Nyenye : [Chapter 10 (Pt. 2)] The Unsaid Thing
Helloooooooooo!!!!
Finally, I've done the 2nd part of Nyenye's 10 Chapter. I know it's already night now but yap I really wanna post it right now :D
As the previous part, this part also made by me :3
Okay, so check it out!!!!
***
[The previous part -> Chapter 10 (Pt.1) - The Unsaid Thing]
Chapter 10 - Part 2
The Unsaid Thing
*Claire Millan's Point of View*
Finally, I've done the 2nd part of Nyenye's 10 Chapter. I know it's already night now but yap I really wanna post it right now :D
As the previous part, this part also made by me :3
Okay, so check it out!!!!
***
[The previous part -> Chapter 10 (Pt.1) - The Unsaid Thing]
Chapter 10 - Part 2
The Unsaid Thing
*Claire Millan's Point of View*
Pagi itu hari Kamis, satu hari sebelum pertandingan
terakhirku sebagai murid IAB, serta dua hari sebelum kepergianku ke Manchester.
Kami sedang berada di kantin. Tidak akan ada kelas setelah istirahat nanti.
Semua murid kelas 9.3 selalu duduk di meja yang sama, meja yang paling lebar
yang terletak di tengah-tengah kantin.
Semua
yang berada di meja itu masih sibuk dengan makanannya masing-masing. Maureen
masih saja sibuk memfoto makanan siang kali ini, sedangkan Lindsay, sepertinya
ia sibuk membaca buku Matematika mengingat akan ada kelas Matematika setelah
ini. Jeanne dan Gareth – seperti biasa – mereka sedang melakukan permainan aneh
berdua, yang membuat Nyenye menjadi merasa terkucilkan. Tapi memang kalau
diamat-amati, memang Gareth terlalu sibuk dengan Jeanne sehingga Nyenye sama
sekali tidak ia perhatikan.
Becky
dan Encun nampak sibuk mengatur formasi untuk tim cheerleadernya besok sambil
melahap soufflé yang mereka beli
tadi. Sedangkan Lotta, sepertinya dia sedang berusaha untuk memahami lelucon
yang dibuat Loiz, Pierre juga mendengarkan, namun sepertinya baik Lotta maupun
Pierre tidak mengerti bagian lucu dari lelucon Loiz itu.
Aku
sering berfikir apakah aku akan merindukan semua ini, semua tingkah konyol
teman-temanku ini dan semua kebiasaan-kebiasaan aneh ini? Kadang aku juga
bertanya-tanya apakah aku akan merasa kehilangan mereka disaat aku memutuskan
untuk pergi?
Terkadang,
aku sering membayangkan bagaimana aku pergi dan tidak bisa bertemu dengan
mereka lagi.
“Apakah
kalian pernah berfikir bagaimana jadinya hidup kalian setelah kita semua lulus
disini?” tanyaku tiba-tiba disaat mereka sedang melakukan aktivitas mereka.
Mereka sepertinya tampak terkejut atas pertanyaanku.
“Pernah,
satu kali. Setelah itu aku tidak bisa tidur semalaman karena membayangkan
hidupku tanpa kalian semua,” Maureen yang pertama menjawab, betul-betul
semangat, “itulah alasan mengapa aku tidak ingin memikirkan hal-hal tentang
perpisahan sekarang, karena aku tahu aku mungkin bisa terjaga sepanjang malam.”
“Mengapa,
sih tiba-tiba kau bertanya seperti itu, Claire? Tidak seperti biasanya kamu
jadi sosok yang melankolis seperti itu,” lanjut Becky.
“Hanya
membayangkan,” ujarku menjelaskan, sedikit gugup.
“Ayolah,
pasti kau punya alasan lain untuk menanyakan hal seperti itu!” kata Encun
menuduh. Aku diam untuk beberapa saat, lalu Encun berkata kembali, “Mungkin
suatu malam kau mimpi tentang kejadian aneh diantara kita atau ada hal yang
ingin kau sampaikan?”
Aku
masih terdiam, meskipun begitu Pierre melihatku dengan tatapan memaksa. Seperti
memaksaku untuk mengatakan hal yang sejujurnya. Ah, Pierre sungguh menyebalkan!
