Nyenye : An Epilogue

Hello guys!! Hello Nyenye lovers!!!

It's been a really long journey for our chaptered story called Nyenye. And also, we know that it took a really long time for us (well to be honest it's not us but Sekar lol😂) to write the epilogue. Honestly, the reason why we didn't continue the story for a long time is 1) Our school are separated so we can't meet and discuss that kinda thing, 2) Have no idea, 3) Have no willingness to continue😂

Well I honestly dunno what should I say anymore because THIS IS THE 2ND ANNIVERSARY OF NYENYE 🎉🎉 And that's why, on this day, we - the authors (or shortly Sekar😂) decided to release the really last chapter / the epilogue of Nyenye.

I know you won't read this if I were you Imma go to the story and not read this unimportant message lol.

Check this out!💕

***

Author : Maria Sekar

*Carlotta deQuez’s Point of View*

Matahari sudah agak tinggi ketika sinarnya yang menyilaukan memasuki kamarku dan membuatku terbangun. Ketika pertama kali membuka mata, aku sedikit bingung melihat kamar yang kukenal namun terasa asing ini: queen sized bed mewah dengan selimut tebal yang nyaman dan kelambu tipis keperakan, tembok kokoh berlapis kertas dinding kuning gading yang manis, sofa beludru merah marun, sebuah lemari kayu mahal di sudut kamar, dan aroma apel segar yang memenuhi ruangan.

Sesaat aku lupa ini tempat apa, dan aku heran mengapa bukan kamar tersayangku atau ruangan di klinikku yang nyaman yang kulihat ketika aku bangun. Kukira aku menginap di sebuah hotel bintang lima, atau ibu seorang pasien anak yang sangat kaya dan khawatir menyuruhku menginap di rumahnya agar aku bisa memantau anaknya yang sakit selama 24 jam (Percayalah, aku benar-benar pernah mengalaminya. Memang pasien di klinik khusus anak yang kudirikan bersama beberapa rekanku kadang-kadang punya orangtua yang mudah sekali khawatir. Tak jarang aku dan rekan-rekanku diminta untuk menginap di rumah mereka untuk merawat anaknya). Tapi kemudian saat aku mematikan alarm ponselku (yang ternyata sudah berbunyi sejak dua jam yang lalu!) di meja di samping tempat tidur, aku menemukan selembar saputangan dan sebuah handuk untuk tamu, keduanya dibordir dengan benang keemasan membentuk tulisan ‘Shue’.

Aku tertawa. Aku ingat sekarang! Ini mansion Becky di Belanda! Kemarin aku tiba di tempat ini dan langsung tidur karena letih setelah menempuh perjalanan panjang dari Spanyol. Tapi sekarang aku tidak boleh capek dan mengantuk karena hari ini adalah hari terakhir Nyenye melajang – hari ini adalah pesta bujangnya!

***

*Becky Shue’s Point of View*

Aku mengetuk pintu Lotta dengan sedikit tidak sabar. “Lotta!” seruku dari luar kamarnya. “Ini sudah hampir jam sebelas! Kau mau tidur sampai kapan!?”

Sebuah suara mengantuk menyahut dari dalam, “Acaranya masih jam empat nanti, kan. Santailah sedikit, Nona Shue. Aku baru saja bangun, setengah jam lagi aku akan siap.”

“Acaranya memang masih jam empat nanti, tapi apa kau tidak akan menjemput Alejandro? Dua jam lalu tunanganmu itu meneleponku, dia bilang ponselmu tidak bisa dihubungi. Tadi katanya dia di bandara, sudah mau berangkat. Berarti sebentar lagi sampai di sini, kan?”

“ASTAGA BECKY, KENAPA TIDAK BILANG DARI TADI?!” Lotta berseru panik campur bersemangat. Tak lama kemudian terdengar serentetan suara berisik – kalau suaranya sampai seperti itu, biasanya Lotta baru berjuang keras untuk siap dalam lima menit.

Padahal aku sudah mengetuk-ngetuk pintunya setiap sepuluh menit sekali sejak pukul delapan tadi, dan Lotta mengeluh karena tidak kubangunkan? Aku menghela napas geli. Keributan semacam ini sungguh khas Lotta. Dia sama sekali tak berubah sejak kami sekolah bersama-sama di IAB, walaupun itu sudah lima belas tahun yang lalu. Sekarang kami sudah menjalani kehidupan dewasa kami masing-masing, dan dia tetap tidak berubah..

Lamunanku terbuyarkan oleh ponselku yang berdering keras. Di layar terlihat nama sang penelepon: Samantha. “Becky! Apakah kau sudah selesai memilihkan kalung dan tiara yang cocok untuk gaunku?”

“Tenang saja Sam, semuanya sudah beres. Nanti jam dua belas semua keperluanmu akan diantarkan Peter. Kau tahu, aku juga sudah melakukanfinishing untuk sepatumu dan menambah tinggi bagian tumit–“

“ASYIK! Kau hebat, Becky! Kau memang desainer terbaik di seluruh Eropa! Terima kasih banyak!” Sam membuat suara kecupan dan menutup teleponnya.

Aku hanya bisa tersenyum menerima telepon dari sahabat sekaligus modelku yang sangat antusias ini. Maklum, besok dia akan menikah. Bisakah kau tebak, siapa calon suaminya?

***

*Munaroh Encunwati van Houten (Munaroh Encunwati)’s Point of View*

Becky baru saja memasukkan ponselnya ke dalam saku. Bagus, kini saatnya kami beraksi. Aku memberi kode pada Loiz, yang bersembunyi dua pilar jauhnya dariku, dan kami pun berjalan sepelan mungkin mengejar Becky. Untung sekali seluruh koridor di mansion ini dilapisi karpet seperti di studio musik, sehingga suara langkah kaki kami teredam.

Aku dan Loiz berjalan dalam diam sampai kami berhasil cukup dekat dengan Becky. Eh, kenapa tiba-tiba Becky berhenti berjalan?

“Aku sudah tahu kalian ada di belakangku, Tuan dan Nyonya Van Houten,” katanya sambil berbalik. Ekspresinya datar. “Setiap kali aku tidak sedang mengurus gaun pengantin Sam, pesta Nyenye, atau tamu-tamuku, kalian berdua pasti mendatangiku dan menawarkan jasa biro jodoh itu. Bukannya aku tidak mau, tapi jangan sekarang, deh. Kita punya acara besar untuk diurus.”

