Nyenye : [Chapter 4 (Pt. 1)] Midnight Conversation
Hi again! ^^
As I said on the previous post, I'm gonna post the 4th chapter of Nyenye.... NOW!! :D
This chapter also divided into two parts. And yap, Sekar made it :D
So check this out :)x
***
[The previous chapter → Chapter 3 (Pt. 2) : Lindsay's New Research]
Chapter 4 - Part 1
Midnight Conversation
*Carlotta deQuez’s Point of View*
Aku duduk bersila di atas tempat tidurku yang dilapisi seprai putih lembut, kedua mataku masih terbuka lebar. Semua teman sekamarku sudah ada di alam mimpi, sedangkan disinilah aku, masih terjaga di dalam kamar nomor 24 yang kutempati bersama enam gadis lain – Becky, Claire, Encun, Jeanne, Lindsay, dan Maureen. Aku ingin tidur, tapi tidak bisa. Mungkin ini terjadi karena siang tadi aku sudah tidur saat pelajaran Sejarah dan Geografi. Mungkin juga karena IQ-ku terlalu tinggi. Well, aku pernah mendengar kutipan yang mengatakan ‘People with high IQ’s tend to stay up later during the night because of increased mental stimulation.’ (Oke, ini memang agak menyombong sedikit). Mungkin ini juga yang membuatku sering tertidur di kelas atau dimanapun saat siang hari, sehingga aku terkenal sebagai tukang tidur di IAB.
“Tidak, Mrs. Sam! Saya sudah capek!”Huah. Claire mengigau lagi. Aku menengok ke kanan dan langsung terlihat olehku Claire yang meringkuk di bawah selimut. Dahinya berkerut dan bibirnya bergerak-gerak tak jelas. “Saya baru saja selesai lari berkeliling dua belas kali, dan saya tidak mau lari lagi!”
Beberapa hari ini Claire memang sering mengigau tentang latihan sepakbolanya. Mungkin dia terlalu banyak latihan sehingga kecapaian. Apalagi di akhir semester musim panas ini akan ada turnamen sepakbola antar sekolah, sehingga Mrs. Sam, guru olahraga kami, mengadakan banyak sekali latihan untuk tim sepakbola IAB.
Walaupun begitu, sekolah kami – yah, setidaknya aku dan teman-teman sekelasku – sangat bangga terhadap kapten tim sepakbola putri IAB ini. Dia adalah striker yang hampir selalu bermain dengan bagus. Tidak seperti aku yang tiap kali menendang bola selalu keluar dari lapangan. Itu kalau aku beruntung. Kalau sedang sial biasanya malah sepatuku yang terlempar keluar dari lapangan, dan bolanya tetap diam tak bergeming di depanku. Padahal, kalau dilihat dari sejarah namaku, harusnya aku bisa bermain bola dengan sangat baik.Walaupun berdarah Spanyol, ibuku sangat mengidolakan tim sepakbola nasional Jerman. Saat mengandung aku, beliau baru ngefans berat dengan Lothar Matthaeus, kapten timnas Jerman ketika itu. Waktu itu sebenarnya beliau bertekad menamaiku Lothar – ibuku sangat yakin bahwa anak yang ada dalam kandungannya adalah seorang laki-laki. Tapi ternyata aku lahir sebagai bayi perempuan, sehingga nama Lothar harus diubah sedikit menjadi Lotta. Agar lebih feminin, ibuku menambahkan ‘car’ di depan ‘lotta’. Akhirnya namaku menjadi Carlotta.Kamar sunyi senyap; rupanya Claire sudah berhenti mengigau. Tapi aku masih belum bisa tidur, jadi kuedarkan pandangan ke sekeliling kamar.
Sinar bulan yang menyusup masuk lewat celah-celah pada tirai membantuku mengenali teman-temanku yang sedang tidur. Claire tidur di sebelah kananku. Di sebelah kiriku, Lindsay tidur sambil memeluk buku yang digunakannya untuk mencatat hasil penelitian. Tangannya yang bergerak-gerak masih menggenggam pulpen yang biasa dia gunakan untuk menulis. Pasti dia sedang bermimpi melanjutkan penelitiannya tentang Nyenye, atau memulai penelitian baru. Lalu ada Maureen, si Narsis dari IAB yang hobi selfie dimanapun dan kapanpun, yang tidur dengan mulut melengkung membentuk senyum. Tak tahu deh dia mimpi apa, mungkin mimpi sedang selfie. Kulihat Encun hanya sendirian di atas tempat tidurnya – benar-benar sendirian – karena bantal, selimut, bahkan seprainya sudah terlepas dan terlempar ke lantai. Pasti gerakannya saat tidur terlalu brutal. Kemudian Becky… Astaga! Ternyata temanku yang amat sangatfashionable ini tidur dengan rambut di-rol dan wajah yang penuh dengan masker pelembut kulit, lengkap dengan irisan mentimun di matanya . Ya Tuhan…Dari semua teman sekamarku, yang tidurnya paling tenang adalah Jeanne. Mungkin karena dia sedang sakit. Napasnya teratur, pose tidurnya juga normal. Aku mengamati pacar Gareth yang sedang tidur ini. Bulu matanya lentik, rambut pirangnya yang lurus terawat dengan sangat baik, namun sayang wajahnya pucat karena sakit. Secara keseluruhan, dia memang cantik. Tapi sayangnya, temanku yang cantik ini (katanya) sudah merenggut kebahagiaan – yang berwujud Gareth – dari hidup Nyenye.
