Nyenye : [Chapter 11] Power of Love
Hello my friends!
The chapter 11 of Nyenye was finally done. This chapter was made by Sekar. Honestly, I like this chapter. Why? Because you know... okay you can read it to know my answer :D
Okay, check it out!! :3
***
The previous chapter -> Chapter 10 (Part 2) - The Unsaid Thing
Chapter 11
Power of Love
*Carlotta deQuez’s Point of View*
Soal-soal aljabar yang menjadi tugas kami hari ini membuatku bingung. Aku beranjak dari mejaku dan membawa kertas-kertasku ke meja kayu besar di tengah ruang bersama, dimana Becky dan Lindsay sedang mengobrol.
“Hei teman,” sapaku ketika aku sudah duduk di hadapan mereka. “Tolong ajari dong, aku tidak mengerti bagaimana menyelesaikan soal-soal ini.” Kutunjukkan soal-soal yang belum kujawab karena aku benar-benar tidak tahu caranya. Yeah, teman-temanku mungkin bisa memanggilku ‘dokter’ karena aku lumayan di pelajaran Biologi, terutama di bab-bab tentang tubuh manusia. Tapi Matematika? Ugh. Aku menyerah deh. Untung Lindsay dan Becky berbaik hati mau mengajariku. Dulu Claire juga sih, tapi berhubung sekarang dia sudah berada nun jauh di Manchester, guru privatku tinggal dua deh.
Lindsay membaca soal-soalnya sekilas. “Hmm.. Pertama selesaikan persamaan yang ini dulu,” jelasnya sambil menunjuk sederet angka. Aku mulai mengerjakan soal di bawah bimbingan Lindsay dan Becky. “Setelah itu hasilnya dibagi dengan konstanta ini,” lanjut Becky. “Selesai deh!”
Aku tersenyum dan mendesah lega. Senang deh punya teman-teman seperti mereka, apalagi kalau sudah mendekati musim ujian seperti sekarang ini. Musim dingin sudah lewat, itu artinya akhir dari masa belajar kami di International Academy Boarding Junior High School telah dekat. Para guru memberi kami banyak sekali latihan soal dan tugas untuk persiapan ujian akhir nanti. Untung kami diizinkan meninggalkan semua ekstrakurikuler, sehingga kami punya lebih banyak waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas. Sekarang kami semua hampir selalu bisa ditemukan sedang belajar atau mengerjakan tugas di ruang bersama. Belajar terus-menerus memang melelahkan, tapi ini untuk masa depan kami sendiri, bukan?
Sekolah-sekolah lanjutan juga sudah mulai mengadakan promosi ke IAB. Ada banyak sekali sekolah dari berbagai negara yang memiliki akses beasiswa dari IAB. Aku tidak tahu teman-temanku sudah punya sekolah tujuan atau belum, tapi aku sudah. Aku akan melanjutkan sekolah di tanah kelahiranku, Spanyol. Sebenarnya ada juga sih International Academy Boarding Senior High School, tapi aku tidak berminat melanjutkan ke sana. Karena kelak aku ingin bekerja sebagai seorang pediatrist di Spanyol, kupikir lebih baik aku juga belajar kedokteran di sana.
Penyakit di suatu tempat pasti berbeda dengan yang ada di tempat lainnya, sehingga akan lebih tepat kalau aku belajar kedokteran di Spanyol atau di negara lain di Eropa yang keadaan manusia dan masyarakatnya hampir mirip. Selain itu akan lebih mudah bagiku untuk mencari lisensi bekerja sebagai seorang pediatrist di Eropa. Kemudian bila aku ingin melanjutkan ke universitas di Eropa, akan lebih mudah bagiku kalau aku belajar di sekolah menengah di Eropa juga. Dan kebetulan orangtuaku juga menginginkan aku bersekolah tidak jauh dari mereka. Maka aku memutuskan setelah menamatkan tahun terakhirku di sekolah ini aku akan pulang ke Spanyol dan belajar di sana.
Tapi teman-temanku ingin melanjutkan ke mana? Pemikiran ini muncul di benakku saat aku, Maureen, Encun, Lindsay, Jeanne, Gareth, Nyenye, Loiz dan Pierre sedang duduk bersila mengelilingi kompor mini Gareth. Besok hari Sabtu, dan malam ini kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dari kegiatan belajar. Jadi disinilah kami, membakar roti dan marshmallow sambil bernyanyi-nyanyi dengan diiringi petikan gitar Loiz di tengah-tengah lapangan rumput IAB yang terletak di dekat kolam renang sekolah. (Bukan, bukan lapangan sepakbola. Lapangan yang ini biasanya dipakai untuk event-event sekolah seperti kompetisi memasak antar siswa dan pentas-pentas drama saat cuaca cerah). Aku memutuskan untuk mengutarakan pikiranku itu, mumpung kami semua sedang berkumpul bersama-sama.
“Hei,” kataku agak keras, mencoba menarik perhatian teman-temanku yang sedang sibuk dengan makanannya masing-masing. “Kalian sudah punya rencana untuk masa depan?”
Seketika delapan wajah yang menunjukkan bahwa pemiliknya sedang berpikir berpaling menghadapku.
“Rencana bagaimana?” tanya Encun polos. “Rencana macam mau-menikah-dan-berkeluarga-atau-menyendiri-dan-kesepian-seumur-hidup?”
Becky mendengus, sepertinya dia sedang berusaha menahan tawanya yang hendak meledak. “Tidak, lah! Ah, kau ini. Yang dimaksud Lotta kan rencana tentang cita-cita dan sekolah lanjutan.” Becky meniup poni white blonde dengan sedikit warna aqua yang menghalangi pandangannya, lalu melanjutkan, “Seperti rencanaku, misalnya, ingin jadi desainer dan melanjutkan sekolah ke Inggris. Siapa tahu nanti aku bisa bertemu Claire.”
“Kalau aku sih tidak ingin ke Inggris,” kata Lindsay sambil mengacungkan rotinya di atas api dari kompor. “Aku mau pergi ke Amerika lalu nanti mengambil kuliah kedokteran di sana, aku ingin mengambil surgery. Amerika terkenal maju di bidang itu.”
“Oh, rencana yang seperti itu,” kata Encun, terlambat paham seperti biasa. “Aku kepingin jadi arsitek sih, tapi tidak tahu mau melanjutkan kemana. Kalau di Indonesia aku pasti kesepian, karena aku tidak punya saudara dan orang tuaku sibuk bekerja terus. Ada usul?”