“Memang,” kata Loiz. “Pernikahan Nyenye memang sangat penting. Ah, semua pernikahan memang penting. Tapi, Becky, sampai sekarang kau bahkan belum punya calon suami untuk dinikahi! Jadi bagaimana bisa kita menyelenggarakan pernikahan juga untukmu?”

“Aku memang belum–“

“Belum bertemu orang yang tepat?” aku menyambar kalimat Becky, menjadikannya senjata untuk mempromosikan biro jodoh kami. Aku dan Loiz memang sudah beberapa tahun ini menjalankan biro jodoh ini bersama, bahkan sebelum kami menikah. Loiz meninggalkan mimpinya untuk menjadi komedian, karena ternyata dia lebih tertarik berbisnis. Aku sendiri tetap mengambil pendidikan teknik arsitektur, dan sekarang menjadi arsitek lepas dengan waktu kerja yang sangat, sangat fleksibel sehingga aku tidak akan terbebani dengan membantu suamiku mengurus biro jodoh kami. Lagipula, aku juga bisa mempromosikan biro jodoh kami pada klien-klienku, kan? Sambil menyelam minum air!

“Kalau itu masalahnya, biarkan kami membantumu!” aku menambahkan. ”Sudah ada ratusan laki-laki yang mendaftar ke tempat kami, dan kami sudah mendapatkan data kepribadian yang akurat dari hasil wawancara mereka. Siapa tahu ada yang cocok dengan selera dan karaktermu. Aku yakin, cara itu pasti berhasil. Ah, iya. Masih ada ini juga,” aku mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan keemasan. “Masih ingat ramuan cinta yang kita buat untuk membantu Nyenye dulu? Nah, ini ramuan yang sama! Bisa kau pakai kalau misalnya cowok idamanmu nggak – eh, belum menyukaimu. Semua bahannya sesuai dengan resep asli dari nenekku, tidak seperti punya kita dulu, dan aku menambahkan sedikit madu biar lebih enak. Tapi kalau dia tidak suka madu, masih ada tiga rasa lain kok. Ada apel, vanilla, dan stroberi. Bilang saja ini jus, atau sirup, jadi dia mau minum.”

Becky melongo. Di wajahnya muncul ekspresi aneh seperti sedang menahan keinginan untuk ke toilet. Apa mungkin itu campuran heran, bingung, dan keinginan tertawa ya?

***

*Loiz van Houten’s Point of View*

Saat Encun bicara, aku menatapnya dengan kagum. Kami memang sudah hampir setahun menikah, tapi hingga saat ini aku masih sulit percaya bahwa istriku ini adalah cewek yang selalu hadir di mimpi-mimpiku sejak lima belas tahun lalu.

Bisakah kau menyimpan rahasia? Umm, aku memang sudah naksir Encun sejak kami masih sekolah di IAB dulu. Iya, memang sudah sejak lima belas tahun lalu. Lebih malah. Tapi selama itu perasaanku masih terus bertahan, bahkan sampai sekarang. Cuma memang aku tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya, sekedar memberi kode samar pun aku tidak sanggup. Anggota cheerleader yang ceria, sahabat yang baik hati, dan murid yang rajin; dia cewek cantik yang mengagumkan, sedikit mengintimidasi buat anak introvert dan pendiam sepertiku. Tapi justru itu yang membuatku jatuh hati.

Kami bertemu lagi saat aku berkelana luntang-luntung di Belanda. Waktu itu Encun sedang iseng-iseng mencari bahan perasa untuk resep ramuan cintanya, sekalian berlibur di mansion Becky. Aku dulu memang tidak tahu apa-apa soal ramuan itu, jadi baru terpikir olehku saat itu bahwa itu bisa menjadi peluang bisnis yang oke: biro jodoh! Aku yakin dengan ramuan Encun kami bisa membantu banyak orang menemukan cinta sejatinya. Ramuan itu berhasil, kan, dengan Nyenye? Mungkin dia memang tidak berhasil mendapatkan Claire, tapi kalau dulu perasaannya berbalas mungkin Nyenye tidak akan bertemu dengan calon istrinya sekarang ini – jodohnya yang sesungguhnya.

Nyenye sendiri pernah bercerita padaku, bahwa dia tidak menyesal move on dari Claire. “Kalau aku dulu jadian dengan Claire, mungkin sampai lanjut ke tahap yang lebih tinggi, akan ada banyak hal yang terjadi,” begitu dia berkata saat kami – aku, Nyenye, Gareth, dan Pierre – mengobrol pada malam setelah pertunangannya tahun lalu. “Satu, Ashton akan patah hati. Itu sudah jelas. Dua, paling sedikit dua orang akan bersedih kalau ternyata hubungan kami harus berakhir: Claire dan aku. Tiga, jika hatiku terikat oleh Claire, aku tidak akan bisa membuka diri untuk mengenal orang-orang baru dan tidak akan mengenal Samantha, cewek jelmaan malaikat itu.” Nyenye diam sejenak, lalu berkata dengan pandangan menerawang, “Aku yakin semua hal terjadi karena suatu alasan yang baik. Kalau aku dijauhkan dari sesuatu, itu pasti karena sesuatu yang lebih baik sudah ditakdirkan untukku. Cuma mungkin belum ketemu saja. Dan aku yakin sekali, itu yang terjadi padaku saat Claire pergi.”

Aku tersenyum jika mengingat perkataan Nyenye. Mungkin, hal itu juga terjadi padaku. Kalau aku tetap gigih mengejar mimpi masa kecilku sebagai komedian, mungkin aku tidak akan pernah membuka biro jodoh dan mendapatkan Encun-ku.

Aih, apa yang kulakukan? Kenapa aku enak-enak melamun sementara Encun masih gigih merayu Becky? Tapi saat aku kembali fokus dan berusaha memahami apa saja yang telah terjadi, sepertinya semuanya sudah diselesaikan Encun dengan baik. Eh, mungkin tepatnya Becky-lah yang menyelesaikannya. Dia memegangi kedua tangan Encun yang terus bergerak sejak tadi. “Encun,” katanya serius, “terima kasih banyak sudah begitu peduli padaku. Tapi kita masih punya pernikahan besar yang harus diurus dua hari ini. Jadi, please, jangan sekarang. Mungkin lusa kita bisa ketemu untuk mengobrol tentang hal ini. Sekarang aku mau ke ruang makan dulu untuk mengecek Gareth dan yang lainnya. Yuk, kalian juga ikut. Sekalian nanti tolong bantu menyiapkan kembang api, ya.”