Aku masih tidak habis pikir, kok bisa sih Nyenye galau berat selama berhari-hari – bahkan berminggu-minggu – hanya karena Gareth jadian dengan Jeanne? Nyenye kan tidak suka pada Jeanne. Lalu kenapa Nyenye galau? Harusnya kan dia ikut senang sahabatnya sudah menemukan cintanya.Tiba-tiba kurasakan perutku keroncongan. Kulirik jam tangan yang selalu melingkar di pergelangan tanganku. Pukul dua belas tepat. Kira-kira di kantin masih tersisa makanan apa ya? Oke, hanya ada satu cara untuk mencari tahu.Aku turun dari tempat tidur dan memakai sandal dengan perlahan, berharap teman-teman sekamarku tidak ikut terbangun. Aku menyalakan senter kecil yang selalu kubawa kemana-mana – kami dilarang menyalakan lampu apabila jam tidur telah lewat, kecuali untuk keadaan darurat. Aku keluar dari kamar dan berjalan ke kantin musim panas IAB. Salah satu hal yang kusukai dari sekolahku ini adalah peraturannya yang tidak seketat sekolah-sekolah internat yang lain. Contohnya, kami boleh keluar dari kamar saat malam hari (asal tidak untuk pergi ke luar sekolah ataupun ke asrama lawan jenis). Dan disini, kebutuhan logistik kami selalu dicukupi dengan baik – bahkan kadang berlebihan. Pendek kata, IAB selalu berusaha membuat murid-muridnya merasa bahagia, nyaman, dan aman sehingga mereka dapat belajar dengan baik.
Sekedar informasi, IAB memiliki dua kantin : kantin musim panas dan kantin biasa. Sebenarnya tidak ada perbedaan fungsi antara kedua tempat ini, semuanya sama-sama digunakan untuk kantin merangkap ruang makan. Yang membedakan hanyalah waktu penggunaannya dan bentuk bangunannya. Kantin yang biasa didesain seperti kafe. Kantin yang hangat dan nyaman ini digunakan saat semester musim semi dan musim dingin. (Satu semester di IAB hanya empat bulan – kalau kata Encun di Indonesia namanya caturwulan).
Sesuai dengan namanya, kantin musim panas hanya dipakai saat semester musim panas. Aku sangat menyukai kantin ini, karena merupakan sebuah tempat semi-tertutup – tidak ada tembok yang dibangun mengelilinginya, hanya ada kanopi bening yang menaungi tempat ini. Pot-pot yang berisi tanaman rambat digantungkan di kanopi, sehingga banyak sulur berbunga keluar dari pot, menjulur ke bawah. Indah sekali.Kantin sepi, namun tetap terang benderang. Tidak ada petugas di stan-stan kantin, tapi makanan kecil dan minuman tetap tersedia di meja prasmanan. Ah, syukurlah. Aku mengambil secangkir teh panas dan sepiring biskuit mentega, lalu duduk di tempatku yang biasa di meja kelasku, meja 8-3.
“Lotta?”
Aku mengalihkan pandangan dari biskuit di depanku ke arah sumber suara. Hari sudah larut malam, bahkan jam tidur untuk para guru dan karyawan sudah lama lewat. Siapa yang masih bangun?
Ternyata Gareth. Aku melambaikan tangan untuk membalas panggilannya. Ia membawa teh dan roti kismis yang baru saja diambilnya ke meja 8-3, lalu duduk di kursi yang biasa dipakainya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Gareth bertanya padaku sambil mengaduk tehnya. “Mencari sedikit kudapan. Aku lapar, tak bisa tidur,” jawabku dengan jujur. “Kau sendiri?”Gareth menghela napas panjang sebelum menjawab. Ekspresinya sulit dijelaskan, karena merupakan campuran dari sedih, bingung, dan mengantuk. “Mencari tempat yang enak untuk berpikir dan – kalau ada – teman yang masih bangun untuk berdiskusi.” Gareth meminum tehnya sedikit, lalu melanjutkan, “Aku punya masalah. Tentang Nyenye.”