“Di International Academy Boarding Senior High School saja, Cun. Ada kelas pre-college juga di sana, jadi empat tahun sekalian,” Maureen menyarankan. “Aku juga masuk ke sana. Aku mau jadi arsitek, tapi tidak ingin sekolah di Amerika, sudah bosan.” Encun tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Mimpi terbesarku adalah menjadi seorang komedian,” kata Loiz sambil memetik gitarnya pelan-pelan. Untuk memberi efek dramatis, mungkin? “Tapi aku tidak tahu sekolah khusus komedi ada di mana. Jadi kuputuskan untuk melanjutkan ke Belanda. Memang tidak ada hubungannya, tapi setidaknya disana aku bisa mencari teman sedarah dengan marga Van Houten. Memang, dari seluruh anggota keluarga Van Houten hanya aku dan orangtuaku yang tinggal di Rusia, karena ibuku berasal dari sana.”
“Wah, cita-citamu benar-benar anti-mainstream, Loiz. Tapi kurang gagah, kurang macho!” tawa Nyenye dengan maksud bercanda. “Cita-citaku dong, gagah. Pemain bola. Aku bahkan sudah mendaftar ke sekolah sepakbola di Brazil bersama Pierre.” “Yeah!” seru Pierre, menanggapi Nyenye. “Lalu setelah lulus kami akan bermain di Liga Inggris, atau Liga Spanyol, atau mungkin bahkan di Piala Dunia!” Tangan Pierre terulur untuk ber-high five dengan Nyenye. “Woohoo!”
Aku memandang Nyenye dengan heran. Betapa cepat perubahan yang terjadi pada dirinya! Beberapa waktu yang lalu dia adalah anak loyo yang sering termenung-menung di tengah-tengah pertandingan sepakbola, yang sering melamun di kelas sampai sering tidak mendengar pertanyaan yang diajukan para guru untuknya, anak galau yang pernah diduga akan mengakhiri hidupnya dengan cara mengenaskan karena terlalu depresi. Tapi sekarang, dia kembali menjadi anak cerewet yang periang dan suka bercanda. Dia kembali menjadi Nyenye yang dulu kami kenal. Nyenye sahabat kami.
“Aku dan Jeanne berencana membuka restoran sendiri kelak, jadi kami akan mengambil sekolah kuliner di Prancis,” kata Gareth. Dia menoleh ke arah pacar tersayangnya itu. “Ya, kan, babe?” Jeanne mengangguk sambil tersenyum dengan lembut.
“Kalau Claire sudah jelas ya. Dia menekuni musik,” kata Lindsay. “Bagaimana denganmu sendiri, Lotta?”
Mulutku sudah terbuka untuk mengigit marshmallow bakar berlapis cokelat yang meleleh di depanku, tapi kembali menutup demi mendengar pertanyaan Lindsay. “Aku akan pulang ke Spanyol,” jawabku. “Aku berencana untuk belajar di Spanyol sampai tamat kuliah, lalu bekerja sebagai pediatrist dan menetap di sana pula.”
“Jadi kesimpulannya,” kata Nyenye dengan pandangan menerawang, “kita semua akan berpisah?”
“Aku dan Maureen tidak,” bantah Encun. “Becky-Claire tidak. Gareth-Jeanne tidak. Kau dan Pierre juga tidak. Yang benar-benar berpisah kan hanya Lotta, Lindsay, dan Loiz.”
“Yeah, memang,” kata Pierre. “Akan tetapi tetap saja kita bersebelas – dikurangi Claire menjadi bersepuluh – tidak akan bisa berkumpul bersama-sama lagi seperti ini setelah lulus nanti.”
“Kalau begitu kita nikmati saja saat-saat seperti ini!” seru Maureen heboh, mencoba untuk tetap riang di suasana yang bisa dibilang mengharukan ini. “Mumpung masih ada waktu,” tambahnya.
Aku memikirkan kata-kata Maureen barusan. Memang sih, saat-saat ketika kami bisa berkumpul dan mengobrol bersama itu sungguh menyenangkan – ada lelucon garing Loiz, petuah-petuah bijak dari Jeanne dan Pierre, pemikiran Lindsay yang selalu logis, kepolosan Encun, kehebohan Maureen, ide-ide untuk kreasi resep baru dari Gareth dan Nyenye, tips fashion dari Becky, dan dulu selalu ada debat yang dirintis oleh Claire. Apalagi hubungan antara kami dengan Nyenye juga baru saja membaik, sehingga segalanya menjadi dua kali lebih menyenangkan karena dia sudah kembali menjadi teman kami. Sayangnya… tidak selamanya kami bisa seperti ini. Maureen benar, saat-saat seperti ini tidak boleh disia-siakan.
Sementara itu Loiz sudah mulai memetik gitarnya lagi. Maka aku duduk sambil memakan marshmallowku dan menonton teman-temanku bernyanyi-nyanyi dengan riang di bawah sinar bulan.
Waktu berlalu dengan amat cepat kalau setiap hari kau dihadapkan pada tumpukan kertas bertuliskan puluhan – bahkan kadang ratusan – latihan soal yang harus kaujawab dengan benar. Ujian-ujian datang datang dan pergi, dan tiba-tiba saja seluruh ujian sudah selesai kami ikuti seluruhnya. Untung saja kami tidak perlu lama-lama tegang menunggu hasil ujian. Nilai-nilai kami sudah diumumkan. Hasilnya adalah SELURUH MURID IAB KELAS 9 LULUS!
Cara sekolah mengumumkan kelulusan kami ini asyik sekali. Para guru menggantungkan beberapa balon yang berisi nama dan pernyataan lulus tidaknya murid-murid di pepohonan yang berada di sekitar lapangan rumput IAB. Lalu balon-balon tersebut dipecahkan, dan kami harus mencari sendiri nama kami di antara kertas-kertas yang berserakan. Untung saja satu angkatan di IAB rata-rata hanya sekitar 50 orang, jadi tidak perlu bersusah payah untuk menemukan nama kami. Akan tetapi kalau nama kami tidak ada, berarti kami tidak lulus. Namun syukurlah, semua murid dapat menemukan namanya masing-masing, termasuk aku.
“Sekali lagi selamat untuk kalian semua. Kami sungguh bangga pernah menjadi guru-guru kalian,” kata Mr. Johns kepala sekolah kami setelah kami semua berhasil menemukan nama kami masing-masing. “Seperti yang sudah kalian ketahui, keberhasilan kalian ini akan kita rayakan bersama-sama dalam pesta prom nanti malam, yang akan diselenggarakan di auditorium. Untuk itu kalian dilarang masuk ke auditorium sebelum pukul tujuh malam, karena proses persiapannya amatlah rahasia. Nah, sekarang silakan kembali ke asrama dan bersiap-siap untuk nanti malam!”
Sementara yang lain sudah berlarian menuju asrama, aku masih di lapangan, berjalan dengan santai sambil tersenyum-senyum sendiri memikirkan apa yang akan terjadi di pesta prom. Aku yakin nanti malam akan jadi malam terhebatku selama tiga tahun masa sekolahku ini.
