Nyenye : [Chapter 10 (Pt.1)] The Unsaid Thing

Hello guysssss :D
So sorry I haven't post for a long time, but now I'm back and found myself stuck in this laptop, thinking what else can I do (besides learning for tomorrow's IT test) and finally my modem can be used again, and I'M SO HAPPY TO ANNOUNCE YOU THAT THE 10TH CHAPTER OF NYENYE WAS DONE!!! :)

First, I know I'm kinda late to write. I have lots of things to do and I have no time to write. I'm so sorry :(

And yap, this chapter was made by me and it divides into two parts. For the 2nd part tbh I've already wrote it but I haven't done it yet. Gonna post it soon, okay?

Well, here you go, I know you miss this so much, my friends! :D

***
[The previous chapter -> Chapter 9 (Part 2) - Concoction and Love Letter Water Jet]


Chapter 10 - Part 1
The Unsaid Thing

*Claire Millan’s Point of View*

            For a while we pretended
            That we’ll never have to end it
            But we knew we have to say goodbye
            …

            Aku melepaskan earphone yang sedari tadi terpasang di telingaku. Ada alasan mengapa aku lebih suka memakai earphone saat mendengarkan musik bahkan saat tidak ada orang di sekitarku sekalipun, hal itu membantuku untuk menghayati lirik dan rangkaian nada pada sebuah lagu; terdengar lebih indah dan jelas.
            Musik memang selalu ada untukku di saat tak ada seorangpun dapat memahami perasaanku. Maka, itulah yang membuatku lebih sering untuk menyendiri sambil mendengarkan lagu akhir-akhir ini. Aku jarang untuk bercerita dengan teman-teman yang bahkan satu kamar denganku baru-baru ini, karena aku tahu hal itu hanya akan menyakiti perasaan mereka saja.
            Jadi, disinilah aku sekarang, di dekat lapangan IAB, tempat yang benar-benar tepat untuk menyendiri di siang menjelang sore ini. Aku dapat melihat dengan jelas bahwa tak ada seorangpun di sekitar sini. Aku juga tidak dapat menemukan alasan yang tepat mengapa orang mau datang ke lapangan ini jika tidak ada latihan sepakbola di IAB atau ada jam olah raga. Sebenarnya ada latihan sepakbola hari ini, namun Mrs. Sam meliburkannya untuk jeda setelah kemenangan kami melawan Silverwood lalu.
             Aku sesungguhnya tidak mempunyai alasan yang begitu jelas mengapa aku kesini. Aku hanya ingin berjalan-jalan dan menikmati keheningan. Terbebas dari celotehan Nyenye, keributan Encun, Becky, dan Maureen, penyelidikan-penyelidikan Lindsay, melihat Lotta tertidur, dan membiarkan pasangan yang membuat Nyenye galau habis-habisan – Jeanne dan Gareth – untuk berpacaran atau apapun itu. Mungkin, aku butuh waktu untuk menyendiri, untuk memikirkan keputusanku bulat-bulat tanpa dipengaruhi oleh orang lain di sekitarku.
            BRUKKKK!!!!
             Aku menemukan sebuah jet air jatuh di kepalaku. Tak hanya itu, di luar jet air itu ada semacam campuran yang aneh dan menjijikkan yang sekarang telah mengolesi rambutku. UHHH!!! Sungguh, hal ini sebelas dua belas dengan ketiban durian jatuh, hanya saja durian ini adalah durian yang busuk dan menjijikkan. Bagaimana bisa perkiraanku salah tentang alasan orang-orang mau datang ke sini di hari yang secerah dan tempat yang sehening ini!
            Aku melihat ke kanan dan ke kiri, mencari “penerbang” jet air yang menjijikkan ini. Siapapun mereka, mungkin aku bisa mengutuk mereka untuk menjadi batu (mungkin yang satu ini memang sudah kuno, namun aku tidak punya ide lain untuk mengutuk mereka menjadi apa lagi), lalu aku sadar bahwa aku tidak punya kekuatan lebih untuk mengutuk siapapun menjadi batu. Awalnya, aku berfikir bahwa pelakunya adalah penduduk primitif pulau ini yang tidak pernah di temukan, bahkan ketika suku Aborigin di temukan, keberadaan mereka masih tidak diketahui. Memang terdengar tidak masuk akal sih, dan ternyata memang bukan mereka pelakunya.
            Nyenye, Becky, Encun, Lotta, Maureen, Lindsay, Jeanne, dan Gareth. Mereka bersembunyi di belakang semak-semak dekat sebuah pohon terbesar di lapangan ini dan memandangku dengan tatapan bersalah. Sejak detik itu aku yakin, mereka adalah pelakunya. Aku melihat ke arah mereka, lalu memutuskan untuk berlari dan meninggalkan jet air itu disitu.
            Aku berlari secepat yang kubisa ke arah asrama tanpa ingin siapapun melihatku. Tak hanya rambutku, hampir sekujur tubuhku dilumuri oleh campuran yang menjijikkan. Aku bahkan dapat merasakan bau-bau yang menyengat dari campuran itu. Uh, jika aku punya kesempatan, mungkin aku sudah ingin muntah sekarang juga. Namun, aku tidak punya waktu untuk itu. Aku harus berlari, harus bisa menyembunyikan semua ini tanpa sepengetahuan siapapun.
            Apakah tujuan mereka untuk melempariku jet air yang dilumuri campuran menjijikkan itu? Memang, apa salahku terhadap mereka? Apakah aku terlalu jahat untuk tidak membicarakan apapun dengan mereka akhir-akhir ini? Kalau memang begitu, aku memang tidak bisa membicarakan ini kepada mereka. Mereka tidak boleh mengetahui ini sebelum harinya tiba. Lalu mengapa mereka tidak bisa membicarakan hal itu baik-baik denganku? Apa harus dengan cara yang aneh dan menjijikkan ini?
            Pertanyaan- pertanyaan itu terus menghantuiku selama perjalanan (atau mungkin perlarian) ku menuju ke asrama. Aku bahkan tak bisa menjawabnya, hingga akhirnya aku menyadari ada seseorang yang mengikutiku dari belakang…
            … seorang Nyenye. Dia lagi!

