [2016] : D-30



               “Just say cheese, Hill!” kata Luke sambil memelukku dari belakang. Ia membawa kamera polaroid di tangan kanannya dan langsung menekan tombol klik. Aku tertawa melihat tingkahnya yang lucu. Beberapa saat kemudian, sebuah kertas foto muncul dari kameranya. Aku mengambil kertas foto tersebut dan melihat hasilnya. Disitu ada wajahku yang sungguh sangat konyol dan juga ada wajah Luke yang tersenyum manis – senyum terindah yang pernah kulihat, senyum favoritku. Di belakang kami berdua telah berdiri pohon natal yang cukup besar yang belum sepenuhnya terhias.
                “Uhh wajahkuu..” ujarku pada Luke.
                “Tidak apa-apa, lucu!” katanya sambil merebut kertas foto itu dari padaku, “akan kupasang foto ini di pohon natal kita sebagai hiasan.”
                “Jangan.. itu hanya membuat pohon natalnya terlihat konyol,” aku mengejar Luke yang malah berlarian berusaha menghindar daripadaku, “oke.. supaya adil lebih baik kita ambil foto lagi dengan wajah yang lebih siap.”
                Nope! I want this one!” ujarnya memaksa. Akupun berpasrah, dan justru malah tertawa melihat tingkahnya yang lucu yang sedang berusaha memasang foto kami di tengah pohon natal.”Kamu harusnya mengaitkan tali dulu pada foto itu supaya bisa dipasang, Luke,” aku tak berhenti tertawa.
                “Iya-iya, kuserahkan kepada yang ahli mendekor saja,” wajah Luke memelas setelah itu. Aku tak bisa berhenti tertawa memandangi wajahnya yang lucu memelas.
                Waktu itu pukul 6, Luke sedang berkunjung ke apartemenku. Yap, hari ini adalah Hari Thanksgiving, dan kami akan merayakannya bersama di apartemenku. Ini adalah tahun kedua kami merayakan Thanksgiving bersama, bersamaan pula dengan lamanya hubungan kami. Bedanya, tahun lalu kami merayakan bersama di rumah Luke. Tapi, seperti ritual tahun lalu, Luke yang memasak kalkun panggang untuk kami. Sedangkan aku, aku menghias pohon natal dengan berbagai ornamen dan berbagai lampu hias untuk memeriahkan natal.
                Langit Washington mulai menjatuhkan butiran-butiran salju sejak dua hari yang lalu. Orang-orang sudah berlalu lalang menggunakan berbagai pakaian tebal, boots, penutup telinga, dan juga beanie. Lampu-lampu di jalanan juga menyala warna-warni, menandakan bahwa malam dingin telah tiba. Berbagai toko di sekitar apartemenku juga mengadakan year sale, tak jarang orang-orang datang bersama pasangannya, bersama adik atau kakaknya, bersama anaknya, atau bahkan satu keluarga datang dan berjalan-jalan dan mengunjungi toko tersebut. Aku dapat melihat wajah bahagia terpancar dari orang-orang yang berlalu lalang di dekat apartemenku di setiap Desember. Tatapan yang selalu sama, bahagia, tersenyum senang, penuh harapan, dan keyakinan, keyakinan bahwa Desember adalah masa terbaik selama satu tahun. Aku dapat melihat semua pemandangan itu di jendela apartemenku, begitu membahagiakan, begitu melegakan.
                “Hill? Ayo melanjutkan menghias lagi,” kata Luke mengacaukan lamunanku terhadap pemandangan indah awal Desember.
                “Ohh.. iya,” ujarku lalu mulai mengambil beberapa ornamen untuk hiasan natal, “bagaimana dengan kalkunnya? Apakah sudah siap?”
                “Sudah, aku baru saja memasukannya ke dalam oven. Sekitar 45 menit lagi kalkun kita akan matang,” kata Luke sambil membantuku memisahkan renda-renda yang saling tersambung untuk dipasang ke pohon natal nantinya. Tapi alih-alih memasangnya, setelah memisahkan renda-renda tersebut ia malah sengaja mengerjaiku dengan mengikat renda tersebut ke leherku.
                “Lukee! Kau usil sekali!” kataku kepadanya sambil berusaha melepaskan renda tersebut dari leherku. Tetapi, Luke justru memotretku lagi dengan kamera polaroid kesayangannya itu disaat aku sibuk melepaskan renda itu. “Hahaha, kena juga kau! Akan kupasang juga foto ini di pohon natal kita,” katanya puas mengerjaiku terus-terusan.
                Luke. Luke Anderson. Seorang murid semester 3 sekolah memasak di Washington DC. Seorang chef dan ahli makanan pribadi yang selalu memberikan saran dan nasehat tentang berbagai makanan yang tepat, yang sesuai dengan tren atau musim. Seorang chef yang suka membuatkanku berbagai hidangan yang tak kumengerti namanya sebelum aku mengenalnya – aku bahkan tak yakin apa hidangan pertama yang dia masak untukku, seingatku ada kata truffle pada namanya. Seorang chef yang sering menjadi penyemangat, dan juga teman terdekat dalam hidup. Dia adalah Luke.
