Nyenye : [Chapter 5] New Step

So wassap everybody? ^^
I hope you're all fine! :D

And today, the Chapter 5 of Nyenye is up! This chapter was made by Via :)

Oh, and please (again) DON'T TAKE IT TOO SERIOUS, okay? :3

Well, here we go!!!

***
[The previous chapter → Chapter 4 - Part 2]

Chapter 5
New Step

*Becky Shue’s Point of View*

“Kalian yakin tidak ingin menonton film di Bioskop IAB bersamaku,” tanyaku kepada keenam makhluk yang seperti kehilangan nyawanya di dunia ini, persis seperti zombie yang sekarat.

Kami sudah menginjak minggu kedelapan dari dua belas minggu libur musim panas. Harusnya waktu-waktu seperti ini bisa kami gunakan untuk pulang ke rumah, namun kami semua –siswa kelas 8-3 IAB, terutama kamar asrama putri nomor 24- memutuskan untuk tetap tinggal di sini. Kami rela menemani Encun yang tidak dapat pulang kampung karena orang tuanya sibuk mengurusi hasil pemilu di Indonesia. Ibunya adalah salah satu anggota tim sukses calon presiden nomor dua, sedangkan ayahnya menjabat sebagai anggota KPU yang cukup tinggi pula kedudukannya. Kami turut empati kepada Encun. Lagi pula sebentar lagi libur lebaran, jadi kami juga masih memiliki peluang untuk pulang, bukan?

Benar-benar seperti mayat hidup. Tidak ada yang menjawab tawaranku dari tadi-semua sibuk dengan masalah mereka masing-masing. Dari ambang pintu, kulihat Claire sedang menyusun selusin sepatu futsal miliknya yang sudah jebol ke dalam kardus. Dirinya terlalu emosi saat bermain futsal, apalagi kalau lawan Nye Nye. Habisnya dia suka curhat kalau lagi main, aku emosi, dong, begitulah protesnya. Tenaga yang dikerahkan untuk menendang bola terlalu berlebihan, sampai-sampai tanah lapangan ikut tertendang. Dan foila...ujung sepatunya jebol tak karuan. Pernah aku mengusulkan untuk memberikan sensor di ujung sepatunya untuk mendeteksi arah tendangan yang berbahaya. Atau mungkin melapisi ujung sepatu dengan spons tebal. Tapi semua ditolaknya dengan segera. Pantaslah, Claire, kan, sedang mengincar sepatu futsal tema World Cup keluaran Adidas. Yang diiklankan Messi itu, loh.

Maureen, Lotta, dan Encun dengan hening berkumpul di atas ranjang paling empuk di kamar 24. Siapa lagi kalau bukan ranjang milik Encun. Katanya, kasur tersebut dia datangkan langsung dari Indonesia. Dengan kualitas kapuk nomor satu di desanya-dibungkus dengan sarung kasur hasil pintalan tulus ikhlas serta penuh cinta para tetua di sekitar rumahnya. Dijamin langsung tertidur kalau membau kasur tersebut. Mantab!

Encun sedang memandangi peta kampungnya yang berukuran tiga kali kertas HVS kuarto. Ia begitu merindukan rumah rupanya.

Berbeda dengan Lotta sedang asik bermain game di tablet baru milik Maureen. Entah apa yang dimainkannya, aku tidak peduli, begitu pun juga dirinya sendiri yang tidak peduli sedang bermain apa. Yang penting memegang tablet baru yang ukurannya cukup besar-game semakin jelas, minus semakin bertambah. Jiah...Maureen melempar ponselnya ke sembarang arah. Ia putus asa karena tidak berhasil membetulkan setelan kameranya yang habis digunakan Nye Nye berselfie ria setelah melihat foto calon-calon pendamping Nye Nye pilihan Lindsay dan Encun yang tidak membuahkan hasil.

“Sstt... Sstt... Cepat keluar! Sibukkan dirimu dari Claire, nanti kamu keceplosan,” Maureen mendongak menatapku, tangannya melambai-lambai ke atas lalu memperagakan gerakan mengusir nyamuk, mulutnya komat-kamit dengan gerakan berlebihan supaya aku mampu menerima pesan bisunya.