“Baiklah
kalau begitu, aku akan mengatakan yang sejujurnya,” kataku sebagai awalan, “aku
menanyakan hal ini karena aku akan meninggalkan kalian ke Manchester Sabtu
depan.”
Mereka
akhirnya terdiam juga. Semuanya memandang ke arahku dengan tatapan tidak
percaya.
“Ayolah,
kau pasti bercanda!” ujar Loiz tiba-tiba.
“Iya,
lagipula itu tidak lucu,” tanggap Lotta yang lalu sibuk melahap soufflĂ©nya.
“Tidak,
kali ini aku serius,” kataku dengan tatapan serius kepada mereka semua. Mereka
semua seperti tidak mengerti apa yang aku katakan tadi. Bagaimana mereka bisa
menganggap ini semua hanya lelucon semata?
“Kau
serius? Kau tidak main-main? Yang berarti kau akan meninggalkan kami semua?”
Encun lalu jadi heboh menanggapi. Kau terlambat, Cun.
“Kau
kira aku bercanda? Ayolah! Apa aku terlihat seperti seseorang yang sedang
bercanda?” kataku.
“Namun
kenapa kau tidak memberitahukan hal itu kepada kami?” tanya Maureen.
“Maafkan
aku, teman-teman. Aku hanya tidak ingin hal ini membuat kalian menjadi sedih
ataupun terganggu. Aku juga takut apabila kalian akan menghalangiku untuk
pergi. Maka dari itu aku belum memberitahukan kalian,” jelasku panjang lebar.
“Tentu
saja kami akan mendukung setiap keputusanmu, Claire. Kami doakan yang terbaik
untukmu disana,” kata Jeanne – seperti biasa – bijak.
“Terima
kasih, Jeanne.”
“Sungguh
aku tidak percaya kau akan pergi meninggalkan kami secepat ini ke Manchester,
Claire. Lagipula, hanya dalam beberapa bulan lagi kita akan lulus, mengapa
engkau tidak tinggal saja?” ujar Becky,
mencoba menghalang-halangiku.
“Becky,
jangan halangi, Claire. Claire pasti sudah tahu apa yang sudah menjadi
keputusannya,” kata Gareth ikut-ikutan Jeanne menjadi bijak.
“Kalian
tentu tahu bahwa hal ini sangat berarti untukku, aku ingin mengejar cita-citaku
sama seperti kalian ingin mengejar cita-cita kalian. Walaupun konsekuensinya
memang memberatkan hati, namun aku sudah berfikir untuk menerima tawaran itu
karena tawaran itu tidak datang dua kali. Sungguh, apabila keputusanku ini
mengecewakan kalian aku minta maaf,” jelasku panjang lebar.
Mereka
semua mendengarkan penjelasanku dan sepertinya mereka sudah memahami bahwa aku
memang harus pergi.
“Kami
akan sangat merindukanmu, Claire. Sungguh..” kata Lindsay yang sedari tadi
hanya diam saja.
“Tentu
saja aku akan merindukan kalian juga,” jawabku. Mereka satu persatu mengucapkan
salam perpisahan dan ucapan semoga berhasil untukku.
Kecuali
satu…
…
Nyenye.
***
Kelas
terakhir hari ini adalah Matematika. Rasanya menyenangkan untuk belajar dengan
Mr. Root, terutama ini adalah kelas terakhirku dengan beliau. Tidak seperti
biasanya, Mr. Root menjelaskan dengan lebih baik dan lebih menyenangkan
daripada biasanya. Beliau juga mengucapkan selamat kepadaku. I owe him lots of things!
Kami semua merapikan buku kami dan keluar dari kelas
Mr. Root yang lumayan lebar ini. Biasanya, aku menuju ke lokerku untuk menaruh
buku-bukuku, namun tidak kali ini, buku ini akan kumasukkan ke dalam kardus dan
akan dipaketkan ke Inggris Sabtu besok. Aku berjalan menuju ke asrama dan
bergegas untuk berganti baju. Hari ini adalah latihan terakhir kami – terutama
aku – untuk menghadapi Gold Coast Boarding School besok pagi.
Seusai
bersiap-siap, aku menuju ke lapangan IAB dan melihat bahwa beberapa temanku
telah sampai disana. Latihan masih dimulai setengah jam lagi dan aku dapat
melihat dengan jelas bahwa Nyenye sedang duduk di tengah lapangan, melamun.