I got a feeling
That tonight’s gonna be a good night
That tonight’s gonna be a good, good night
That tonight’s gonna be a good, good night
I got a feeling
Woohoo
Lantai dansa di tengah-tengah auditorium dipenuhi anak-anak yang menari, meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti irama musik. Jeanne ada di tengah-tengah mereka, sedang mengajari Gareth menari. Jeanne tampak sangat nyaman bergerak dengan gaun ungu selututnya. Bagian atas gaunnya berbentuk seperti selempang, seperti bagian atas pakaian dewi-dewi Yunani. Sebuah jepit pink berbentuk bunga yang dipasang Jeanne di rambutnya membuatnya tampak semakin girlie. Sepatu bertumit tinggi yang dipakai Jeanne tidak mempersulit dia saat menari, malah sepertinya dia mendapat kekuatan lebih dari sepatunya itu.
Lain halnya dengan Gareth. Walaupun dia tidak memakai sepatu bertumit tinggi seperti pacar tersayangnya itu, Gareth – yang menurutku mirip bartender dengan setelan jas putih dan dasi kupu-kupu hitamnya – bergerak dengan patah-patah. Sungguh bertolak belakang, tapi saling melengkapi. Serasi!
Lindsay yang dari tadi menari di samping Jeanne tiba-tiba melompat dan melakukan split. Bagian bawah kimono merahnya yang sudah dimodifikasi tampak berkelip-kelip karena diberi banyak sekali payet dan glitter. Dengan pose dan pakaian seperti itu, jika dilihat dari atas Lindsay akan seperti baru berjongkok dan dikelilingi puluhan kunang-kunang. Keren! Kalau dulu Lindsay sudah melakukan ini sebelum Miss Emy merekrut anggota tim cheerleader, aku yakin dia pasti terpilih.
“Lotta!” seru Maureen dari arah meja makanan, mengalihkan perhatianku dari lantai dansa. “Coba lihat ini!” Dia dan Encun sedang berdiri di depan chocolate fountain besar yang ada di sebelah meja sup. Mereka mengacungkan marshmallow masing-masing yang ditusuk dengan sebatang stik di bawah cokelat yang mengalir. Kemudian mereka menarik marshmallow itu dan menambahkan sprinkles dengan gerakan secepat kilat. “Permen marshmallow jadi dalam waktu kurang dari lima detik!” tawa Encun. Apa yang mereka lakukan barusan memang kekanan-kanakan, tapi harus kuakui mereka cepat sekali – namun juga cukup heboh untuk membuat cokelat bercipratan kemana-mana, termasuk ke gaun cocktail Encun yang didesain mirip kebaya dan dress hijau Maureen yang diberi aksen emas di bagian bawahnya.
Aku hanya tertawa melihat mereka. Sejujurnya aku ingin sekali bergabung dengan mereka, tapi aku takut gaun oranye kesayanganku ini kotor kena noda cokelat. Lagipula kalau kutitipkan di laundry IAB memang akan jadi 5 hari lagi, tetapi empat hari lagi barang-barangku akan sudah mulai dikirim ke Spanyol karena minggu depan liburan musim panas sudah dimulai. Kalau Maureen dan Encun kan mau melanjutkan di IAB lagi, jadi bagi mereka pasti tidak masalah memasukkan pakaian mereka ke laundry.
“Hei teman-teman!” Becky berjalan cepat ke arah kami. Garis-garis tribal bertabur glitter yang ada di bagian bawah gaun biru tuanya yang melambai-lambai tampak semakin berkilau. “Cepat ke panggung sekarang! Loiz dan Nyenye akan menampilkan show komedi!”
Aku mengikuti teman-temanku ke depan panggung. Ternyata benar kata Becky. Loiz dan Nyenye sudah siap di atas panggung, mengenakan hem kotak-kotak kembar. Nyenye meraih mikrofon, berdeham-deham, lalu memulai pertunjukannya. “Ehm. Selamat malam. Di depan kalian semua sudah berdiri dua cowok imut yang malam ini rencananya akan bicara sedikit tentang kelulusan dan status saya sebagai orang single.“
“Memang apa hubungannya?” tanya Loiz yang ada di sebelah Nyenye. “Entahlah,” kata Nyenye spontan dengan air muka polos-tanpa-dosa. “Mungkin memang tidak ada hubungannya. Nah, back to our main topic…”
Show komedi mereka berjalan dengan lancar. Ada beberapa bagian dimana Loiz dan Nyenye dapat membuat semua orang yang menonton terpingkal-pingkal, namun juga ada kalanya lelucon mereka tidak direspon dengan tawa. Akan tetapi, secara keseluruhan mereka hebat.
“Nyenye sudah benar-benar berubah ya,” celetuk Pierre yang tiba-tiba muncul di dekatku. Kedua lengan jasnya digulung sampai siku, jadi tidak kotor selagi Pierre memakan kue kayu manisnya yang diolesi madu.
“Lihatlah,” katanya sambil mengunyah, “bahkan dia mau bekerja sama dengan Loiz untuk show ini. Kemajuannya sangat pesat beberapa minggu belakangan ini, dan perubahan sikapnya sangat cepat.” Aku merespon kalimat Pierre dengan anggukan.
“Untung Claire sempat bicara dulu dengan Nyenye sebelum kembali ke Manchester,” tambah Pierre. Hah? Claire? Bicara? Dengan Nyenye? “Kapan?” tanyaku kaget.
“Sebelum latihan terakhir saat akan melawan Gold Coast Boarding School. Nyenye kan sudah mengungkapkannya secara tersirat dalam pidatonya di pesta perpisahan Claire. Kau tidak tahu?” Pierre balik bertanya. Aku menjawab datar, “Tidak.” Otakku mulai mencocok-cocokkan tanggal dan peristiwa, dan ternyata memang Nyenye mulai berubah beberapa hari setelah latihan itu – tepatnya sejak pesta perpisahan dalam bentuk prom yang kami adakan untuk Claire. Oh. Jadi setelah Claire bicara padanya Nyenye mulai berubah.
Hei, tapi Claire hanya mengajak Nyenye bicara, kan? Aku juga pernah mengajaknya bicara baik-baik, tapi tidak berhasil. Maureen dulu juga pernah terang-terangan memberitahu Nyenye bahwa dia jahat dengan berpikiran picik terhadap Gareth dengan tujuan agar mau berubah, tapi Nyenye tetap berkeras mempertahankan sikapnya. Heran deh. Memang bedanya apa? Kan kami semua sama-sama hanya bicara dengannya.
Suara-suara letupan dari luar membuyarkan pikiranku. Semua orang yang ada di auditorium, termasuk aku, langsung keluar lewat pintu samping auditorium yang menuju ke lapangan rumput. Di luar ada apa sih?