Aku melihat ke arah Encun. Dia cuma mengangkat bahu, lalu pergi mengikuti Becky. Oke, aku ikut juga. Kemanapun Encun pergi, di situ pula aku berada.

***

*Gareth White’s Point of View*

Tambahkan lengkungan kecil di sini.. Bagian itu dipotong sedikit.. Nah, akhirnya ukiran semangka ini selesai juga! Aku menghembuskan napas yang sudah kutahan sejak tadi dengan perasaan lega. Aku sama sekali tidak berani bernapas saat mengerjakan semangka itu, karena hasilnya harus sempurna. Kan ini untuk sahabat-sahabatku sendiri juga.

Aku baru saja menyimpan pisauku ketika Ashley menarik-narik celemekku dengan wajah memelas. “Papa, aku haus. Mau minum yang dingin-dingin,” rengeknya. Aku berjongkok sehingga wajahku sejajar dengan wajah bocah tiga tahun ini. “Papa punya susu cokelat di dalam kulkas buat Ashley dan Asher. Bilang Mama ya, nanti biar diambilkan Mama.”

Mata Ashley berbinar mendengar ‘susu cokelat’. Ashley berteriak senang dan memberiku pelukan kilat yang erat, lalu berlari ke Jeanne. “Mama! Papa bilang ada susu cokelat untuk aku dan Asher di kulkas,” serunya. “Mana Asher? Ayo kita ambil susu cokelatnya sekarang!”

Aku tertawa pelan saat menangkap pandangan istriku Jeanne yang berbinar jenaka, yang kemudian berbalik untuk mengantar Ashley. Kau tahu, karena Jean, aku jadi percaya bahwa love at first sight itu benar-benar ada. Karena itu yang terjadi padaku. Aku jatuh cinta pada wanita menawan itu sejak pertemuan pertama kami di IAB dulu, dan hingga kini, saat dia telah menjadi ibu dari dua anak kembarku, aku masih terus mencintainya dengan cinta yang sama.

Aku masih bisa menjelaskan lebih rinci lagi tentang Jean dan cintaku padanya yang tak pernah berubah, kalau saja Becky tidak menghampiriku. “Hei, Gareth! Apa kabar semangkamu itu?”

Aku memutar semangka itu sehingga bagian yang tadi kukerjakan kini menghadap Becky. Aku membuat gambar sepasang pengantin yang sedang berdansa, dikelilingi mawar-mawar kecil sebagai hiasan. “Ini keren!” seru Becky kagum. “Nanti ditaruh di tengah- tengah meja saja ya. Di sekelilingnya diberi mangkuk-mangkuk salad dan piring-piring saji untuk buah.”

“Aye-aye, Captain!” aku nyengir. Temanku yang satu ini memang cocok jadi event organizer. Selain mendesain baju-baju yang dipamerkan saat fashion show, Becky juga selalu mengurus segala keperluan acara itu dari awal sampai akhir. Jadi dia sudah terbiasa mengurus hal-hal begini.

Aku memindahkan semangka itu ke meja yang dimaksud Becky. Saat sedang mengatur letaknya agar pas di tengah meja, tiba-tiba Will yang membawa seloyang cupcake mendatangiku. “Ini mau ditaruh di mana, Sir?” Aku melihat ke sekelilingku, mencari meja yang sudah disiapkan Becky untuk makanan kecil. “Kalau kue begitu taruh di sana,” aku menunjuk meja yang dimaksud, “sekalian ditata di piring sajinya ya.” “Siap, Sir.” Will segera berangkat.

Will ini memang salah satu pegawai restoranku yang paling rajin, jadi dia kuikutkan dalam tim katering untuk seluruh rangkaian acara pernikahan Nyenye, termasuk untuk pesta bujangnya hari ini. Aku dan sahabat-sahabatku ini memang berusaha sebaik-baiknya untuk membantu Nyenye sesuai bidang kami masing-masing. Karena aku bergerak di bidang perhotelan dan restoran – aku punya hotel dengan restoran di Perancis – jadilah aku membawa pegawai-pegawaiku untuk membantu kateringnya. Walaupun punya tim, aku tetap membuat sendiri semuafruit carving yang ada – seperti semangka tadi. Selain memang spesialisasiku di restoran, aku ingin menjadikan buah-buahan indah itu hadiah untuk sahabatku tercinta Nyenye.

Nyenye memang suka membuat fruit carving juga, tapi ini kan pestanya; tidak mungkin dia yang membuatnya sendiri. Lagipula Nyenye nanti baru akan kembali sekitar jam satu, sekarang dia sedang mengurus persiapan terakhir untuk acara pernikahannya. Memang agak merepotkan – sangat merepotkan – tapi percayalah, menikah adalah salah satu hal paling menyenangkan yang bisa terjadi dalam hidupmu.

***

*Jeanne White (Jeanne LeBlanc)’s Point of View*

Saat aku kembali ke ruang makan dengan kedua anakku, aku mendapati Gareth sedang berdiri diam di sebelah meja dengan kening berkerut. Kalau sudah berpose begitu biasanya dia baru memikirkan sesuatu. Aku menonjok bahunya pelan, berusaha mengembalikannya ke dunia nyata. Gareth mengejap-ngejapkan kedua matanya dengan ekspresi absurd-nya yang biasa, lalu nyengir dan melangkah ke dapur untuk melanjutkan menyiapkan hidangan pesta.

Tiba-tiba terdengar Asher berseru, “Wow! Apa ini?” Aku segera berbalik dan mencari anak itu, sebab terakhir kalinya Asher berkata begitu dia menjatuhkan setumpuk gulungan kain milik Becky – dan aku tidak ingin kejadian semacam itu terjadi lagi. Kali ini Asher berdiri di depan panci besar berisi sup krim yang masih mengepul dan sudah akan memasukkan tangannya yang tidak sedang memegang gelas susu – kalau saja aku tidak cepat-cepat memberinya kue untuk mengalihkan perhatiannya.

Jadi ibu itu ternyata berat juga, apalagi kalau anak-anak masih harus selalu diawasi begini. Tapi inilah yang bisa kulakukan untuk membantu Gareth, Nyenye, dan yang lainnya karena profesiku tidak ada kaitannya dengan acara pernikahan begini. Aku ini seorang pengacara. Masih jadi junior associate di sebuah kantor advokat sih, tapi beberapa waktu lagi aku akan segera diangkat menjadiassociate. Ya, aku sedang berproses dalam menjalani karirku, tapi aku yakin sedang dalam perjalanan untuk ‘naik’.