Gareth? Masalah? Nyenye? Baru kali ini aku mendengarnya. Setahuku, hanya Nyenye yang merasa punya masalah dengan Gareth. Didorong oleh rasa penasaran dan keinginan untuk membantu, aku bertanya, “Masalah apa? Nyenye menyembunyikan sebelah sepatumu? Menghabiskan jatah makan siangmu? Menghipnotismu untuk menjadi pelayannya selama sehari penuh? Atau apakah dia mengambil dan menunjuk-nunjukkan kartu IAB-mu ke semua orang?” Yang terakhir ini kutanyakan karena aku tahu bagaimana tampang Gareth dalam foto yang ada di kartu tersebut. Betapa absurd wajahnya di foto itu. Tidak, aku tidak mau bilang bagaimana pendapatku dan teman-teman tentang wajahnya. Kasihan Gareth.Kening Gareth berkerut.
“Bukan masalah yang seperti itu. Ini ada hubungannya dengan Jeanne juga.” Dilihat dari raut mukanya, aku tahu Gareth sedang serius dan (sepertinya) baru tidak bisa diajak bercanda. Aku memasukkan biskuit ke dalam mulutku agar tidak berkomentar, sementara dia melanjutkan ceritanya.
“Kau tahu kan, sebelum ada Jeanne, Nyenye sangat akrab denganku. Bahkan hampir seperti saudara kembarku sendiri. Aku menemukan kebahagiaan dalam dirinya. Kehangatan yang luar biasa seolah-olah memancar dari dalam dirinya. Setiap bersamanya, rasanya seperti dianugerahi kemampuan-untuk-menaklukkan-dunia-dengan-tangan-kosong oleh para dewa. Dengannya, aku tidak butuh apapun lagi. Sungguh, waktu itu aku seperti menemukan belahan jiwaku yang telah lama hilang.
”Mendengarkan Gareth bercerita sama saja dengan mendengarkan keluhan-keluhan Nyenye. Seperti mendengarkan puisi super-alay yang mengandung unsur gay! Aku kembali memasukkan biskuit ke dalam mulutku, berharap pendapatku ini tidak terucap tanpa sengaja.
“Lalu semuanya berubah saat malaikat.. Bukan, bukan malaikat. Lebih tepatnya bidadari itu – Jeanne – datang di awal semester musim semi yang lalu. Aku masih ingat, ketika itu tanggal 8 September dan bunga-bunga sedang bermekaran dengan begitu indahnya. Dia …”
Walaupun sudah berusaha keras menahan diri, aku tetap tidak tahan mendengar puisi Gareth yang hampir serupa dengan kata-kata Nyenye. Aku tidak mau mati bosan mendengar ceritanya, maka terpaksa kupotong.
“Tolong, Gareth, to the point!”
“Sorry, sorry. Aku terlalu terbawa perasaan.” Gareth tampak berpikir keras. Mungkin dia sedang menyusun kalimat yang singkat-padat-jelas untuk menjelaskan masalahnya.
“Jadi begini. Dulu Nyenye sangat dekat denganku – amat-sangat-dekat-sekali malahan – sampai Jeanne datang ke IAB. Aku menyukai Jeanne, lalu jadian dengannya. Nah, sejak saat itu Nyenye seperti tidak terima.”
Aku mendengarkan Gareth sambil memandangi cangkir teh di depanku. Oke, teh ini mengingatkanku akan sebuah iklan dari negara asal Encun yang pernah ditunjukkannya pada kami. Iklan teh yang menggambarkan bahwa pembicaraan – baik yang santai maupun yang serius – akan menjadi lebih enak kalau dilakukan sambil minum teh. Dan iklan tersebut mengingatkanku akan rencana teman-teman untuk memberitahu Gareth apa yang sebenarnya terjadi dengan Nyenye. Kuputuskan sekaranglah saat yang tepat, mumpung kami sedang bicara empat mata dan minum teh di sini.
“Gareth, sebaiknya kau tahu apa yang sebenarnya terjadi,” aku mulai berbicara. “Sebenarnya, Nyenye tidak terima karena dia tidak merestui hubunganmu dengan Jeanne. Hal itu disebabkan karena dia merasa kauabaikan. Dia merasa kau tidak pernah mempedulikannya lagi sejak ada Jeanne. Nyenye merasa sedih, dan karenanya selama ini dia membanjiri kami – anak-anak perempuan kelas 8-3 kecuali Jeanne – dengan keluhan-keluhannya yang mirip puisi itu tanpa sepengetahuanmu. Dia merasa terabaikan dan tidak disayangi lagi karena kau tidak pernah memperhatikannya.”