Ternyata ada pesta kembang api! Puluhan kembang api beraneka warna meletup-letup di langit, membuat malam yang sudah hebat ini menjadi lebih keren lagi. Kembang api berhenti sejenak, lalu sebuah kembang api meluncur ke langit. Saat meledak, terbentuk tulisan ‘Congratulations, graduates!’ berukuran raksasa di langit, lalu kembang api-kembang api yang lain kembali dinyalakan. Kulihat Encun, Lindsay, Becky, dan Jeanne sampai menitikkan air mata saking kagum dan bahagia. Mulut Pierre, Loiz, dan Gareth menganga – kurasa mereka tidak menyadarinya karena kelewat terpesona. Dan Maureen, seperti biasa, langsung mengeluarkan ponselnya dan mengabadikan pesta kembang api ini. Kali ini dalam bentuk video. Bisa dipastikan bahwa dia akan meng-upload video itu ke Instagram nanti.
“Permisi, permisi,” kata seseorang di belakangku, mengalihkan perhatianku. “Hei, kaki siapa ini yang kuinjak? Oh, maaf! Sakitkah? Tadi aku tidak melihat kakimu di sana. Nah, di sini lebih enak. Kembang apinya terlihat lebih jelas.”
Tiba-tiba Nyenye sudah berdiri di sebelahku. “Halo,” sapanya. Aku hanya mengangguk. Tiba-tiba aku kembali teringat perkataan Pierre sebelum pesta kembang api tadi. Bagaimana kalau kutanyakan langsung pada Nyenye? Kucoba saja deh.
“Jadi, Claire sudah bicara padamu ya?” aku memulai. Sejenak Nyenye tampak bingung, tapi kemudian dia mengangguk. “Begitulah. Kau tahu, kan. Dia berkata bahwa aku terlalu menutup diri dan berpikiran sempit, karenanya aku harus berubah.”
“Kurasa apa yang dikatakan Claire sama dengan perkataan Maureen padamu dulu, dan perkataanku juga. Tapi kau tetap bertahan pada sikapmu itu,” aku memberikan sebuah pernyataan pada Nyenye yang kulanjutkan dengan pertanyaan, “Namun kenapa setelah Claire yang menasehatimu kau langsung sadar?”
Nyenye diam sejenak, pipinya sedikit merona mendengar nama Claire. “Kau tahu,” katanya setelah terdiam selama beberapa saat. Pasti setelah ini akan mengalir kata-kata puitis nan indah dari mulutnya. “Cinta itu aneh, rumit. Dia bisa membawa luka dan kesedihan bagi sebagian orang, namun juga memberikan sesuatu yang positif untuk yang lain. Sepertinya cinta punya kekuatan tersendiri yang bisa membuat orang-orang mengikuti apa yang diinginkannya.” Nyenye berhenti sejenak, sepertinya dia berpikir lagi.
“Aku sudah dijajah oleh cinta. Dia sudah membuatku sulit membedakan hitam dan putih. Segala sesuatu yang dilakukan atau dikatakan Claire selalu tampak benar, indah, dan hebat, walaupun mungkin hal itu tidak kusukai. Jadi aku akan melakukan apapun yang diinginkan Claire karena di mataku semuanya tampak benar. Walaupun pada akhirnya mungkin kesedihan akan datang padaku karena aku melakukan apa yang diinginkan Claire, aku tidak keberatan karena itu semua demi dia, demi rasa cintaku untuknya. I think love has a mysterious power to make people do anything, to make people change. Mengerti maksudku?”
“Sebenarnya belum terlalu sih,” kataku. “Lalu Teresa bagaimana?”
“Well,semua orang berhak memiliki perasaan kepada siapapun,” kata Nyenye. “Setelah kupikirkan, ternyata dia itu senasib denganku – kami sama-sama menyukai orang lain dan sama-sama tidak mendapat balasan. Jadi menurutku karena dia berhak menyukai siapapun, dia juga berhak menyukaiku, walaupun mungkin nanti akhirnya tetap tidak memiliki. Tapi kalau kini kami mau memulai segalanya dari awal, waktu yang ada sudah tidak cukup karena aku dan Teresa akan pisah sekolah.”
“Jadi kau …“
“Hei kawan! Coba lihat ini!” seru Maureen, memotong percakapanku dengan Nyenye. Tangan kanannya yang digunakan untuk memegang ponsel diluruskan, sehingga aku, Encun, Lindsay, Becky, Jeanne, Pierre, Gareth, dan Loiz bisa melihat apa yang ingin ditunjukkan oleh Maureen. Nyenye yang biasanya cuek juga ikut melihat.
Apa yang ingin diperlihatkan oleh Maureen ternyata foto yang di-upload Claire di Instagram barusan. Foto candid Claire yang sedang makan malam bersama seorang anak laki-laki tampan yang wajahnya merupakan campuran antara Ander Herrera dari Manchester United dan Callum Hood-nya 5 Seconds of Summer. Gaun brokat selulut warna peach yang dikenakan oleh Claire tampak sedikit bercahaya terkena sinar lilin yang diletakkan di meja makan. Wajahnya berseri-seri. Ternyata caption dari foto itu berbunyi ‘Yesterday was an amazing day. Thank you for the early Thanksgiving dinner, Ashton!’
Gareth bersiul keras. “Wah, Claire sudah punya pacar rupanya!” katanya. Teman-temanku yang lain segera memberikan komentar mereka juga.
“Jadi seperti itu, ya, wajahnya Ashton yang sering dia ceritakan dulu.”
“Claire sungguh beruntung!”
“Mereka benar-benar pacaran ya?”
“Ashton dan Claire tampak serasi sekali!”
“Kapan ya aku bisa punya pacar?”
“Jodohmu masih di tangan Tuhan sih. Dia kan jadi tidak bisa datang menemuimu.”
Semua memberikan tanggapan mereka … kecuali Nyenye. Untuk sesaat air mukanya kembali mendung, seperti saat dia masih depresi dulu. Namun sedetik kemudian kelihatan sekali kalau di berusaha keras membuat wajahnya kembali tampak riang. Aku kembali teringat pada ucapan Nyenye tadi, pernyataan bahwa dia akan melakukan segalanya demi cintanya pada Claire. Apakah Claire juga memintanya untuk move on? Dan meminta Nyenye tidak bersedih kalau-kalau dia menemukan pujaan hatinya di Inggris?
Kedua mata Nyenye menangkap pandangan heran yang kuberikan padanya, lalu dia mengangkat alisnya dan berkata, “Aku sudah memberitahumu, kan? That’s the power of love.”
Yeah, Nyenye benar. Cinta memang mempunyai kekuatan luar biasa yang bisa membuat seseorang berubah. That’s the power of love.
***
Okay, that's all for the 11th Chapter. Keep reading our stories, okay? I hope you guys love it.