Banyak di antara kami yang masih berproses juga. Nyenye sedang mengalami proses peralihan hidup, itu jelas. Pasangan Van Houten, berjuang untuk membuat biro jodoh mereka mendapat kepercayaan dari masyarakat internasional. Tunangan Lotta itu, Alejandro del Castillo, juga masih berproses. Dia sedang sibuk mengejar gelar PhD-nya dalam bidang genetika di Jerman. Itu sebabnya dia baru bisa datang siang ini.

Nah, ini dia orangnya. Lotta baru saja memasuki ruang makan dengan Alejandro, si ilmuwan berambut gelap dengan wajah yang menurut Lotta ‘bisa membuatmu percaya bahwa di dunia yang kacau ini masih ada harapan’. Alejandro memang tidak bersekolah di IAB dulu, tapi karena pesta ini untuk seluruh keluarga, jadi suami, istri, tunangan, dan anak-anak kami juga ikut. Lagipula kami semua sudah saling mengenal dengan sangat baik, jadi acara ini malah jadi semacam reuni bagi kami. Sekalian untuk perayaan pernikahan Nyenye juga, karena besok pasti puluhan wartawan yang meliput akan membuat suasana tidak nyaman untuk berpesta. Maklum, Sam model internasional dan Nyenye salah satu pemain tim nasional sepakbola Inggris yang terkenal.

“Haaaloooo!” Tiba-tiba Maureen berseru sambil berlari kecil memasuki ruang makan – heboh dan berkilau keemasan seperti biasa. “Aduh, maaf aku baru bisa ikut bergabung! Aku baru bangun, efek jetlag,” katanya seraya meringis. Di belakang Maureen, suaminya Armand Beauregard, mengikuti sambil menguap tertahan. Kacamatanya yang bergagang emas bertengger miring di atas hidungnya, serasi dengan kancing kemejanya yang juga berlapis emas. Aku meringis. Pasangan Maureen-Armand begitu cocok – mereka sama-sama selalu mengenakan setidaknya satu aksesoris emas. Maklum, keduanya sama-sama berasal dari keluarga berada. Maureen mewarisi perusahaan perikanan dari orangtuanya, sedangkan keluarga Beauregard juga mengelola sebuah tambang emas yang cukup besar di Afrika Selatan tempat Maureen sekarang tinggal bersama Armand dan putra mereka yang masih kecil.

Maureen, Armand… dua orang lagi sudah bergabung dengan kami di ruangan ini. Aku menghitung dengan cepat. Kurang Lindsay, Pierre, Claire, dan Nyenye, maka kami akan lengkap lagi. Sebentar lagi, saat semua orang sudah datang, pestanya pasti akan jadi seru. Seperti pesta-pesta kami saat di IAB dulu…

***

*Maureen Beauregard (Maureen McQueen)’s Point of View*

Saat aku pertama memasuki ruangan, yang pertama terlihat olehku adalah Jean yang sedang bersama si kembar Ashley dan Asher. Wajahnya tampak letih, sekali lihat saja aku sudah tahu bahwa dia butuh sedikit istirahat dari mengurus kedua anaknya itu. Jadi aku menghampirinya dan menepuk pundaknya pelan. “Pengasuh bayi yang kau telepon kemarin sudah datang, Mrs. White. Istirahatlah.”

Jean tersenyum sambil mengangguk, lalu keluar dari ruangan besar ini. Dia masih bisa mencuri tidur selama satu jam sebelum kembali mengawasi anak-anaknya nonstop. Lotta dan Alejandro tampak sedang berdiskusi seru dengan Armand sambil berjalan ke dapur; mungkin Armand sedang konsultasi tentang diet vegetariannya.

Aku berpaling pada Ashley dan Asher sambil tersenyum. Aku memang sering datang ke rumah Gareth sepupuku untuk membantu menjaga kedua anaknya kalau kebetulan berlibur di Perancis, apalagi waktu aku belum menikah dulu. Jadi kedua keponakanku sudah lumayan dekat dengan bibi mereka ini.

Aku masih mengobrol dengan Asher dan Ashley ketika ponselku berdering. Di layar muncul nama si penelepon: Ibu mertua. “Ah, Tante mengangkat telepon dulu, ya?” kataku pada dua keponakan kecilku yang mengangguk mengizinkan.

Aku berpaling dari mereka untuk mengangkat telepon. “Halo–“

“MAMA!” Suara Alvin terdengar dari ujung telepon. “Kangen!”

Bibirku otomatis melengkung membentuk senyuman ketika mendengar suara putraku itu. Aku dan Armand memang tidak mengajak Alvin ke Belanda karena dia masih terlalu kecil, kami takut dia akan lebih banyak merepotkan daripada membantu. Jadi kami meninggalkannya dengan orangtua Armand di rumah kami di Afrika Selatan.

“Halo, Sayang,” aku menjawab dengan suara khusus yang hanya kupakai saat berbicara dengannya. “Mama juga kangen Alvin. Kamu tidak nakal di sana, kan?”

“Tidaak. Alvin b-baik. Ne-nek baik. Kakek baaik. Mama Papa baik?”

Aku tertawa. Caranya berbicara sungguh lucu, Armand sering berkata bahwa Alvin punya logatnya sendiri. Anakku yang masih belajar bicara itu memang belum bisa menyebutkan satu kalimat utuh, dia baru belajar menyebutkan kata-kata.

“Iya Sayang, Mama Papa baik-baik di sini. Mama baru sama Ashley dan Asher–“

“Asher? Ashley? Mana?” Alvin memotong perkataanku dengan penuh semangat. Dia memang suka sekali mengobrol dengan kedua sepupunya. Kadang-kadang ketiga anak itu – Alvin, Asher, dan Ashley – memang ikut bergabung dalamvideocall-ku dengan Gareth dan Jean, tapi kami tidak keberatan. Mereka juga masih sepupu, kan?

“Sebentar, Mama panggil dulu…”

Aku berbalik dan menemukan keponakan kembarku itu sedang berjinjit untuk meraih fruit carving yang dibuat oleh ayah mereka. Aku cepat-cepat memanggil mereka dan memberikan ponselku sebelum jemari mereka berhasil menyentuh hasil karya Gareth. Aku menghela napas lega saat mereka menghilang bersama ponsel itu ke halaman belakang.