Gareth terdiam. Duh, semoga saja dia tidak marah karena apa yang baru saja kukatakan. Aku menunggu responnya dengan was-was.Setelah terdiam selama hampir dua menit, Gareth membuka mulutnya. “Padahal aku sama sekali tidak bermaksud begitu padanya. Aku hanya memiliki orang lain yang kusayangi dan harus diperhatikan, sehingga aku harus membagi perhatianku yang awalnya 100% untuk Nyenye menjadi dua – untuknya dan untuk Jeanne. Tapi sepertinya dia tidak mau mengerti. Dia seperti tidak mau tahu kalau aku juga menyayangi Jeanne dan tetap menuntutku untuk memberinya perhatian penuh selama 24 jam nonstop. Menurutku, Nyenye terlalu picik dalam hal ini.”
Cerita yang baru saja dipaparkan Gareth sangat berbeda dengan kisah Nyenye. Nyenye berpikir bahwa Gareth selalu mengabaikannya karena ada Jeanne, sedangkan kalau menurut Gareth Nyenye-lah yang terlalu manja, karena tidak mau mengerti bahwa Gareth harus membagi perhatiannya untuk Jeanne. Nyenye-lah yang menuntut terlalu banyak dari Gareth. Untuk kasus ini, aku setuju dengan Gareth yang mengatakan bahwa Nyenye terlalu sempit pikirannya – tidak mau mencoba memahami sudut pandang Gareth.
“Kalau mendengar ceritamu tadi, sebenarnya masalah ini sederhana kok. Nyenye cuma seperti anak kecil yang baru punya adik bayi, yang merasa seluruh perhatian orang tuanya dicurahkan untuk adiknya itu dan dia diabaikan – padahal sebenarnya tidak,” aku mencoba beropini.
Gareth mengangguk. “Aku juga berpikir begitu. Masalahnya sederhana, memang. Tapi aku sama sekali tidak bisa memikirkan penyelesaian yang tepat. Nyenye itu keras kepala. Dia akan berkeras mempertahankan pendapatnya – yang dia anggap selalu benar – sehingga kalau diajak bicara baik-baik tentang masalah ini tidak akan ada pengaruhnya pada Nyenye.”
Benar juga. Lalu bagaimana kami memecahkan masalah ini? Aku berpikir sambil meminum tehku pelan-pelan, karena biskuitku sudah habis. Gareth juga mulai memakan roti kismisnya karena (mungkin) sedang berpikir juga – atau kehabisan topik pembicaraan. Keheningan terjadi selama bermenit-menit.
Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Menurutku ide ini sangat brilian dan layak dicoba. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. “Aku dapat ide!” teriakku pada Gareth. Dia tampak terkejut mendengar teriakanku, lalu menoleh kesana kemari untuk memastikan tidak ada orang yang datang. “Jangan keras-keras, Lotta,” bisik Gareth kesal. “Kau mau seluruh sekolah terbangun dan datang kemari? Katakan saja pelan-pelan, dan jangan berteriak-teriak lagi.”
Aku mengecilkan suaraku, lalu mulai menceritakan ideku. Gareth nyengir. “Boleh juga. Kapan kita bisa mencobanya?” “Sesegera mungkin,” jawabku dengan penuh semangat.
“Tapi kita harus memberitahu Becky, Maureen, Claire, Lindsay, dan Encun dulu. Kita butuh bantuan mereka juga. Jeanne dan Loiz perlu kita libatkan tidak?”
“Jangan. Jeanne masih sakit, sedangkan Loiz tidak bisa bohong dan berpura-pura. Nanti malah rencana kita ini diberitahukannya pada Nyenye,” kata Gareth. Dia menguap. “Hoaaaam. Berpikir memang melelahkan. Kurasa aku akan kembali ke kamar dan tidur. Terima kasih, Lotta! Besok kita bahas proyek ini dengan yang lain.”
Aku dan Gareth membereskan piring-piring dan cangkir-cangkir yang baru saja kami pakai, lalu kembali ke kamar masing-masing. Selagi berjalan menuju kamar nomor 24, aku terus-menerus tersenyum memikirkan proyek yang kurencanakan bersama Gareth barusan.
Kalau Nyenye tidak bisa memahami Gareth yang sudah punya pacar, maka dia harus merasakan sendiri bagaimana rasanya punya pacar!
***
Yap yap yap^^ that was the 1st part of Nyenye's 4th chapter. Please wait for the 2nd one, okay?
See yaa on the next post!! :)
Comments
Post a Comment