Big thank you from all the authors!! God bless you <3
The chapter 11 of Nyenye was finally done. This chapter was made by Sekar. Honestly, I like this chapter. Why? Because you know... okay you can read it to know my answer :D
Okay, check it out!! :3
***
The previous chapter -> Chapter 10 (Part 2) - The Unsaid Thing
Chapter 11
Power of Love
*Carlotta deQuez’s Point of View*
Soal-soal aljabar yang menjadi tugas kami hari ini membuatku bingung. Aku beranjak dari mejaku dan membawa kertas-kertasku ke meja kayu besar di tengah ruang bersama, dimana Becky dan Lindsay sedang mengobrol.
“Hei teman,” sapaku ketika aku sudah duduk di hadapan mereka. “Tolong ajari dong, aku tidak mengerti bagaimana menyelesaikan soal-soal ini.” Kutunjukkan soal-soal yang belum kujawab karena aku benar-benar tidak tahu caranya. Yeah, teman-temanku mungkin bisa memanggilku ‘dokter’ karena aku lumayan di pelajaran Biologi, terutama di bab-bab tentang tubuh manusia. Tapi Matematika? Ugh. Aku menyerah deh. Untung Lindsay dan Becky berbaik hati mau mengajariku. Dulu Claire juga sih, tapi berhubung sekarang dia sudah berada nun jauh di Manchester, guru privatku tinggal dua deh.
Lindsay membaca soal-soalnya sekilas. “Hmm.. Pertama selesaikan persamaan yang ini dulu,” jelasnya sambil menunjuk sederet angka. Aku mulai mengerjakan soal di bawah bimbingan Lindsay dan Becky. “Setelah itu hasilnya dibagi dengan konstanta ini,” lanjut Becky. “Selesai deh!”
Aku tersenyum dan mendesah lega. Senang deh punya teman-teman seperti mereka, apalagi kalau sudah mendekati musim ujian seperti sekarang ini. Musim dingin sudah lewat, itu artinya akhir dari masa belajar kami di International Academy Boarding Junior High School telah dekat. Para guru memberi kami banyak sekali latihan soal dan tugas untuk persiapan ujian akhir nanti. Untung kami diizinkan meninggalkan semua ekstrakurikuler, sehingga kami punya lebih banyak waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas. Sekarang kami semua hampir selalu bisa ditemukan sedang belajar atau mengerjakan tugas di ruang bersama. Belajar terus-menerus memang melelahkan, tapi ini untuk masa depan kami sendiri, bukan?
Sekolah-sekolah lanjutan juga sudah mulai mengadakan promosi ke IAB. Ada banyak sekali sekolah dari berbagai negara yang memiliki akses beasiswa dari IAB. Aku tidak tahu teman-temanku sudah punya sekolah tujuan atau belum, tapi aku sudah. Aku akan melanjutkan sekolah di tanah kelahiranku, Spanyol. Sebenarnya ada juga sih International Academy Boarding Senior High School, tapi aku tidak berminat melanjutkan ke sana. Karena kelak aku ingin bekerja sebagai seorang pediatrist di Spanyol, kupikir lebih baik aku juga belajar kedokteran di sana.
Penyakit di suatu tempat pasti berbeda dengan yang ada di tempat lainnya, sehingga akan lebih tepat kalau aku belajar kedokteran di Spanyol atau di negara lain di Eropa yang keadaan manusia dan masyarakatnya hampir mirip. Selain itu akan lebih mudah bagiku untuk mencari lisensi bekerja sebagai seorang pediatrist di Eropa. Kemudian bila aku ingin melanjutkan ke universitas di Eropa, akan lebih mudah bagiku kalau aku belajar di sekolah menengah di Eropa juga. Dan kebetulan orangtuaku juga menginginkan aku bersekolah tidak jauh dari mereka. Maka aku memutuskan setelah menamatkan tahun terakhirku di sekolah ini aku akan pulang ke Spanyol dan belajar di sana.
Tapi teman-temanku ingin melanjutkan ke mana? Pemikiran ini muncul di benakku saat aku, Maureen, Encun, Lindsay, Jeanne, Gareth, Nyenye, Loiz dan Pierre sedang duduk bersila mengelilingi kompor mini Gareth. Besok hari Sabtu, dan malam ini kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dari kegiatan belajar. Jadi disinilah kami, membakar roti dan marshmallow sambil bernyanyi-nyanyi dengan diiringi petikan gitar Loiz di tengah-tengah lapangan rumput IAB yang terletak di dekat kolam renang sekolah. (Bukan, bukan lapangan sepakbola. Lapangan yang ini biasanya dipakai untuk event-event sekolah seperti kompetisi memasak antar siswa dan pentas-pentas drama saat cuaca cerah). Aku memutuskan untuk mengutarakan pikiranku itu, mumpung kami semua sedang berkumpul bersama-sama.
“Hei,” kataku agak keras, mencoba menarik perhatian teman-temanku yang sedang sibuk dengan makanannya masing-masing. “Kalian sudah punya rencana untuk masa depan?”
Seketika delapan wajah yang menunjukkan bahwa pemiliknya sedang berpikir berpaling menghadapku.
“Rencana bagaimana?” tanya Encun polos. “Rencana macam mau-menikah-dan-berkeluarga-atau-menyendiri-dan-kesepian-seumur-hidup?”
Becky mendengus, sepertinya dia sedang berusaha menahan tawanya yang hendak meledak. “Tidak, lah! Ah, kau ini. Yang dimaksud Lotta kan rencana tentang cita-cita dan sekolah lanjutan.” Becky meniup poni white blonde dengan sedikit warna aqua yang menghalangi pandangannya, lalu melanjutkan, “Seperti rencanaku, misalnya, ingin jadi desainer dan melanjutkan sekolah ke Inggris. Siapa tahu nanti aku bisa bertemu Claire.”
“Kalau aku sih tidak ingin ke Inggris,” kata Lindsay sambil mengacungkan rotinya di atas api dari kompor. “Aku mau pergi ke Amerika lalu nanti mengambil kuliah kedokteran di sana, aku ingin mengambil surgery. Amerika terkenal maju di bidang itu.”
“Oh, rencana yang seperti itu,” kata Encun, terlambat paham seperti biasa. “Aku kepingin jadi arsitek sih, tapi tidak tahu mau melanjutkan kemana. Kalau di Indonesia aku pasti kesepian, karena aku tidak punya saudara dan orang tuaku sibuk bekerja terus. Ada usul?”