Krak! Krak! Tar!

Suara apa itu tadi? Asalnya dari halaman belakang! Aku berlari ke sana dengan panik, dalam hati berdoa semoga kedua keponakan kecilku itu tidak berulah dan membuat diri mereka sendiri dalam bahaya…

Aku sampai di sana bersamaan dengan Becky. Tak lama kemudian menyusul Pierre dengan rambut yang masih basah; sepertinya tadi dia habis melakukan ritual olahraga paginya lalu baru saja mandi. Kami bertiga saling bertukar tatapan kaget sambil mencari sumber suara yang membawa kami ke sini.

Ternyata Encun dan Loiz menumpahkan sedikit ramuan cinta mereka di atas sekotak kembang api kecil yang entah bagaimana malah menyala dalam kotaknya dan berlompatan keluar dari sana, menghanguskan sepetak halaman berumput yang sering kami pakai untuk main bola dan pesta barbeque. Asher dan Ashley menonton dengan ekspresi terkejut dari ujung halaman yang lain, sama sekali tak tersentuh kembang api.

“Aduh, maaf Becky!” sesal Encun. “Aku tidak tahu kenapa kembang apinya bisa meletup-letup begitu! Yang jelas ramuanku itu tidak mengandung bahan kimia apapun, semuanya persis dengan resep asli–“

“Kalem Cun, kalem,” Becky menenangkan. “Toh cuma sekotak kembang api yang tak sengaja kalian nyalakan, kita masih punya banyak.”

“Tapi mungkin kalian perlu melakukan riset ulang dengan ramuan kalian itu,” aku menambahkan sambil tertawa melihat Loiz heboh menghentak-hentakkan kaki untuk memadamkan sisa percikan api. “Jangan sampai ramuan itu menciptakan percikan api di dalam tubuh klien kalian!”

“Mungkin Lindsay bisa membantu riset kalian,” kata Pierre yang sedang membantu Encun membereskan serpihan-serpihan kotak kayu kembang api yang hancur. “Lindsay bilang dia butuh penelitian lain untuk mengisi waktu luangnya kalau sedang tidak ada pasien. Menurutnya, hidup tanpa meneliti apapun itu membosankan.” Kemudian Pierre tampak seperti baru saja mengingat sesuatu dan berpaling untuk bicara ke Becky. “Kurasa Lindsay pasti sudah sampai di bandara sekarang. Aku akan menjemputnya.” Dia memasukkan potongan kayu terakhir ke dalam kantong plastik yang dibawa Encun lalu beranjak pergi.

Loiz mengambil botol ramuan yang tumpah tadi dengan hati-hati, kini hanya berisi beberapa tetes ramuan. “Ayo kita amankan dulu botol-botol ramuan kita, Cun. Jangan sampai kita meledakkan seisi rumah Becky,” katanya dengan tatapan serius pada istrinya itu. Encun balas mengangguk dengan bersemangat, lalu mengikuti Loiz ke dalam.

Setelah yakin bahwa semuanya baik-baik saja, Ashley dan Asher yang dari tadi hanya menonton dari jauh kini berlari ke arahku. Becky masih berdiri di sampingku, mengamati lingkaran kehitaman kecil di tanah yang diciptakan ramuan Encun. “Untung dulu kita tidak menyuruh Claire minum ramuan itu,” Becky tertawa. “Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelahnya!”

Aku ikut tertawa. Kalau dulu Claire meminum ramuan itu, lalu cairan itu meledak di dalam perutnya… Mungkin Nyenye akan galau selamanya dan terus menghujani kami dengan keluhan-keluhannya yang mirip puisi itu. Mungkin saja Nyenye akan benar-benar bunuh diri karena merasa bersalah.

Kalau dipikir-pikir lagi, ternyata kami dulu konyol juga ya. Masalah sekecil itu saja diributkan sampai sebegitu rupa, ada berapa saja penelitian dan proyek yang kami buat untuk Nyenye… Tapi punya memori konyol seperti itu menyenangkan juga sih. Sekarang kami semua bisa tertawa bersama-sama saat mengingatnya kembali.

***

*Pierre de Angelo’s Point of View*

Aku menyetir mobilku perlahan sepanjang jalan menuju bandara, berusaha menikmati perjalananku dan beristirahat sejenak dari persiapan pernikahan Nyenye. Sebagai salah satu sahabat dan rekan kerja Nyenye yang paling dekat, beberapa minggu belakangan ini aku sibuk kesana-kemari membantu Nyenye mempersiapkan pernikahannya, apalagi Nyenye sudah memintaku menjadi best man-nya. Untung waktu pernikahan yang dipilih Nyenye adalah saat jeda pergantian musim Liga Inggris, jadi kami bisa agak santai mempersiapkan pernikahannya tanpa beban pekerjaan.

Semua sahabat kami dari IAB juga ikut membantu sesuai dengan bakat mereka masing-masing: Becky menyiapkan pakaian pengantin, Gareth dan Jean mengurus katering, Maureen menyiapkan photobooth, Claire mencarikan grup musik yang akan bermain di pesta, Encun menata tempat pesta, Loiz membantuku membuat pidato best man untuk dibacakan saat pesta pernikahan (karena Nyenye bilang pidatoku harus lucu), Lindsay memberi Nyenye beberapa perawatan untuk merapikan giginya, dan Lotta berjaga-jaga kalau sampai ada yang sakit (walau kami sama sekali tidak kepingin ada yang sakit – tapi lebih baik bersiap-siap untuk segala macam kemungkinan). Kami memang sudah sering mengadakan reuni, tapi dalam beberapa bulan terakhir ini kami jadi lebih sering bertemu untuk membantu Nyenye merencanakan pernikahannya. Maklum, di antara semua temanku yang sudah menikah, pernikahan Nyenye-lah yang bisa dibilang paling besar. Nyenye dan Sam sama-sama terkenal, sih.

Well, aku juga bisa dibilang cukup terkenal, karena aku seorang pemain bola yang sering muncul di layar televisi – walaupun memang tidak sesering Nyenye dan calon istrinya yang model itu. Tapi aku yakin besok pernikahanku tidak akan seheboh ini.