Kemarin sore, saat Claire memutuskan untuk tidur guna mempersiapkan matanya menyaksikan semi final Piala Dunia, kami semua –seluruh siswa IAB yang tergabung dalam Girlfriend Project, kecuali Claire- mengadakan rapat tertutup di gudang yang menyimpan peralatan lukis siswa IAB, bukan di gudang angker pojok gedung IAB. Menurut kami, tempat tersebut lebih terjamin keselamatannya untuk menghindarkan diri dari Nye Nye dan Loiz. Lagi pula saat itu masih jam lima sore, aktivitas murid masih tampak.

Maureen menceritakan kepada kami semua mengenai pertemuannya dengan Nye Nye saat menunjukkan foto-foto calon-calon pacarnya sampai kepada perasaan Nye Nye. Ya! Bagian Nye Nye memiliki rasa kepada Claire. Aku cukup terkejut saat itu. Tidak percaya bahwa seorang Nye Nye dapat jatuh cinta kepada manusia, kupikir ia hanya menaruh hati pada buku pelajaran.

Dari rapat tersebut, kami sepakat untuk meluncurkan dua aksi yang kami anggap ampuh untuk melancarkan Girlfriend Project.

Pertama...

“Jangan beritahu Claire tentang perasaan Nye Nye. Bisa-bisa ia semakin menjauh kepada Nye Nye dan membuatnya semakin nelangsa,” usul Encun yang langsung ditanggapi dengan anggukan penuh tekad dari kami semua.

Kedua...

“Kita harus menjahui Nye Nye lebih gencar,” ucap Lotta dengan tegas. Sontak semua mata melotot tertuju padanya.

“Jangan! Nanti Nye Nye tambah sedih,” kali ini Jean berbicara. Nah! Itu sesuai dengan pemikiranku.

Kulihat Lotta melongo mendengar usulnya tidak ditanggapi dengan baik. Ia mengutarakan alasannya, “Supaya Nye Nye semakin dekat dengan Claire, dengan begitu ia akan bahagia, kan?”

Kami yang mendengarnya membentuk mulut kami menjadi bulat seperti mengatakan alfabet ‘o’, menandakan kami mengerti maksud dari usul Lotta.

“Baiklah, berarti kita sebisa mungkin menghindar dari Nye Nye dan tidak mendengarkan curhatannya. Biar Claire yang menjadi ‘tong sampah’nya. Begitu,” Gareth memperjelas dan disambut anggukan persetujuan dari kami.

“Haruskah kita mendekati Loiz supaya dia tidak mendekati Nye Nye dan mengganggu proses PDKT-nya,” tanyaku sambil memandangi plafon gudang lukisan yang penuh sarang laba-laba. Aku hanya membayangkan bagaimana jadinya kalau Nye Nye sedang memberikan bunga kepada Claire lalu datang Loiz yang merebut bunga itu dan diselipkan di atas telinganya. Ih...Plak!

Aduh, tiba-tiba aku merasakan sakit di kepalaku. Sontak aku menoleh ke kiriku, mendapati Maureen yang melakukan gerakan akhiran setelah memukul kepalaku menggunakan ponselnya. Aku menatapnya tajam seolah mengatakan : apa-yang-kau-lakukan-kepada-kepala-indahku-bisa-bisa-kepalaku-bocor-dan-otakku-keluar. Oke ini terlalu berlebihan, maafkan aku.

“Tanpa disuruh pun Nye Nye akan menghindar dari Loiz kalau sedang PDKT. Gimana, sih, kamu, Beck,” timpal Lindsay sambil berkacak pinggang. Aku mengeluarkan cengiran ala pepsodent. Hehe, iya juga, sih. Kalau Nye Nye memang pintar, pasti ia sudah mencari tempat yang jauh dari jangkauan Loiz.

“Hei, Becky! Jangan bengong, cepat nonton film sana,” pekik Lotta yang membuatku tersadar. Ternyata dari tadi aku melamun. Hehh, terlalu semangat bercerita ke kalian, sih, jadi lupa, kan.

“Iya, tuh, dari pada keceplosan ngomong sama Claire,” kata Encun dengan tampang tanpa bersalah dan masih memandangi petanya. Sontak keenam pasang mata melotot ke arah Encun, kecuali milik Claire yang menatap bingung.

Aduh gawat. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa yang harus aku katakan pada Claire? Oh, tidak, kecerobohanmu sungguh menyiksaku, Cun.