“Di International Academy Boarding Senior High School saja, Cun. Ada kelas pre-college juga di sana, jadi empat tahun sekalian,” Maureen menyarankan. “Aku juga masuk ke sana. Aku mau jadi arsitek, tapi tidak ingin sekolah di Amerika, sudah bosan.” Encun tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Mimpi terbesarku adalah menjadi seorang komedian,” kata Loiz sambil memetik gitarnya pelan-pelan. Untuk memberi efek dramatis, mungkin? “Tapi aku tidak tahu sekolah khusus komedi ada di mana. Jadi kuputuskan untuk melanjutkan ke Belanda. Memang tidak ada hubungannya, tapi setidaknya disana aku bisa mencari teman sedarah dengan marga Van Houten. Memang, dari seluruh anggota keluarga Van Houten hanya aku dan orangtuaku yang tinggal di Rusia, karena ibuku berasal dari sana.”
“Wah, cita-citamu benar-benar anti-mainstream, Loiz. Tapi kurang gagah, kurang macho!” tawa Nyenye dengan maksud bercanda. “Cita-citaku dong, gagah. Pemain bola. Aku bahkan sudah mendaftar ke sekolah sepakbola di Brazil bersama Pierre.” “Yeah!” seru Pierre, menanggapi Nyenye. “Lalu setelah lulus kami akan bermain di Liga Inggris, atau Liga Spanyol, atau mungkin bahkan di Piala Dunia!” Tangan Pierre terulur untuk ber-high five dengan Nyenye. “Woohoo!”
Aku memandang Nyenye dengan heran. Betapa cepat perubahan yang terjadi pada dirinya! Beberapa waktu yang lalu dia adalah anak loyo yang sering termenung-menung di tengah-tengah pertandingan sepakbola, yang sering melamun di kelas sampai sering tidak mendengar pertanyaan yang diajukan para guru untuknya, anak galau yang pernah diduga akan mengakhiri hidupnya dengan cara mengenaskan karena terlalu depresi. Tapi sekarang, dia kembali menjadi anak cerewet yang periang dan suka bercanda. Dia kembali menjadi Nyenye yang dulu kami kenal. Nyenye sahabat kami.
“Aku dan Jeanne berencana membuka restoran sendiri kelak, jadi kami akan mengambil sekolah kuliner di Prancis,” kata Gareth. Dia menoleh ke arah pacar tersayangnya itu. “Ya, kan, babe?” Jeanne mengangguk sambil tersenyum dengan lembut.
“Kalau Claire sudah jelas ya. Dia menekuni musik,” kata Lindsay. “Bagaimana denganmu sendiri, Lotta?”
Mulutku sudah terbuka untuk mengigit marshmallow bakar berlapis cokelat yang meleleh di depanku, tapi kembali menutup demi mendengar pertanyaan Lindsay. “Aku akan pulang ke Spanyol,” jawabku. “Aku berencana untuk belajar di Spanyol sampai tamat kuliah, lalu bekerja sebagai pediatrist dan menetap di sana pula.”
“Jadi kesimpulannya,” kata Nyenye dengan pandangan menerawang, “kita semua akan berpisah?”
“Aku dan Maureen tidak,” bantah Encun. “Becky-Claire tidak. Gareth-Jeanne tidak. Kau dan Pierre juga tidak. Yang benar-benar berpisah kan hanya Lotta, Lindsay, dan Loiz.”
“Yeah, memang,” kata Pierre. “Akan tetapi tetap saja kita bersebelas – dikurangi Claire menjadi bersepuluh – tidak akan bisa berkumpul bersama-sama lagi seperti ini setelah lulus nanti.”
“Kalau begitu kita nikmati saja saat-saat seperti ini!” seru Maureen heboh, mencoba untuk tetap riang di suasana yang bisa dibilang mengharukan ini. “Mumpung masih ada waktu,” tambahnya.
Aku memikirkan kata-kata Maureen barusan. Memang sih, saat-saat ketika kami bisa berkumpul dan mengobrol bersama itu sungguh menyenangkan – ada lelucon garing Loiz, petuah-petuah bijak dari Jeanne dan Pierre, pemikiran Lindsay yang selalu logis, kepolosan Encun, kehebohan Maureen, ide-ide untuk kreasi resep baru dari Gareth dan Nyenye, tips fashion dari Becky, dan dulu selalu ada debat yang dirintis oleh Claire. Apalagi hubungan antara kami dengan Nyenye juga baru saja membaik, sehingga segalanya menjadi dua kali lebih menyenangkan karena dia sudah kembali menjadi teman kami. Sayangnya… tidak selamanya kami bisa seperti ini. Maureen benar, saat-saat seperti ini tidak boleh disia-siakan.
Sementara itu Loiz sudah mulai memetik gitarnya lagi. Maka aku duduk sambil memakan marshmallowku dan menonton teman-temanku bernyanyi-nyanyi dengan riang di bawah sinar bulan.
***
Waktu berlalu dengan amat cepat kalau setiap hari kau dihadapkan pada tumpukan kertas bertuliskan puluhan – bahkan kadang ratusan – latihan soal yang harus kaujawab dengan benar. Ujian-ujian datang datang dan pergi, dan tiba-tiba saja seluruh ujian sudah selesai kami ikuti seluruhnya. Untung saja kami tidak perlu lama-lama tegang menunggu hasil ujian. Nilai-nilai kami sudah diumumkan. Hasilnya adalah SELURUH MURID IAB KELAS 9 LULUS!
Cara sekolah mengumumkan kelulusan kami ini asyik sekali. Para guru menggantungkan beberapa balon yang berisi nama dan pernyataan lulus tidaknya murid-murid di pepohonan yang berada di sekitar lapangan rumput IAB. Lalu balon-balon tersebut dipecahkan, dan kami harus mencari sendiri nama kami di antara kertas-kertas yang berserakan. Untung saja satu angkatan di IAB rata-rata hanya sekitar 50 orang, jadi tidak perlu bersusah payah untuk menemukan nama kami. Akan tetapi kalau nama kami tidak ada, berarti kami tidak lulus. Namun syukurlah, semua murid dapat menemukan namanya masing-masing, termasuk aku.
“Sekali lagi selamat untuk kalian semua. Kami sungguh bangga pernah menjadi guru-guru kalian,” kata Mr. Johns kepala sekolah kami setelah kami semua berhasil menemukan nama kami masing-masing. “Seperti yang sudah kalian ketahui, keberhasilan kalian ini akan kita rayakan bersama-sama dalam pesta prom nanti malam, yang akan diselenggarakan di auditorium. Untuk itu kalian dilarang masuk ke auditorium sebelum pukul tujuh malam, karena proses persiapannya amatlah rahasia. Nah, sekarang silakan kembali ke asrama dan bersiap-siap untuk nanti malam!”
Sementara yang lain sudah berlarian menuju asrama, aku masih di lapangan, berjalan dengan santai sambil tersenyum-senyum sendiri memikirkan apa yang akan terjadi di pesta prom. Aku yakin nanti malam akan jadi malam terhebatku selama tiga tahun masa sekolahku ini.