Aku menyeringai sendiri saat memikirkan pernikahanku, dan wajah Lindsay langsung muncul di benakku. Yep, kami memang sudah pacaran selama beberapa tahun. Kami baru menyadari perasaan kami masing-masing beberapa tahun setelah lulus dari IAB, dan aku agak menyesal karenanya. Kenapa setelah kami berjauhan baru kusadari bahwa aku naksir Lindsay? Tapi kami akhirnya berhasil menjalani long distance relationship dengan sukses, dan beberapa minggu yang lalu aku menanyai dokter gigi imut itu apakah dia mau mengubah namanya jadi Lindsay de Angelo. Aku masih ingat bagaimana pipinya memerah saat dia menjawab iya, manis sekali. Pertunangan kami sederhana sekali, hanya keluarga kami yang hadir. Bahkan teman-teman kami dari IAB juga belum ada yang tahu. Rencananya kami baru akan memberitahu mereka setelah semua kehebohan tentang pernikahan Nyenye ini mereda, supaya mereka bisa fokus membantu Nyenye dulu. Kami juga tidak akan buru-buru menikah, nanti saja kalau kami merasa waktunya sudah tepat. Just go with the flow.

Tiba-tiba saja mobilku sudah melaju memasuki tempat parkir bandara. Entah mengapa aku jadi lebih bersemangat; mungkinkah ini karena cinta? Karena rindu yang membara? Karena aku akan melihat Lindsay lagi? Padahal pertemuan terakhir kami baru minggu lalu, saat dia akan berangkat menghadiri seminar kedokteran gigi di Paris. Cinta itu memang aneh, ya. Sampai sekarang pun aku masih belum bisa mengerti cinta sepenuhnya, masih ada sisi misterius dari cinta yang asing bagiku.. Eh, kok aku mulai berpuisi seperti Nyenye, sih?!

***

*Lindsay Ong’s Point of View*

Aku menggengam gelas kertas berisi café au lait yang baru saja kubeli sambil berdiri di dekat gerbang kedatangan, menunggu Pierre yang akan menjemputku. Aku merasakan ada sesuatu yang keras terjepit antara jari manis tangan kiriku dengan gelas kopi, dan aku tersenyum saat menunduk dan melihat cincin pertunanganku melingkar di sana. Aku masih bisa mengingat saat itu dengan jelas: Pierre, dengan rambutnya yang masih dicat pirang dan wajahnya yang kecokelatan akibat latihan di bawah sinar matahari.. dengan polosnya langsung bertanya padaku apakah aku mau menerima nama belakangnya, de Angelo.. Cara melamar yang tidak biasa memang, tapi menurutku manis.

Aku mendongak dan melihat Pierre sedang berjalan ke arahku. Tangannya langsung meraih pegangan koper merah jambuku tanpa kuminta. Dia tersenyum dan berkata, “Langsung saja, yuk. Pesta Nyenye mulai sejam lagi.” Aku mengiyakan dan mengikutinya ke mobil.

“Oh iya, aku punya kabar bagus,” kata Pierre setelah mobil mulai berjalan. “Aku dapat bahan baru untuk penelitianmu. Ingat ramuan cinta Encun? Ternyata minuman itu bisa membakar kembang api. Aneh memang, tapi aku yakin kau pasti tertarik.”

Senyumku mengembang mendengar perkataan Pierre barusan. Tertarik? Tentu saja aku tertarik! Akhirnya ada hal yang bisa kulakukan selain mengobati gigi pasien. Aku sudah lama sekali tidak melakukan penelitian apapun karena sibuk kuliah, namun kini setelah menjadi dokter gigi betulan aku malah bosan karena itu-itu saja yang kulakukan setiap hari sehingga aku berniat untuk mulai meneliti lagi seperti saat di IAB dulu. Dulu aku produktif sekali, aku bahkan bisa menghasilkan dua penelitian dalam sebulan!

Bicara tentang IAB.. sebenarnya ada satu hal yang ingin kuteliti sebagai penelitian terakhirku sebelum aku meninggalkan IAB, tapi waktu dan kondisi tidak mendukung penelitianku itu. Di hari-hari terakhir kami, aku ingat kami mengatur sebuah kencan buta antara Nyenye dan Teresa. Nyenye tidak mengatakan apapun setelah kejadian itu, tapi Teresa menangis tersedu-sedu saking bahagianya. Aku jadi ingin meneliti apa yang terjadi di antara mereka berdua, apalagi setelah itu mereka selalu terlihat bersama-sama selama sisa hari kami di IAB. Tapi kami semua berpisah setelah hari terakhir, dan penelitianku itu terlupakan sudah. Yah, mungkin penelitian tentang ramuan Encun nanti akan lebih seru daripada penelitian tentang Nyenye-Teresa.

Mobil Pierre baru saja meluncur masuk ke halaman mansion Becky saat sebuah Porsche hitam menyusul di belakang kami. Aku masih hapal plat nomornya, itu mobil Nyenye. Dia keluar dari mobilnya bersamaan dengan Pierre dan aku. Nyenye tampak agak letih tapi luar biasa senang. “Nice flight, Lindsay?” dia bertanya padaku saat kami bersama-sama berjalan ke ruang makan setelah meletakkan koperku di kamar yang sudah disediakan Becky. “Pestanya akan langsung mulai setelah ini, tapi kalau kau capek istirahatlah dulu saja. Nanti sore baru menyusul.”

Aku mempertimbangkan saran Nyenye, tapi begitu aku masuk ke ruang makan dan melihat teman-teman lamaku – Claire, Becky, Encun, Maureen, Lotta, Jean, Loiz, Gareth – aku membatalkan niatku untuk tidur sebentar. Memangnya ada orang yang mau menyia-nyiakan waktunya untuk tidak bersama sahabat-sahabatnya? Aku sih tidak. Let the party begin!

***

*Claire Smith (Claire Millan)’s Point of View*

Ashton menarik sebuah kursi berlengan mendekat dan aku langsung duduk dengan penuh rasa syukur. Pesta bujang Nyenye memang baru berjalan selama dua jam, tapi aku sudah merasa sangat lelah. Kepalaku juga terasa berputar-putar walaupun aku sama sekali tidak menari. Aku memang cepat sekali lelah akhir-akhir ini. Tapi Lotta bilang itu wajar. Lelah dan pusing hanya efek samping dari kehamilanku, selain perasaan berat dan mual.

Ashton juga sudah mengetahui hal ini, tapi tetap saja dahinya berkerut saat menatapku. “Kau kelihatan pucat, Claire. Perlu kuambilkan obat?”