“Sekarang
waktunya, Claire,” ujar Pierre yang tiba-tiba sudah berada di sampingku. Tentu
saja, dia juga mengikuti latihan hari ini.
Aku
berlari ke tengah lapangan dan menemui Nyenye. Tenang, hari ini aku tidak
bermaksud untuk membully Nyenye atau apalah melainkan aku ingin mengatakan
sesuatu kepadanya.
“Nye,
bangunlah!” ujarku. Nyenye melihat ke arahku dan menggeleng.
Aku
hanya terdiam, melihatnya sambil berkacak pinggang, menunggu kata-kata absurd
serta keluhan-keluhan yang akan ia sampaikan padaku sebentar lagi.
“Apa?”
tanya Nyenye padaku. Aku tetap diam, memberikan tatapan yang menjelaskan bahwa
ia harus mengatakan sesuatu padaku.
Awalnya
Nyenye terdiam untuk beberapa saat, hingga akhirnya, “Kenapa Claire? Kenapa?” Nyenye
memulai Prolog-nya. Aku masih diam saja, aku dapat menjamin setelah ini dia
akan mengucapkan ratusan kata puitis yang akan membuatku jengkel. Namun, sesuai
rencana, aku harus bertahan.
“Atas
semua yang kau lakukan kepadaku selama ini, kau memilih untuk kembali ke
Inggris? Membiarkanku terperangkap bersama orang-orang yang tidak menginginkan
keberadaanku dan membuatku tersiksa sepanjang tahun?
Aku
tidak akan memiliki orang yang bisa kuajak berbicara lagi, aku tidak akan
memiliki orang yang bisa kuajak bermain sepakbola lagi, aku tidak akan pernah
bisa menemukan orang lain yang bisa kuajak bekerja sama lagi. Kau mau
membiarkanku seperti itu?”
Aku
diam untuk beberapa saat, memastikan bahwa dia tidak akan melanjutkan kata
puitis dan absurdnya lagi. Ternyata, dia tak mengucapkan kata-kata sebanyak
yang kuperkirakan.
“Ya,
aku akan melakukannya,” jawabku singkat.
“Hah?
Apa maksudmu?” Nyenye tidak percaya.
“Dengar,
aku tahu ini memang sulit bagimu, namun aku meminta kau untuk melakukannya
karena aku adalah temanmu yang baik. Kau harus berjanji padaku untuk
melakukannya terutama setelah aku tidak bersekolah di IAB lagi,” ujarku.
“Apa
yang harus kulakukan?”
“Kau
hanya harus berdamai dengan semua masalah yang ada pada dirimu. Menurutku semua
masalah yang menimpamu disebabkan karena kau terlalu menutup dirimu dan
berpikiran sempit. Kau harusnya mau mendengarkan kata teman-teman untuk
mengubah sikapmu itu, Nye.
Kau
harus memaafkan dan lebih mengerti tentang keberadaan Gareth dan pacarnya, kau
harus menerima Loiz sebagai teman yang kenyataannya selalu ada untukmu namun
malah kau tolak, kau harus memaafkan Pierre dan meluruskan masalah yang
sebenarnya terjadi antara kau dan dia, dan kau harus mau menerima Teresa. Kau
harus membuka diri, Nye!” jelasku panjang sekali.
Nyenye
hanya diam saja untuk beberapa saat. Dia sepertinya sedang merenungkan apa yang
telah aku katakan. Sepertinya manjur!
“Kalau
aku melakukan hal itu, lalu apa yang akan kau lakukan?” tanyanya kemudian.
“Aku
tidak akan melupakanmu, orang alay yang selalu menganggu waktuku dengan
bercerita menggunakan kata puitis,” kataku kemudian.
Nyenye
tertawa, “Oke, aku terima tantanganmu. Tapi kau juga harus menepati janjimu!”
Aku
menambahkan, “Aku akan menambah janjiku, mungkin aku akan menemukan pacar baru
di Inggris sehingga kau tidak perlu repot-repot memikirkan keberadaanku. Kau
bisa lebih mengenal Teresa dan membuka hati padanya,” lalu aku tertawa kencang.
“Kau
bercanda, kan?” tanyanya sambil tertawa garing.
Aku
tertawa lebih kencang lagi, “Tidak, tidak. Aku benar-benar serius mengenai hal
itu!”