***
I got a feeling
That tonight’s gonna be a good night
That tonight’s gonna be a good, good night
That tonight’s gonna be a good, good night
I got a feeling
Woohoo
Lantai dansa di tengah-tengah auditorium dipenuhi anak-anak yang menari, meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti irama musik. Jeanne ada di tengah-tengah mereka, sedang mengajari Gareth menari. Jeanne tampak sangat nyaman bergerak dengan gaun ungu selututnya. Bagian atas gaunnya berbentuk seperti selempang, seperti bagian atas pakaian dewi-dewi Yunani. Sebuah jepit pink berbentuk bunga yang dipasang Jeanne di rambutnya membuatnya tampak semakin girlie. Sepatu bertumit tinggi yang dipakai Jeanne tidak mempersulit dia saat menari, malah sepertinya dia mendapat kekuatan lebih dari sepatunya itu.
Lain halnya dengan Gareth. Walaupun dia tidak memakai sepatu bertumit tinggi seperti pacar tersayangnya itu, Gareth – yang menurutku mirip bartender dengan setelan jas putih dan dasi kupu-kupu hitamnya – bergerak dengan patah-patah. Sungguh bertolak belakang, tapi saling melengkapi. Serasi!
Lindsay yang dari tadi menari di samping Jeanne tiba-tiba melompat dan melakukan split. Bagian bawah kimono merahnya yang sudah dimodifikasi tampak berkelip-kelip karena diberi banyak sekali payet dan glitter. Dengan pose dan pakaian seperti itu, jika dilihat dari atas Lindsay akan seperti baru berjongkok dan dikelilingi puluhan kunang-kunang. Keren! Kalau dulu Lindsay sudah melakukan ini sebelum Miss Emy merekrut anggota tim cheerleader, aku yakin dia pasti terpilih.
“Lotta!” seru Maureen dari arah meja makanan, mengalihkan perhatianku dari lantai dansa. “Coba lihat ini!” Dia dan Encun sedang berdiri di depan chocolate fountain besar yang ada di sebelah meja sup. Mereka mengacungkan marshmallow masing-masing yang ditusuk dengan sebatang stik di bawah cokelat yang mengalir. Kemudian mereka menarik marshmallow itu dan menambahkan sprinkles dengan gerakan secepat kilat. “Permen marshmallow jadi dalam waktu kurang dari lima detik!” tawa Encun. Apa yang mereka lakukan barusan memang kekanan-kanakan, tapi harus kuakui mereka cepat sekali – namun juga cukup heboh untuk membuat cokelat bercipratan kemana-mana, termasuk ke gaun cocktail Encun yang didesain mirip kebaya dan dress hijau Maureen yang diberi aksen emas di bagian bawahnya.
Aku hanya tertawa melihat mereka. Sejujurnya aku ingin sekali bergabung dengan mereka, tapi aku takut gaun oranye kesayanganku ini kotor kena noda cokelat. Lagipula kalau kutitipkan di laundry IAB memang akan jadi 5 hari lagi, tetapi empat hari lagi barang-barangku akan sudah mulai dikirim ke Spanyol karena minggu depan liburan musim panas sudah dimulai. Kalau Maureen dan Encun kan mau melanjutkan di IAB lagi, jadi bagi mereka pasti tidak masalah memasukkan pakaian mereka ke laundry.
“Hei teman-teman!” Becky berjalan cepat ke arah kami. Garis-garis tribal bertabur glitter yang ada di bagian bawah gaun biru tuanya yang melambai-lambai tampak semakin berkilau. “Cepat ke panggung sekarang! Loiz dan Nyenye akan menampilkan show komedi!”
Aku mengikuti teman-temanku ke depan panggung. Ternyata benar kata Becky. Loiz dan Nyenye sudah siap di atas panggung, mengenakan hem kotak-kotak kembar. Nyenye meraih mikrofon, berdeham-deham, lalu memulai pertunjukannya. “Ehm. Selamat malam. Di depan kalian semua sudah berdiri dua cowok imut yang malam ini rencananya akan bicara sedikit tentang kelulusan dan status saya sebagai orang single.“
“Memang apa hubungannya?” tanya Loiz yang ada di sebelah Nyenye. “Entahlah,” kata Nyenye spontan dengan air muka polos-tanpa-dosa. “Mungkin memang tidak ada hubungannya. Nah, back to our main topic…”
Show komedi mereka berjalan dengan lancar. Ada beberapa bagian dimana Loiz dan Nyenye dapat membuat semua orang yang menonton terpingkal-pingkal, namun juga ada kalanya lelucon mereka tidak direspon dengan tawa. Akan tetapi, secara keseluruhan mereka hebat.
“Nyenye sudah benar-benar berubah ya,” celetuk Pierre yang tiba-tiba muncul di dekatku. Kedua lengan jasnya digulung sampai siku, jadi tidak kotor selagi Pierre memakan kue kayu manisnya yang diolesi madu.
“Lihatlah,” katanya sambil mengunyah, “bahkan dia mau bekerja sama dengan Loiz untuk show ini. Kemajuannya sangat pesat beberapa minggu belakangan ini, dan perubahan sikapnya sangat cepat.” Aku merespon kalimat Pierre dengan anggukan.
“Untung Claire sempat bicara dulu dengan Nyenye sebelum kembali ke Manchester,” tambah Pierre. Hah? Claire? Bicara? Dengan Nyenye? “Kapan?” tanyaku kaget.
“Sebelum latihan terakhir saat akan melawan Gold Coast Boarding School. Nyenye kan sudah mengungkapkannya secara tersirat dalam pidatonya di pesta perpisahan Claire. Kau tidak tahu?” Pierre balik bertanya. Aku menjawab datar, “Tidak.” Otakku mulai mencocok-cocokkan tanggal dan peristiwa, dan ternyata memang Nyenye mulai berubah beberapa hari setelah latihan itu – tepatnya sejak pesta perpisahan dalam bentuk prom yang kami adakan untuk Claire. Oh. Jadi setelah Claire bicara padanya Nyenye mulai berubah.
Hei, tapi Claire hanya mengajak Nyenye bicara, kan? Aku juga pernah mengajaknya bicara baik-baik, tapi tidak berhasil. Maureen dulu juga pernah terang-terangan memberitahu Nyenye bahwa dia jahat dengan berpikiran picik terhadap Gareth dengan tujuan agar mau berubah, tapi Nyenye tetap berkeras mempertahankan sikapnya. Heran deh. Memang bedanya apa? Kan kami semua sama-sama hanya bicara dengannya.
Suara-suara letupan dari luar membuyarkan pikiranku. Semua orang yang ada di auditorium, termasuk aku, langsung keluar lewat pintu samping auditorium yang menuju ke lapangan rumput. Di luar ada apa sih?