                Aku. Hillary Clark. Aku adalah seorang anak rantau dari West Lake, di suatu kota kecil di Oregon. Aku sudah 2 tahun tinggal di Washington untuk menimba ilmu di salah satu sekolah desain ternama dengan bantuan beasiswa. Aku tinggal di sebuah apartemen di salah satu jalanan teramai di kota Washington, yang membuatku bertemu dengan Luke. Hobiku adalah memandangi keadaan di luar apartemenku lewat jendela yang ada di kamarku, memandangi dan menghayati bahwa sebenarnya harapan dan kebahagiaan itu ada. Sama seperti apa yang selalu terpancar di wajah orang-orang yang menyusuri jalanan dekat apartemenku ini, penuh akan harapan dan kebahagiaan.
                Aku dan Luke. Kami bertemu di suatu keadaan yang tak terduga di dekat apartemenku. Malam itu salju pertama turun di Kota Washington. Tepat pertama kali aku merasakan salju di kota dimana orang sering mengira bahwa kota ini adalah ibukota Amerika Serikat – dan tentu saja, bukan. Aku duduk di sebuah kafe di depan apartemenku dan menikmati dinginnya malam itu sambil mengerjakan tugas akhir semesterku untuk membuat rancangan desain interior ruang kecil tema natal. Seperti biasa, aku memesan hot cappucino frappe untuk menemaniku mengerjakan tugas dan terus menghadap laptop abu-abuku. Aku ingat, yang kupikirkan saat itu hanyalah aku ingin segera menyelesaikan tugasku dan segera kembali ke apartemen untuk menyaksikan “Michael Buble’s Christmas Concert.”  Hingga tiba-tiba..
                “Maaf, bolehkah aku duduk disini? Kau tahu meja-meja di kafe ini sangat penuh,” ujar seseorang tiba-tiba. Aku melihat seorang anak laki-laki yang memakai kacamata pinggiran hitam dan memakai beanie warna coklat muda. Badannya diselimuti winter coat warna abu-abu, serta boats warna merah maroon. Bisa kulihat dengan jelas bahwa lelaki itu membawa satu cup hot chocolate karena kemasannya yang berbeda dengan jenis minuman lainnya.
                “Tentu saja, silakan,” ujarku ramah menyambut. Seusai lelaki itu duduk, aku langsung kembali menatap layar laptopku, bermain dengan cursor mencampur warna pada bidang-bidang yang kubuat. Tinggal sedikit lagi tugasku selesai.
                “Sibuk, ya?” kata lelaki itu melihatku sibuk berhadapan dengan laptop. Di Oregon, hal yang aku lakukan ini merupakan hal yang bisa dibilang tidak sopan. Kota kecil seperti West Lake menuntut warganya untuk saling mengenal dan selalu berkomunikasi. Tunjuk saja salah satu warga, aku pasti mengenal namanya. Tapi sepertinya, semenjak aku pindah di Washington, budaya urban dan juga hiruk pikuk kehidupan kota membuatku sering berubah. Mungkin juga karena lokasi apartemenku yang berada di pusat keramaian, dimana aku sering melihat orang-orang sibuk berkutat dengan laptopnya mengerjakan tugas di kafe tanpa mempedulikan sekitarnya. Aku tahu hal itu merupakan hal yang buruk, tapi – entahlah – kebudayaan dan kebiasaan itu masuk saja dalam diriku.
                ”Oh, maaf. Tidak, aku hanya sedang mengerjakan tugasku,” kataku canggung. Lumayan wajar untuk diriku yang seorang pemalu untuk berkomunikasi dengan orang asing.
                “Tidak apa-apa, aku juga sering melakukan hal itu. Santai saja,” ujar lelaki yang waktu itu tak kukenali namanya. Keheningan dan kecanggunganpun melingkupi kami saat itu.
                “Ngomong-ngomong siapa namamu?” tanya lelaki itu kepadaku tiba-tiba. Jujur, pemikiran pertama yang muncul pada diriku saat itu adalah bahwa dia seorang psikopat. Hal ini dikarenakan aku tidak terlalu mempercayai orang, terutama yang tiba-tiba mengajak kenalan seperti ini. Aku hening sebentar enggan menjawab pertanyaannya. Sepertinya lelaki itu menanggapi reaksiku.”Oh, kenalkan, aku Luke. Bukan seseorang yang patut kau curigai keberadaannya,” katanya.
                Setelah ucapannya pada saat itu, entah mengapa rasa ragu dalam diriku menghilang. Mungkin karena dia tipe seseorang yang mudah menangkap maksud orang, sehingga aku tahu dia bukan orang yang patut dicurigai. “Aku Hillary. Hillary Clark,” kataku. Sejak perkenalan itu, perkenalan tercanggungku dengan seorang lelaki, entah kenapa aku menjadi mempercayainya. Bahkan hingga ketika ia bertanya :