“Paling
tidak, jika kamu menemukan seorang cowok yang kau sukai, kau harus
mengabariku,” ujar Nyenye mencoba bercanda, namun sayangnya garing sekali.
“Tidak,
tidak akan!” kataku sambil tertawa, “omong-omong, aku punya satu permintaan
untukmu, Nye.”
“Apapun,”
katanya.
***
“Sudahkah
aku sampai?” tanyaku kepada Becky yang sedari tadi menutup mataku. Aku dapat
mendengar dengan jelas suara orang tertawa. Sepertinya aku sedang dibawa di
suatu ruangan yang tidak asing lagi, namun aku tidak terlalu yakin apa itu.
“Yap!!”
Becky akhirnya melepaskan tangannya dari mataku dan aku dapat melihat dengan
jelas bahwa aku sedang berada di auditorium IAB. Teman-teman yang aku kenal
sudah berada di sana, bahkan guru-guru yang akrab dengankupun juga berada di
sana.
“Selamat
datang di pesta perpisahan terbaik di dunia, Claire!” ujar Encun paling heboh.
Semua orang menggunakan pakaian layaknya menghadiri pesta prom. Sedangkan aku?
Aku masih memakai seragam bola yang tadi aku pakai saat pertandingan.
Ruang
auditorium yang biasanya sepi dan jarang ada penghuninya sekarang dihiasi oleh
berbagai macam perlengkapan yang kukira telah disiapkan oleh teman-temanku. Ada
panggung yang biasanya dipakai untuk pesta prom di sekolah namun telah di
pasang kali ini. Banyak makanan penutup yang disedikan di pinggir auditorium.
Ini semua sama seperti pesta prom yang biasanya diadakan di sekolah kami untuk
murid-murid kelas 9.
“Karena
kami tahu bahwa kau tidak akan merayakan pesta prom bersama kami, maka kami
memajukannya untukmu hari ini!” seru Lotta heboh sekali. Aku tersenyum lebar,
bahkan kehabisan kata-kata.
Mungkin
aku begitu spesial bagi mereka sampai-sampai mereka semua melakukan semua ini
untukku! Luar biasa! Mereka adalah teman-teman terbaik yang pernah ada! Lagu-lagu
diputar dengan tracklists favoritku! Mereka semua menari layaknya sedang dalam
pesta prom. Aku tertawa dan tidak percaya kepada apa yang sedang terjadi
disini, “Terima kasih banyak teman-teman. Terima kasih! Aku bahkan kehabisan
kata-kata!”
Mereka
semua menikmati acara yang telah disusun oleh teman-temanku ini. Tak hanya
anak-anak kelas 9.3, teman-teman klub sepakbolaku, teman-teman yang mengikuti
kelas musik bersamaku, serta semua anak yang mengenalku bahkan datang ke acara
ini. Sungguh, aku tidak dapat menggambarkan perasaan senang yang aku rasakan
sekarang!
“Nah
selanjutnya, Nyenye akan menyampaikan sesuatu kepada Claire!” ujar Becky
seperti pembawa acara pesta prom.
Nyenye
naik ke atas panggung dan mengetuk microphone 3 kali untuk memastikan bahwa pengeras
suara itu menyala. Aku memperhatikan dengan seksama tentang apa yang akan
dilakukan Nyenye. Jangan sampai Nyenye melakukan hal konyol yang akan
mempermalukan dirinya sendiri!
“Ehm..
jadi.. kali ini aku akan menyampaikan sesuatu kepada Claire. Sebelumnya selamat
untuk Claire karena telah berhasil mencapai salah satu impiannya, dan kita
semua berharap yang terbaik untuk Claire kedepannya. Jangan pernah lupakan kami
semua, ya, Claire!” sepertinya dia sedang menyampaikan prolognya.
“Jadi……”
Nyenye menggantungkan kata-katanya. Dia bahkan menghabiskan beberapa menit
untuk terdiam.
“Aku
hanya ingin teman-temanku ; Gareth, Loiz, dan Pierre untuk naik ke atas
panggung,” kata Nyenye kemudian. Aku memang sedikit kebingungan dengan apa yang
Nyenye lakukan. Gareth, Loiz, dan Pierre pun akhirnya naik ke atas panggung
dengan wajah kebingungan.