Ternyata ada pesta kembang api! Puluhan kembang api beraneka warna meletup-letup di langit, membuat malam yang sudah hebat ini menjadi lebih keren lagi. Kembang api berhenti sejenak, lalu sebuah kembang api meluncur ke langit. Saat meledak, terbentuk tulisan ‘Congratulations, graduates!’ berukuran raksasa di langit, lalu kembang api-kembang api yang lain kembali dinyalakan. Kulihat Encun, Lindsay, Becky, dan Jeanne sampai menitikkan air mata saking kagum dan bahagia. Mulut Pierre, Loiz, dan Gareth menganga – kurasa mereka tidak menyadarinya karena kelewat terpesona. Dan Maureen, seperti biasa, langsung mengeluarkan ponselnya dan mengabadikan pesta kembang api ini. Kali ini dalam bentuk video. Bisa dipastikan bahwa dia akan meng-upload video itu ke Instagram nanti.
“Permisi, permisi,” kata seseorang di belakangku, mengalihkan perhatianku. “Hei, kaki siapa ini yang kuinjak? Oh, maaf! Sakitkah? Tadi aku tidak melihat kakimu di sana. Nah, di sini lebih enak. Kembang apinya terlihat lebih jelas.”
Tiba-tiba Nyenye sudah berdiri di sebelahku. “Halo,” sapanya. Aku hanya mengangguk. Tiba-tiba aku kembali teringat perkataan Pierre sebelum pesta kembang api tadi. Bagaimana kalau kutanyakan langsung pada Nyenye? Kucoba saja deh.
“Jadi, Claire sudah bicara padamu ya?” aku memulai. Sejenak Nyenye tampak bingung, tapi kemudian dia mengangguk. “Begitulah. Kau tahu, kan. Dia berkata bahwa aku terlalu menutup diri dan berpikiran sempit, karenanya aku harus berubah.”
“Kurasa apa yang dikatakan Claire sama dengan perkataan Maureen padamu dulu, dan perkataanku juga. Tapi kau tetap bertahan pada sikapmu itu,” aku memberikan sebuah pernyataan pada Nyenye yang kulanjutkan dengan pertanyaan, “Namun kenapa setelah Claire yang menasehatimu kau langsung sadar?”
Nyenye diam sejenak, pipinya sedikit merona mendengar nama Claire. “Kau tahu,” katanya setelah terdiam selama beberapa saat. Pasti setelah ini akan mengalir kata-kata puitis nan indah dari mulutnya. “Cinta itu aneh, rumit. Dia bisa membawa luka dan kesedihan bagi sebagian orang, namun juga memberikan sesuatu yang positif untuk yang lain. Sepertinya cinta punya kekuatan tersendiri yang bisa membuat orang-orang mengikuti apa yang diinginkannya.” Nyenye berhenti sejenak, sepertinya dia berpikir lagi.
“Aku sudah dijajah oleh cinta. Dia sudah membuatku sulit membedakan hitam dan putih. Segala sesuatu yang dilakukan atau dikatakan Claire selalu tampak benar, indah, dan hebat, walaupun mungkin hal itu tidak kusukai. Jadi aku akan melakukan apapun yang diinginkan Claire karena di mataku semuanya tampak benar. Walaupun pada akhirnya mungkin kesedihan akan datang padaku karena aku melakukan apa yang diinginkan Claire, aku tidak keberatan karena itu semua demi dia, demi rasa cintaku untuknya. I think love has a mysterious power to make people do anything, to make people change. Mengerti maksudku?”
“Sebenarnya belum terlalu sih,” kataku. “Lalu Teresa bagaimana?”
“Well,semua orang berhak memiliki perasaan kepada siapapun,” kata Nyenye. “Setelah kupikirkan, ternyata dia itu senasib denganku – kami sama-sama menyukai orang lain dan sama-sama tidak mendapat balasan. Jadi menurutku karena dia berhak menyukai siapapun, dia juga berhak menyukaiku, walaupun mungkin nanti akhirnya tetap tidak memiliki. Tapi kalau kini kami mau memulai segalanya dari awal, waktu yang ada sudah tidak cukup karena aku dan Teresa akan pisah sekolah.”
“Jadi kau …“
“Hei kawan! Coba lihat ini!” seru Maureen, memotong percakapanku dengan Nyenye. Tangan kanannya yang digunakan untuk memegang ponsel diluruskan, sehingga aku, Encun, Lindsay, Becky, Jeanne, Pierre, Gareth, dan Loiz bisa melihat apa yang ingin ditunjukkan oleh Maureen. Nyenye yang biasanya cuek juga ikut melihat.
Apa yang ingin diperlihatkan oleh Maureen ternyata foto yang di-upload Claire di Instagram barusan. Foto candid Claire yang sedang makan malam bersama seorang anak laki-laki tampan yang wajahnya merupakan campuran antara Ander Herrera dari Manchester United dan Callum Hood-nya 5 Seconds of Summer. Gaun brokat selulut warna peach yang dikenakan oleh Claire tampak sedikit bercahaya terkena sinar lilin yang diletakkan di meja makan. Wajahnya berseri-seri. Ternyata caption dari foto itu berbunyi ‘Yesterday was an amazing day. Thank you for the early Thanksgiving dinner, Ashton!’
Gareth bersiul keras. “Wah, Claire sudah punya pacar rupanya!” katanya. Teman-temanku yang lain segera memberikan komentar mereka juga.
“Jadi seperti itu, ya, wajahnya Ashton yang sering dia ceritakan dulu.”
“Claire sungguh beruntung!”
“Mereka benar-benar pacaran ya?”
“Ashton dan Claire tampak serasi sekali!”
“Kapan ya aku bisa punya pacar?”
“Jodohmu masih di tangan Tuhan sih. Dia kan jadi tidak bisa datang menemuimu.”
Semua memberikan tanggapan mereka … kecuali Nyenye. Untuk sesaat air mukanya kembali mendung, seperti saat dia masih depresi dulu. Namun sedetik kemudian kelihatan sekali kalau di berusaha keras membuat wajahnya kembali tampak riang. Aku kembali teringat pada ucapan Nyenye tadi, pernyataan bahwa dia akan melakukan segalanya demi cintanya pada Claire. Apakah Claire juga memintanya untuk move on? Dan meminta Nyenye tidak bersedih kalau-kalau dia menemukan pujaan hatinya di Inggris?
Kedua mata Nyenye menangkap pandangan heran yang kuberikan padanya, lalu dia mengangkat alisnya dan berkata, “Aku sudah memberitahumu, kan? That’s the power of love.”
Yeah, Nyenye benar. Cinta memang mempunyai kekuatan luar biasa yang bisa membuat seseorang berubah. That’s the power of love.
***
Okay, that's all for the 11th Chapter. Keep reading our stories, okay? I hope you guys love it.
Big thank you from all the authors!! God bless you <3
Comments
Post a Comment