Aku melirik Claire, memandang temanku yang lain satu per satu-berharap aku mampu menemukan jalan keluar. Jantungku memompa semakin cepat ketika melihat guratan-guratan halus di dahi Claire mengetat, memandakan ia kebingungan. “Kamu ngomong apaan, sih, Cun? Kita, kan, selalu curhat satu sama lain, Becky mau keceplosan apa,” Lindsay memecahkan keheningan. Tanpa sadar aku menghembuskan nafas lega. “Iya, nih, ngelindur ya kamu, Cun,” pekik Maureen sambil memukul Encun dengan bantal. Aku tahu itu pelampiasan kekesalannya terhadap Encun –karena ia ceroboh- bukan untuk menyadarkan Encun dari aksi ngelindur. Kulihat Claire mengangguk sekilas, kemudian melanjutkan merapihkan sepatu futsal. Aku menghela nafas untuk yang kedua kalinya.

Untung saja Encun masih memasang wajah tanpa bersalahnya –meski sempat tersadar hanya dengan melotot-. Untung saja Encun tidak kaya ekspresi. Untung saja dia tidak berteriak seperti Maureen kalau sudah menyadari kesalahannya. Untung saja kebrutalannya tidak kumat pagi ini. Untung saja ia masih fokus untuk memikirkan kegalauannya. Untung saja... Banyak sekali keuntungan pagi ini.

Semoga Claire tidak curiga.

Tanpa sadar batinku menggumamkan empat kata itu dalam hati selama berjalan menuju Bioskop Asrama.

***

Ini tidak bisa dibiarkan.

Aku harus melaporkannya.

Ini tidak boleh terjadi.

Segalanya harus dihentikan!

Jangan sampai melanda Nye Nye,Ia akan tersiksa.

BEGITU JUGA KITA!!! ARGHHHH...

Dengan langkah lebar, aku menyusuri jalan setapak di tengah kebun apel yang menjadi penghubung antara Bioskop IAB dengan teras asrama, berlanjut menembus koridor ramping di sayap timur gedung utama yang nampak sepi dan berlantai licin. Untung saja aku menggunakan boots transparant dr. Marteens yang beralur tajam, kalau aku menjatuhkan pilihan pada sepatu canvas, bisa bisa tubuhku sudah menggelinding dari tadi.

Ini jalan pintas sepintas-pintasnya untuk menuju kamar asramaku.Nafasku memburu. Mukaku merah padam penuh dengan keringat. Rambutku sudah acak-acakan tak jelas.

Sebenarnya aku sungguh lelah berlari sepanjang lebih dari dua kilometer. Namun biarlah, aku tidak peduli. Pokoknya aku harus menyampaikan informasi penting ini kepada kawan-kawanku sebelum semuanya terlambat.

Huh, baru kali ini aku menyesali letak Bioskop IAB yang terlalu jauh dari asrama.

Tidak boleh terlambat.

Brakk..!!!

Tanpa mengetuk, aku membuka pintu kamar asrama dengan keras dan menutupnya kembali dengan bunyi yang serupa. Terlihat teman-teman sekamar memelototi aksiku. Sejauh mata memandang (?) tidak ada Claire di dalam sini. Ini waktu yang tepat.

Aku memejamkan mata untuk menambil nafas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk berteriak.

“Kawan, bagus, tidak ada Claire di sini. KALIAN HARUS BERHATI-HATI BILA INGIN MENJAHUI NYE NYE YANG TINGKAT KESUWUNGANNYA SANGAT TINGGI DAN MEMBIARKANNYA BERPACARAN DENGAN CLAIRE YANG KALIAN TAHU CLAIRE TIDAK MUNGKIN SEMUDAH ITU MENERIMA NYE NYE KARENA NAMPAKNYA IA MEMBENCI NYE NYE. IA BISA SAJA BUNUH DIRI KARENA KESEPIAN!!”

“Heh! Heh! Becky bodoh,” panggil Maureen dengan nada rendah namun penuh kecaman. Seketika aku melotot tak terima atas panggilannya.

‘CLAIRE DI DALAM KAMAR MANDI FAV. MU!’

Seketika mataku semakin lebar membaca torehan spidol hitam papan tulis di sketch book A3 milik Jean.

Demi Tuhan, ini sungguh tidak baik. Kamar mandi favoritku hanya berjarak satu meter dengan pintu utama, berbeda dengan satunya lagi yang berada di bagian lebih dalam lagi dari kamar ini. Ventilasi kamar mandi di atas rangka pintu cukup besar, gelombang suaraku mudah melewatinya. Dengan begitu, Claire pasti mendengar apa yang aku ucapkan, koreksi, aku teriakkan dengan amat sangat jelas.