“Aku
hanya ingin menyampaikan bahwa aku meminta maaf kepada kalian atas segala
kekeras kepalaanku, sempitnya pikiranku, dan bahwa aku tidak ingin menerima
saran dari kalian semua.
Untuk
Gareth, mungkin seharusnya aku lebih memahami bahwa kau memang telah memiliki
pacar dan tidak bisa seluruh waktumu kau habiskan denganku lagi. Aku akan
berusaha untuk memahami keadaanmu itu.
Loiz,
aku tahu aku tidak pernah mau menerima kehadiranmu sebagai temanmu karena
alasan yang tidak terlalu jelas. Aku rasa kita bisa menjadi teman yang baik
mulai saat ini.
Dan
Pierre, aku tahu mungkin masalah yang lalu itu membuatku benar-benar tidak
menyukaimu. Aku tahu aku terlalu egois tentang hal ini, dan aku harap kau mau
memaafkanku,” kata Nyenye panjang lebar.
“Dan
yang terakhir, terima kasih untuk Claire yang selalu mau mendengarkan ceritaku
disaat aku kesusahan, aku tahu kau tidak menyukaiku atau apapun itu, namun aku
berterima kasih kepadamu karena kau mau memperingatkanku tentang hal ini. Aku
sungguh berhutang banyak kepadamu dan aku yakin kami semua akan merindukanmu,”
Nyenye berkata panjang lebar.
Aku
tersenyum kepadanya. Pesta perpisahan terbaik yang pernah ada!
***
Ashton
dan kedua orang tuaku telah menungguku di Manchester Airport, bandara yang ada
di Manchester. Ashton adalah temanku sejak kecil dulu, rasanya sudah lama
sekali tidak bertemu dengannya, terakhir kali sepertinya saat libur natal
kemarin, begitu juga dengan kedua orang tuaku. Aku merindukan mereka semua,
mereka memelukku dan berkata, “Welcome
home, Claire!”
“Mari
kita pulang, Claire! Ibu sudah memasakkan kalkun panggang yang lezat untuk
menyambut kedatanganmu!” ujar Ibuku semangat. Sungguh! Aku sangat merindukan
ayah dan ibuku!
Ayah yang menyetir kali ini. Suasana di mobil kali inipun jauh lebih ramai dari biasanya. Aku bercerita banyak tentang kehidupanku di IAB, tentang semua teman-temanku, kemenangan saat pertandingan terakhirku melawan Gold Coast Boarding School, dan semua hal-hal gila yang kualami. Mereka semua nampak sangat merindukanku – sama seperti aku merindukan mereka.
Ayah yang menyetir kali ini. Suasana di mobil kali inipun jauh lebih ramai dari biasanya. Aku bercerita banyak tentang kehidupanku di IAB, tentang semua teman-temanku, kemenangan saat pertandingan terakhirku melawan Gold Coast Boarding School, dan semua hal-hal gila yang kualami. Mereka semua nampak sangat merindukanku – sama seperti aku merindukan mereka.
“We’ve missed you, Claire! So glad that you
come back!” Ashton berkata kepadaku saat kami sampai di rumah. Ashton
adalah teman terbaik yang pernah ada. Sekarang dia sudah bertumbuh besar dan
tinggi sekali! Aku yakin pasti banyak cewek yang menaksirnya.
“I’ve missed you too!” ujarku. Aku
bercerita banyak kepada Ashton hari itu. Aku juga menunjukkan foto-fotoku dan
semua hal yang telah kualami. Nyenye, Becky, Lotta, Encun, Maureen, Lindsay,
Jeanne, Gareth, Pierre, Loiz, mereka adalah teman-teman yang sangat baik.
“They gave me this,” aku menunjukkan scrap book yang teman-temanku berikan
kepadaku sebelum aku berangkat ke Manchester kemarin. Teman-temanku membuat scrap book yang sangat keren untukku.
Mereka memasang foto mereka, fotoku, dan memberikan caption yang membuatku sedih saat mengingatnya.
“They look so cool!” komentar Ashton
sambil melihat-lihat scrap book tersebut.
“I’ve already missed them,” kataku kemudian.
Torn in two
And I know I shouldn’t tell you
But I just can’t stop thinking of you
Wherever you are
***
Okay, that's the 10th chapter. Hope y'all like it, okay? :D
THANK YOU FOR READING GUYS! Love ya guys so much! :)
Comments
Post a Comment