                                                                        ***
            
            “Sungguh, maafkan aku, Claire! Perkiraanku meleset. Harusnya jet itu jatuh tepat di depanmu, bukannya di kepalamu. Harusnya kau memegang ramuan itu, bukannya terlumuri seluruh tubuhmu. Maafkan aku, maafkan kami semua!” ujar Nyenye panjang lebar di saat kami semua – aku dan para tertuduh pelaku jet air – berkumpul di kamar kami. Aku sudah membersihkan tubuhku, tentu saja, aku bahkan tidak sanggup untuk merasakan campuran campuran itu ada di tubuhku. Rasanya seperti ada permen karet bekas orang lain yang tertempel di tubuhmu. UHHH!!!! Jangan bayangkan itu, Claire! Itu sangat menjijikkan! :s
            “Maafkan kami semua, Claire. Ini tidak seperti yang kau kira. Kami tidak bermaksud untuk mengerjaimu atau apapun. Kami hanya bermaksud…” Becky yang sedari tadi bicara langsung menutup mulutnya. Dia menyembunyikan sesuatu lagi!
            “Bermaksud untuk apa?” tanyaku dengan nada rendah, hanya untuk memastikan bahwa kekesalan tidak harus dilampiaskan dengan nada yang tinggi. Nada rendah sudah cukup menjengkelkan untukku.
            Tak ada yang menjawab.
            “Berarti kalian telah jahat kepadaku karena telah melemparkanku jet yang menjijikkan itu tanpa alasan apapun. Apa yang perlu dibuktikan apabila kalian tidak mau mengaku kepadaku? Apakah aku harus menyelidiki kasus ini? Apakah aku perlu memanggil CSI? Apakah aku perlu…” ujarku panjang lebar hingga akhirnya Maureen angkat bicara.
            “Cukup, Claire. Kami akan menjelaskannya,” katanya. Aku menyuruhnya untuk berbicara dan Maureen berkata, “Encun, sana jelaskan!” Ternyata Maureen tidak cukup berani untuk menjelaskan hal ini. Memang seberapa berbahaya hal ini untuk dijelaskan, sih hingga tak ada seorangpun yang mau menjawab pertanyaanku?
            “Hey! Mengapa aku yang menjelaskan? Kau sendiri yang bilang akan menjelaskannya, Reen!” Encun tidak terima.
            “Sudah-sudah. Biar aku yang jelaskan. Begitu saja mengapa harus ribut, sih?” kata Becky, yang tiba-tiba jadi bijak.
            “Sebenarnya kami hanya ingin membantumu dan…”

            Knock... knock..