Belum sempat merelaksasikan lensa mata, pintu kamar mandi di sebelah kananku terbuka dengan lebar dan keras –menyaingi aksiku saat masuk ke sini-, mau tak mau lensaku semakin melebar. Claire keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang lengkap dan wajah yang masih kusut. Sepertinya dia belum mandi dan malah asik mendengarkan teriakkanku tadi.

Hah??!!Oh, tidak, jangan sampai.

Tapi, tidak ada alasannya baginya untuk tidak mendengarkan kecerobohanku.

Claire berjalan keluar kamar mandi dengan acuh, seolah tidak terjadi apa-apa. Kakinya melangkah menuju sebelah selatan rak sepatu, tangannya menggapai raket bulu tangkis milik Maureen yang digantung di tembok. Aku mengigit bibir bawahku, begitu juga dengan yang lain. Menerka-nerka apa yang akan dilakukan Claire dengan raket itu. Apa ia akan memukulku karena kami ketahuan menyembunyikan rahasia di belakang Claire?

“Waa!! Kaget, ya?! Hahaha..” tawa Claire menggelegar setelah menggodaku dengan meleparkan raket ke arahku dan mengambilnya kembali sebelum menampar wajahku.

“Jangan kaget gitu, lah. Ini loh, aku cuman mau ngambil shower cap yang tersangkut di kepalashower. Kok bisa gitu ya? Haha..” Claire memasuki kamar mandi. Beberapa saat kemudian kami mendengar suara gemercik air dari dalam sana.

Kok bisa?

***

“Kau hampir membunuhku, Beck,” ucap Lotta tegas dengan suara pelan. Takut apabila Claire mendengar suaranya dari luar.

“Kau pikir hanya kau saja yang hampir mati, aku juga, Lotta! Lebih sekarat,” balasku tak mau kalah.

“Cepatlah katakan apa alasanmu berteriak tadi. Aku was-was bila ada kecoa yang seandainya datang menghampiriku,” Lindsay bergidik ngeri.

Kami duduk di atas lantai kamar mandi yang kering, mengitari sandal harian kami yang dikumpulkan di tengah. Mengapa kami bisa berada di sini? Karena manusia-manusia disekelilingku menuntut penjelasan atas tindakanku tadi. Mereka tidak ingin Claire mengetahui maksud dari perkataanku, maka dipilihlah tempat menarik ini. Sandal yang turut serta bersama kami dimaksudkan untuk menghilangkan kecurigaan Claire dari keadaan kamar yang sepi, bisa dibilang supaya dia beranggapan kami sedang keluar kamar. Di rak sepatu masih tersisa sepasang sandal milik Lotta yang ditinggal dengan segaja, seolah-olah menunjukkan di kamar mandi yang tertutup dan terang ini ada Lotta di dalamnya.

“Aku akan menjelaskan dengan singkat karena kamar mandi sangat pengab. Begini, aku tadi melihat film tentang seorang remaja yang frustasi karena dia kesepian akut. Dia dijauhi teman-temannya karena dia aneh atau bisa kalian katakan nerd.

Tidak hanya karena itu, frustasinya juga disebabkan oleh pujaan hatinya menolak dia terang-terangan di hadapan kakak kelas yang suka membully-nya. Padahal ia hanya menyatakan perasaan, tidak bermaksud menembak.”

“Kau mau menyamakannya dengan Nye Nye,” tanya Encun memotong ceritaku.

“Nah, itu dia! Tapi kau tenang dulu. Biar kulanjutkan.

Semenjak kejadian itu, kakak kelas semakin genjar mengejeknya. Yang lain semakin genjar menjauhinya.  Lama-kelamaan ia tidak tahan dengan semua yang diterimanya. Sampai akhirnya, ia memilih untuk bunuh diri dengan menggantung di gudang sekolah. Arwahnya gentayangan di sana selama bertahun-tahun, menggangu teman-teman yang menjauhinya dan juga kakak kelas yang mengolok-oloknya. Aku tidak mau ini terjadi pada Nye Nye! Aku tidak mau ia bunuh diri! Aku tidak mau dia menggentayangiku,” mati-matian aku berusaha meredam suaraku.

“Apa?! Jadi hanya karena film sialan itu kau hampir membunuhku?!” Lotta berteriak dan beranjak dari duduknya. Dengan sigap Maureen membawanya duduk dan membekap mulut lancang Lotta.