Aku meringis. Ashton memang selalu sangat perhatian, tapi kali ini dia tidak bisa membantuku. “Thanks, Ashton.. tapi tadi pagi aku baru ingat kalau aku meninggalkan kotak obatku di rumah. Di Manchester sana.”

“Kalau itu masalahnya, aku bisa minta resep obat lain ke Lotta.”

“Sudah kucoba tadi, tapi izin praktek Lotta hanya berlaku di Spanyol. Kita harus menunggu dokter keluarga Shue kalau mau minta resep obat. Sudahlah Ash, aku tidak apa-apa. Duduk sebentar saja pasti nanti aku akan segar kembali.”

Ashton masih terus menatap wajahku selama beberapa saat, seolah tak percaya dengan pernyataanku bahwa aku baik-baik saja. Tapi akhinya dia berkata, “Ya sudah. Kalau ada apa-apa langsung bilang padaku, ya.” Aku mengangguk, kemudian dia berbalik untuk mengobrol dengan Nyenye di depan meja dessert tak jauh dariku.

Lucu rasanya melihat Nyenye begitu akrab mengobrol dengan laki-laki yang dulu selalu membuatnya sedih. Dia memang tak pernah menunjukkannya di depanku, tapi Pierre pernah bilang kalau Nyenye masih sering meratapi cintanya yang bertepuk sebelah tangan diam-diam bahkan ketika dia sudah masuk di akademi sepakbola. Katanya, Nyenye mengeluhkan hubunganku dengan Ashton. Dia memang berusaha keras untuk move on dan membiarkanku mencari jodohku sendiri, tapi jauh dalam lubuk hatinya terdalam dia masih menyesali fakta bahwa aku tidak punya perasaan khusus terhadapnya.

Sebenarnya ada seseorang yang sejak dulu ingin mengobati luka di hati Nyenye walau tidak pernah digubris – Teresa. Setelah kencan buta yang direncanakan Lindsay, mereka memang jadi dekat selama beberapa hari sebelum akhir semester itu. Namun setelahnya, kami tak pernah mendengar apapun tentang Teresa dari Nyenye. Kami tidak tahu apakah mereka sempat pacaran atau tidak sebelum Nyenye bertemu dengan Sam. Tapi itu tidak masalah, toh sekarang Nyenye sudah punya Sam untuk mengisi lubang di hatinya.

Menurutku untung sekali Nyenye bisa bertemu dengan Sam. Sepertinya mereka memang ditakdirkan untuk saling menemani satu sama lain. Sam tak pernah terganggu kalau Nyenye mulai berpuisi, dan selalu bisa menyadarkan Nyenye kalau misalnya dia membuat keputusan yang aneh. Yah, namanya juga jodoh.

Kepalaku masih berputar-putar saat aku hendak berdiri, jadi aku mengurungkan niatku untuk bergabung dengan yang lain. Kuputuskan untuk mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan dan mengamati saja. Ruang makan Becky diatur persis sama seperti auditorium IAB saat prom kami dulu. Hanya saja, peran lampu-lampu warna-warni digantikan oleh sinar matahari sore yang masuk lewat jendela-jendela besar. Pierre baru saja bergabung dengan Ashton yang sedang tertawa pada lelucon Nyenye tentang Piala Dunia. Becky sedang memberi rekomendasi jenis kopi pada Lotta yang baru saja menguap tertahan, Alejandro tampak ikut mengingat-ingat perkataannya. Mungkin dia berjaga-jaga seandainya Lotta terlalu mengantuk untuk mendengarkan saran dari Becky, sehingga dia harus mengulangnya nanti. Maureen dan Armand sedang memanfaatkan sinar matahari sore untuk ber-selfie, seperti biasa. Encun, Loiz, dan Lindsay tenggelam dalam diskusi seru tentang rencana penelitian untuk ramuan cinta Encun yang bisa memicu ledakan; mereka terlalu sibuk berdiskusi sampai-sampai tidak memperhatikan Ashley yang berlarian di sela-sela kaki mereka. Kalau saja Gareth tidak menarik putrinya itu menjauh, mungkin salah satu dari mereka akan jatuh terjerembab. Anak Gareth yang satu lagi, Asher, sudah terkantuk-kantuk dalam gendongan Jean yang menatapnya sayang.

Aku tersenyum melihat ibu dan anak itu. Seperti itukah rasanya punya anak? Aku dan Ashton memang sudah senang sekali saat mengetahui bahwa tak lama lagi akan hadir seorang bayi di keluarga kami, tapi aku masih tak bisa membayangkan rasanya kalau bayi kami lahir nantinya. Maureen dan Jean sudah sering berbagi cerita tentang menjadi ibu, tapi tetap saja. Yah, pokoknya dijalani saja. Nanti mau bagaimana, biar Tuhan yang menentukan.

Hari sudah gelap saat pusingku hilang, dan aku akhirnya bisa bergabung dengan teman-temanku. Semua orang sudah selesai makan, dan sekarang kami berdiri bersama-sama di tengah ruangan untuk mendengarkan Nyenye yang baru saja mengetukkan sebuah sendok ke gelasnya untuk meminta perhatian kami.

“Jadi,” dia memulai, “karena semua sudah berkumpul di sini, aku ingin menyampaikan sesuatu untuk kalian. Aku mengucapkan terima kasih untuk kalian semua yang sudah hadir di tempat ini, terutama karena kalian semua sudah banyak sekali membantuku untuk mempersiapkan pernikahanku besok. Sekali lagi, terima kasih banyak.”

Nyenye berhenti sebentar untuk mengambil napas, lalu melanjutkan. “Hari ini adalah hari terakhir bagiku untuk mengenang masa laluku, untuk mengenang hidupku yang lama, sebelum aku membuka lembaran baru bersama Sam besok. Hari ini, aku ingin khususnya mengenang masa-masaku di IAB bersama kalian – tahun-tahun yang menurutku paling berharga dalam hidupku sejauh ini. Dua dari tiga tahun masa belajarku di sana kuhabiskan dengan bertindak bodoh, tapi kalian mau repot-repot membantuku meluruskan cara berpikirku. Kalau kalian dulu tidak membantuku, pasti hari ini aku masih akan tetap bersedih karena cintaku yang bertepuk sebelah tangan–“ sekilas kurasa pandangan Nyenye jatuh padaku “–dan tak akan pernah membuka hati untuk mengenal Sam, yang ternyata adalah cinta sejatiku. Aku bisa merayakan pesta bujangku hari ini karena kalian. Jadi, sekali lagi, terima kasih.”