            Katanya terputus oleh seseorang yang tiba-tiba mengetuk pintu kamar kami. Siapa lagi yang ingin membuat keributan disini, sih?
            Terbukalah pintu kamar kami dan seorang anak laki-laki yang usianya kira-kira sama dengan kami masuk begitu saja. Singkat saja, Loiz VanHouten.
            “Claire, ada surat untukmu,” katanya sambil melihat ke seluruh penjuru kamar. Mungkin dia kebingungan melihat kami semua berada di kamar ini, termasuk dua manusia laki-laki yang bukan penghuni kamar ini.
            Loiz menyerahkan surat itu kepadaku dan aku segera membukanya.

            To : Millan, Claire (Ms.)
                  International Academy Boarding School, Australia
            From : Julliard Junior Music School

            Aku langsung terkejut melihat surat itu. Jangan kau bilang…
            “Mr. Aaron mengatakan bahwa kau harus segera membukanya dan memberitahu beliau bagaimana keputusanmu,” ujar Loiz lagi, canggung, “oke, aku harus pergi dan mengantarkan surat-surat lainnya!” lanjutnya. Oh iya, Loiz sekarang mengambil part-time job nya di IAB untuk menjadi pengantar surat. Entah mengapa dia melakukannya, mungkin untuk mengisi waktu luangnya dan berkenalan dengan teman-teman lain terutama karena Nyenye tidak ingin berteman dengannya. Mungkin, lho!
            “Surat apa itu, Claire?” tanya Lotta yang langsung heboh menanggapi keberadaan surat itu. Tidak! Aku harus menyembunyikannya!
            “Bukan apa-apa. Hanya surat dari temanku di Manchester,” ujarku berbohong. Aku merasa bersalah, sih sebenarnya. Namun, bagaimana lagi? Aku belum bisa mengatakan tentang hal ini kepada mereka.
            “Tumben sekali mereka mengirimkanmu surat,” kata Jeanne tiba-tiba, “biasanya lewat email, bukan?” tanyanya meyakinkan.
            “Entahlah, aku belum mengecek yang satu ini tentang apa,” kataku. Kali ini aku jujur karena aku memang belum mengecek surat ini, “oke, jadi kembali ke permasalahan yang tadi. Sudah, aku sudah memaafkan kalian. Kalian boleh pergi, kalian bebas dari hukumanku,” kataku sambil terburu-buru, untuk menyembunyikan keberadaan surat ini dari mereka.
            Mereka semua tampak kebingungan.           
            “Tapi, Claire.. sebenarnya, aku ingin…” kata Nyenye sebelum kuputus dan menyuruh mereka semua untuk pergi dari kamar ini (walaupun kamar ini juga milik mereka kecuali Nyenye dan Gareth tentunya).
            Mereka semua akhirnya keluar dengan lega, kelihatannya, sih. Kecuali satu, manusia yang paling menyebalkan dan paling galau sedunia, Nyenye. Nyenye adalah orang yang keluar terakhir. Nyenye sepertinya memang ingin mengatakan sesuatu kepadaku, namun aku langsung menyuruhnya keluar begitu saja sebelum dia mengatakan alasannya tadi.
            “Claire, apakah isi surat itu?” tanya Nyenye kemudian sambil memandang surat yang sedari tadi kubawa.
            “Bukan apa-apa, seperti yang kubilang tadi, hanya surat dari temanku dari Manchester,” jawabku dengan harapan supaya Ia cepat pergi dari sini.
            “Oh..” ujarnya, “dari temanmu yang mana, Ashton? Paul? Jeremiah?” tanyanya lagi. Sungguh, andai aku bisa, aku ingin menendangnya jauh supaya dia bisa lekas pergi dari sini.
            “NYENYE PERGILAAAAAHH kau tidak perlu tahu tentang hal ini,”  ujarku kemudian. Nyenye sepertinya masih bersikeras untuk berada disana.
            “Aku tidak akan pergi jika itu mengenai kepindahanmu ke Inggris,” ujarnya kemudian, namun Ia justru pergi meninggalkan kamarku.