                “Dimana tempat tinggalmu?” tanyanya. Kami sudah banyak mengobrol saat itu – paling tidak menurut ukuranku. Aku mulai mengabaikan tugas akhir semesterku.
                “Cukup dekat, hanya di apartemen sebelah Tinder Café disitu,” jawabku.
                “Oh begitu, kalau boleh kapan-kapan aku berkunjung ke apartemenmu untuk memasakkan hidangan favoritku Le Caterlier de Truffle. Aku yakin kau belum pernah menyantap hidangan itu,” ujarnya sambil sedikit tertawa. “Tentu saja,” kataku, “tentu saja belum pernah.” Kami berdua bersama tertawa. And it was my first laugh of the year.
                Sejak perkenalan itu, aku dan Luke sering berjumpa. Baik di kafe tempat kita pertama kali bertemu, di sudut taman kota dekat air mancur, atau bahkan dia berkunjung ke apartemenku untuk membuatkanku hidangan yang telah diajarkan di sekolah memasaknya – dan percayalah, rasanya sangat luar biasa lezat. Di Washington hanya ada dua pilihan : antara kau benar-benar merasa bahagia, atau benar-benar merasa kesepian. Dan untungnya, sejak Luke datang ke hidupku, aku benar-benar merasa bahagia.   
                Aku tidak tahu apakah itu terlalu cepat untuk kami, namun, pada Thanksgiving tahun lalu, Luke mengajakku untuk berkunjung ke rumahnya – ke rumah The Andersons. Aku merayakan Thanksgiving bersama keluarganya dan aku cukup mengenal keluarga mereka dengan baik. Pada hari natal tahun lalu, aku dan Luke pergi ke Gereja bersama di dekat rumah Luke. Setelah misa dan aku masuk ke mobil, Luke tiba-tiba terdiam untuk beberapa saat di depan setirnya. Hal yang tak biasa.
                “Luke?” tanyaku pada saat itu. Aku ingat bagaimana Luke tersenyum kepadaku disaat aku memanggilnya hingga ia berkata :
                I think I kinda like you,” katanya.  Aku terdiam dan terkejut untuk beberapa saat, mungkin pipiku merona.
                “I think I kinda like you too,”  jawabku sambil tersenyum. Luke-pun membalas senyumku. Dan mungkin dari situlah hubungan kami berasal. He was my last year’s Christmas gift.
                “Hill, kenapa kau banyak melamun hari ini?” tanya Luke menyadarkanku – lagi – dari lamunanku yang sedang memandangi bola-bola kristal terakhir yang akan kupasang di pohon natal kami. “
                “Uh, maaf,” kataku. Aku memasang bola-bola kristal itu ke bagian yang masih kosong. Hingga kurang sentuhan terakhir, hiasan bintang di pucuk pohon natal.
                “Biarkan aku menggendongmu, kau yang pasang ya!” kata Luke. Aku tersenyum. Manis sikapnya tidak berubah sejak tahun lalu, semua perilaku dan kebahagiaan yang ia berikan kepadaku, sama saja, tidak berubah dari tahun lalu. Atau bahkan ia memberikanku lebih tahun ini.
                Luke menggendongku dari belakang, dan aku memasang bintang pada ujung pohon natal kami. Pohon natal itu akhirnya tampak indah dan cantik. Aku sungguh bahagia akhirnya kami memiliki pohon natal sendiri. Lagu-lagu natal yang kami putar sedari tadi menambah suasana indah malam hari ini.
                So please just fall in love with me this Christmas
                There’s nothing else that I will need this Christmas
                Won’t be wrapped under the tree, I want something that last forever
                So kiss me on this cold December night
                They call it the season of giving
                I’m here, I’m yours
                 Seusai makan malam dan menyantap kalkun panggang ala Thanksgiving buatan Luke, Luke segera pulang.
                “Hill, maaf malam ini aku tidak bisa terlalu lama menemanimu. Ada sesuatu yang harus kukerjakan.”
                “Tidak apa-apa Luke. Terima kasih, kalkun yang lezat!” ujarku. Luke lalu merangkul dan memelukku seperti biasanya, lalu dia pulang.
                Aku kembali melihat ke arah jendela, melihat pancaran kebahagiaan dari orang-orang di jalanan dekat apartemenku. Pancaran kebahagiaan tak kunjung hilang dari wajah mereka, and so am I.
                Those  full of hopes and happiness faces, those lights, those Christmas songs, those Christmas tree, and those kind of Christmas atmosphere.. that’s what make it the best time of the year. And among them all, he is my sweetest Christmas gift. 

Comments

Popular posts from this blog

A Thing About Yogyakarta, 2024

Elixir: [Track 6] Used to Me

Elixir : [Track 5] Yesterday Once More