“Kesepakatan kita kemarin tidak mungkin terlaksana. Kita menjauhi Nye Nye, maka Claire juga akan melakukan hal yang sama. Nye Nye akan semakin tersiksa! Kalian tahu ini akan menjadi mimpi buruk bagi seluruh siswa IAB kalau terjadi pada Nye Nye. Bukannya aku mengkhawatirkan Nye Nye yang akan bunuh diri, tetapi arwahnya yang akan menggentayangiku dan juga kalian di setiap malam. Apa jadinya hidup kita nanti?!”

“Aku tidak mau dekat dengan Nye Nye, aku bisa gila, Becky,” protes Lotta yang tak kutanggapi. Memang brutal dia.

“Lalu apa rencanamu, Beck,” tanya Jean kalem. Huh, memang dia saja yang bisa bicara halus.

***

Kami mendapati Claire terbengong-bengong menatap kami yang keluar dari kamar mandi berbondong-bondong.

“Kali—“

“Claire kami ingin bicara padamu,” aku memotong ucapan Claire dan menuntunnya untuk duduk di atas ranjang Encun bersama Lotta dan Lindsay, sisanya duduk di ranjang Maureen.

“Berjanjilah pada kami kau tidak akan berteriak dengan alasan apapun,” Maureen yang berhadapan dengan Claire bersuara. Giliran dia memperingatkan, padahal dirinya sendiri belum mampu mengendalikan diri. Hehehe, maafkan aku, Maureen. Claire mengangguk, meski aku tahu dia tidak paham sama sekali dengan apa yang akan kami lakukan. Biasanya ia memberontak, tapi kali ini menurut. Kemana jiwa pemberontaknya? Oh, tersangkut bersama shower cap-nya mungkin, ya? Ehh, apaan, sih, ini?!

“Ehm.. Ehm...” Maureen membersihkan tenggorokkannya sebelum berbicara lebih lanjut. Berkali-kali ia tersenyum, mencoba membuat wajahnya nampak manis. Ia mencoba mencegah meledaknya emosi Claire nantinya bila mendengar pernyataan ini :

“Em, Nye Nye suka padamu.”

Kami telah sepakat untuk memberi tahu Claire dengan alasan, supaya kejadian di film tidak terjadi pada Nye Nye. Memang kemungkinannya untuk terjadi sangat kecil, tetapi lebih baik mencegah daripada mengobati, bukan? Lagi pula kasihan Nye Nye yang akan terus dijauhi. Bisa-bisa ia menceburkan diri ke laut dan mencari jodoh di sela-sela terumbu karang.

Setelah ini, kami akan memaksa Claire untuk tidak menjahui Nye Nye dan justru bersikap baik kepadanya. Kalau bisa Claire menjadi perhatian dengan Nye Nye. Dengan begitu, Nye Nye tidak akan sedih dan otomatis ia tidak akan curhat yang galau-galau kepada Claire dan juga kepada kami. Oh, ya, hidupnya juga tidak akan berakhir mengenaskan seperti tokoh yang kutonton di film tadi pagi.

Ini akan menjadi langkah baru bagi kami.

Claire tak bereaksi. Kulihat Lindsay sedang asik menggumamkan mulutnya, menghitung seberapa besar reaksi yang akan ditimbulkan oleh Claire nantinya. Katanya, kalau sudah melebihi sepuluh hitungan sejak berita tersebut di utarakan dan Claire tidak berteriak, maka ia tidak akan berteriak juga. Itu artinya berita yang kami sampaikan dapat diterima Claire dengan santai dan kemungkinan konflik yang ditimbulkan tidak akan besar. Kalau berteriak, berarti sebaliknya.

Kulihat mulut Lindsay mengucapkan angka enam bersamaan dengan mata Claire yang membesar serta tubuhnya menegak. Belum ada teriakkan.

Tu—

“APAAA???!!”

--juh

Kalau berteriak, berarti sebaliknya... 

***

Well, I hope you guys enjoy this.

And um....

Let me think.. 

You guys are excited to wait for the next chapter, aren't you?? *Oh man, it's kinda weird*

So, please be patient to wait for the next chapter, okay? :D

Oh and of course..

THANK YOU AND GOD BLESS YOU! O:)

Comments

Popular posts from this blog

A Thing About Yogyakarta, 2024

Elixir: [Track 6] Used to Me

Elixir : [Track 5] Yesterday Once More