                                                            ***

            “Jadi bagaimana, Claire? Kau menerimanya?” tanya Mrs. Sam di sela-sela latihan sepakbola hari ini.
            “Benar, Pelatih. Saya telah mendiskusikan hal itu kepada Mr. Aaron dan orang tua saya,” jawabku kemudian. Aku yakin, aku bisa melihat sedikit rasa kecewa pada dirinya, namun Mrs. Sam tetap tersenyum kepadaku.
            “Tentu kami akan sangat kehilangan kau, Claire. Kau adalah kapten yang hebat, walaupun memang pada akhirnya harus ada yang menggantikanmu namun tentu akan ada sesuatu yang hilang dari tim kita, bukan?” ujar beliau lagi.
            Aku hanya tersenyum kecil, “Terima kasih, Pelatih karena telah mempercayai saya selama ini. Ini sungguh pengalaman yang luar biasa,” kataku.
            “Kapan kau akan pergi?” tanyanya.
            “Sabtu minggu depan, pelatih.”
            “Paling tidak kau bisa meluangkan waktumu untuk mengikuti pertandingan terakhirmu Jumat depan,” ujar Mrs. Sam.
            “Tentu, Pelatih!” ujarku bersemangat.

                                                                        ***
            
            Kelas terakhir hari ini adalah Sejarah. Beruntungnya, kami mendapatkan satu kelas kosong sebelum kelas terakhir. Aku menuju ke perpustakaan IAB seperti yang biasa aku lakukan apabila ada pelajaran kosong, sendiri – seperti yang kulakukan akhir-akhir ini. Biasanya aku mengajak Becky atau Encun untuk ke perpustakaan untuk pergi ke perpustakaan, namun sepertinya mereka berdua sedang merencanakan sesuatu lainnya untuk sekarang.
             Bukan apa-apa, namun aku selalu merasa bahwa apapun yang mereka lakukan tanpaku akhir-akhir ini adalah berhubungan dengan aku dan Nyenye. Aku hanya merasa bahwa ada sesuatu yang salah antara aku dan Nyenye akhir-akhir ini. Perihal aku memarahinya saat selesai pertandingan melawan Silverwood itu, mungkin aku memang agak berlebihan. Namun siapa, sih yang ingin melihat kawannya yang biasanya bermain dengan baik mendadak turun performanya?
            Aku duduk di salah satu meja yang tersedia dan membaca novel John Green yang telah kuambil sebelumnya, Looking For Alaska. Beberapa minggu ini, aku selalu membaca novel ini, namun tak kunjung selesai juga, 62 bab tentu tak bisa kuselesaikan hanya dalam sehari, bukan? Rencananya, aku akan menyelesaikan buku itu hari ini. Aku tidak bisa membayangkan untuk meninggalkan tempat ini, tempat yang sering menjadi tempat penenangku, bahkan ketika aku mengalami banyak masalah. 
            “Hai, Claire!” tiba-tiba seseorang memanggilku dan duduk di sampingku.
            “Oh, hai, Pierre!” ujarku terkejut, “kenapa kau bisa ada di tempat ini? Tak biasanya kau berada disini!” tanyaku kepadanya.
            “Memang tak biasa, seperti yang kau lihat, sepertinya ini pertama kalinya aku pergi ke perpustakaan ini,” ujarnya sambil melihat keadaan perpustakaan.
            “Kalau begitu, selamat datang di perpustakaan IAB!” ujarku sambil sedikit tertawa.
            Dia membalas tertawa, “Cukup ironis untuk mengetahui bahwa kau memberikan ucapan selamat datang disaat kau akan meninggalkan tempat ini, bukan?” tanyanya.
            Aku terkejut, sangat heran. Bagaimana bisa dia menanyakan hal seperti itu?
            “Apa maksudmu, Pierre?”
            “Aku mengerti semuanya, Claire. Rencana kepindahanmu, permainan terakhirmu, pembicaraanmu dengan Mrs. Sam, aku tahu itu semua,” kata Pierre.
            “Bagaimana kau bisa mengetahui tentang semua itu? Aku bahkan tak memberitahukan hal itu kepada siapapun kecuali orang tua, teman-temanku di Inggris, serta guru-guru IAB,” kataku. Pierre hanya menatapku sambil meyakinkan kembali ucapanku, aku berusaha untuk mencerna maksudnya.
            “Tidak! Apakah kau mengetahui hal itu dari guru-guru IAB?” ujarku padanya pelan, mengingat aku sedang berada di perpustakaan.
            “Aku menguping pembicaraanmu dengan Mrs. Sam kemarin, Claire. Maafkan aku, aku tidak bermaksud pada awalnya namun aku tidak sengaja mendengarnya dan.. ya, kau tahu, kan?” jelasnya.
            Aku berpikir sejenak, aku sedikit terkejut karena Pierre dapat mengetahuinya. Aku sedang berusaha menyusun rencana untuk itu.
            “Dengar, Claire, aku kesini bukan tanpa tujuan. Aku hanya memintamu untuk melakukan sesuatu,” kata Pierre.
            “Bagaimana maksudmu? Aku bahkan tidak bisa menjamin bahwa kau tidak akan memberitahukan hal ini kepada siapa-siapa,” ujarku.
            “Memang, mengapa kau menyembunyikan hal itu? Kenapa kau tidak berterus terang saja kepada mereka dan mungkin mereka bisa merencanakan pesta perpisahan yang cukup bagus untukmu sebelum kau berangkat ke Inggris,” jelasnya panjang lebar.
            “Aku hanya tidak bisa, Pierre. Kau tidak mengerti perasaan mereka. Mungkin jika aku memberitahu mereka bahwa aku akan pindah mereka akan tidak fokus terhadap pelajaran, Nyenye akan sangat sedih lagi dan melupakan pertandingan, serta mereka mungkin akan menahanku untuk pindah. Kau tahu betapa hal ini sangat berarti untukku, kan?” kataku panjang lebar.
            Pierre menarik napas dalam-dalam, dia berusaha untuk menenangkan pikiranku.
            “Bukannya sahabat adalah orang yang selalu mendukung setiap keputusan baik yang kau lakukan? Mereka tentu tidak akan membiarkan ego mereka untuk menahanmu, Claire. Kau bisa memberitahu mereka dengan cara yang baik, lalu bisa memberikan mereka kenang-kenangan, bahkan kau tidak akan melalui hari terakhirmu di IAB dengan penuh kesedihan dan kekecewaan dari mereka, bukan?” ujarnya.
            Aku hanya diam saja dan memikirkan apa yang Pierre katakan padaku tadi.
            “Bukannya bermaksud untuk menggurui. Aku berhutang banyak hal kepadamu, kau yang membuatku masuk menjadi anggota tim sepakbola sekolah kita. Bahkan kita memenangkannya. Sekarang giliranku untuk membantumu. Satu-satunya cara adalah dengan memberikanmu saran yang baik,” katanya.
            Pierre memang salah satu anak yang paling bijak yang pernah kukenal. Dia selalu memberikan saran yang baik dan juga menginspirasi kami semua. Mungkin kini saatnya aku untuk mempertimbangkan sarannya.
            “Aku mendengarkan,” jelasku sambil tersenyum.
            Pierre membalas senyumku dan berkata, “Menurutku, sebaiknya kau memberitahu mereka sebelum kau pergi, supaya kepergianmu tidak terkesan misterius. Aku yakin mereka akan menerima apapun keputusanmu, walaupun akhirnya semua harus dilalui dengan perpisahan, namun perpisahan lebih baik dilalui dengan penuh kebenaran dan tak ada hal yang disembunyikan, bukan?” ujarnya memberi saran kepadaku.
            Aku mempertimbangkan setiap kata yang Pierre katakan, mungkin dia benar. Aku tentu tidak ingin hari-hari terakhirku di IAB diliputi dengan banyak hal yang kututup-tutupi. Pierre benar.
            Aku mengangguk, “Kau benar, Pierre. Seharusnya aku mengatakan yang sebenarnya saja. Lalu, kau punya rencana apa yang tadi kau memintaku untuk melakukannya?” tanyaku.
            Pierre tersenyum, “Aku akan berhutang banyak kepadamu jika kau mau melakukannya.” Ia lalu memberitahuku tentang rencananya.

            Aku mengerti, aku harus melakukannya! 

To Be Continued

***

Yeah, that's the 1st part. I hope you guys like it and please wait for the 2nd one, okay?
THANK YAAA A LOTTTT <3 

Comments

Popular posts from this blog

A Thing About Yogyakarta, 2024

Elixir: [Track 6] Used to Me

Elixir : [Track 5] Yesterday Once More