Semuanya bertepuk tangan menyambut akhir pidato Nyenye, termasuk Armand, Ashton, dan Alejandro – mereka semua sudah tahu balada cinta Nyenye. (Tawa Ashton memang agak dipaksakan saat dia pertama mendengar cerita konyol itu, tapi sekarang sudah tidak apa-apa). Pierre memberi Nyenye tatapan aku-bangga-padamu-sobat lalu mengangkat gelasnya. “Mari kita semua bersulang untuk Nyenye!”

Kami semua mengikuti Pierre dan bersorak, “Untuk Nyenye!”

Nyenye tersenyum. “Terima kasih, teman-teman. Sekarang ayo kita nyalakan kembang apinya!”

Aku sudah akan mengikuti yang lain keluar ke halaman belakang saat seseorang memegang lenganku, menahanku pergi. Aku berbalik. Ternyata Nyenye.

“Claire,” dia berkata pelan. “Terima kasih. Karena telah mengajariku banyak hal di IAB dulu.”

Aku tersenyum. ”That’s what friends are for, Nye. Kita semua saling membantu satu sama lain.”

Nyenye tersenyum balik. “Aku tahu kau sudah menikah, Claire, tapi aku ingin kau mengetahui bahwa kau – dan Sam dan teman-teman IAB kita yang lain – adalah bagian terindah dari hidupku.”

“Kau juga akan selalu menjadi sahabatku, Nye. Ingatlah hal itu.”

Senyuman Nyenye melebar, dan tiba-tiba aku teringat Nyenye lima belas tahun lalu; yang keras kepala, yang kalau bicara seperti mengutip puisi karya pujangga terkenal, yang.. pernah menyukaiku secara khusus. Ah, takdir memang tidak bisa ditebak. Siapa sangka Nyenye yang dulu naksir kapten tim sepakbola putri bisa berjodoh dengan model internasional? Hidup memang aneh kadang-kadang.

***

*Nyenye’s Point of View*

Hanya tiga kalimat.

Tiga kalimat yang akan mengikatku selamanya.

Tiga kalimat untuk mengakhiri hidup lamaku, sekaligus untuk memulai hidup yang baru bersama wanita yang paling kucintai.

Sam sudah selesai mengucapkan janjinya, dan sebuah cincin sudah melingkar di jariku. Aku menghela napas. Sekaranglah saatnya. Tenang saja, tak usah buru-buru… Aku menghela napas sekali lagi, lalu mengucapkan janjiku dengan perlahan namun mantap.

“Samantha Kathleen Fisher, aku berjanji kepadamu, bahwa aku akan memberikan seluruh cintaku padamu. Aku berjanji untuk selalu tertawa denganmu, menangis denganmu, dan menjadi tua bersamamu. Aku akan selalu mengingat bahwa hatimu adalah rumahku, dan aku akan selalu ada untukmu, baik saat matahari menyinari langkah kita maupun saat badai melanda, sampai sang Pemberi Hidup yang telah mempertemukan kita, mengambil nyawaku.”

Akhirnya kuucapkan juga janji pernikahanku itu. Saat menulisnya dulu, semua temanku bilang kalau kalimat-kalimat yang kutulis lebih cocok disebut puisi ketimbang janji pernikahan, tapi masa bodohlah. Yang penting janji itu sudah kuucapkan, aku sudah lega sekarang. Aku meraih cincin dari atas bantalannya yang putih dan memasangkannya pada jari Sam.

Sebuah suara berkata dari sampingku, “Kini kunyatakan kalian berdua sebagai suami dan istri.” Tapi sorak-sorai dan tepuk tangan dari deretan bangku hadirin membuat kalimat itu hampir tak terdengar. Dari ujung mataku aku sekilas melihat sinar blitz dari kamera beberapa wartawan yang datang untuk meliput pernikahan kami. Agak risih sebenarnya, tapi tak apa lah. Toh aku sudah merayakan pesta pribadi yang menyenangkan kemarin.

Kini setelah aku dan Sam resmi menjadi suami-istri, barulah aku bisa menikmati keindahan tempat pernikahanku ini; tadi aku terlalu gugup untuk bisa mengamati tempat ini. Dinding kapel yang dicat krem lembut semakin menonjolkan warna-warna yang berbeda pada mozaik kaca berbentuk orang kudus. Jauh di atas kepalaku, terdapat kubah besar yang dihiasi mozaik kaca warna-warni, membuat tempatku berdiri sekarang ini bermandikan cahaya warna-warni. Sebuah pelengkung besi putih yang dirambati sulur-sulur hijau berdiri dekat pintu masuk seperti penjaga. Karangan bunga kecil yang didominasi mawar pink pastel – bunga favorit Sam – dipasang pada ujung masing-masing bangku, menyebarkan bau harum ke seluruh penjuru kapel. Menurutku, ini tempat yang benar-benar sempurna untuk menikah.

Tiba-tiba Sam meremas tanganku, menyadarkanku kalau upacara pernikahan kami sudah selesai. Aku menggandeng tangannya dan kami berbalik untuk berjalan keluar dari kapel, Pierre mengikuti di belakang kami. Sam terlihat cantik sekali dalam balutan gaun pengantin putih rancangan Becky yang kontras dengan jas hitamku. Bagian kerah sabrinanya diberi renda putih manis yang senada dengan renda di bagian pinggang gaunnya. Kalung di lehernya dan tiara yang menghiasi rambut pirangnya membuat Sam terlihat lebih anggun. Kedua mata hijaunya dibingkai eye shadow keemasan, alhasil membuat warna matanya lebih menonjol. Aku sungguh beruntung mendapat paket lengkap dalam diri Sam: cerdas, sabar, pengertian, dan cantik.

Teman-temanku menembakkan confetti dan menghujani kami dengan kelopak mawar pink saat kami berjalan menuju pintu kapel. Encun dan Loiz tampak paling heboh dengan confetti mereka, saking bersemangatnya mereka hampir menyenggol Becky, Lindsay, Lotta, dan Alejandro hingga jatuh. Gareth dan Jean menggendong masing-masing satu anak kembar mereka yang melambai-lambai padaku. Maureen sibuk mengabadikan momen ini dengan kamera ponselnya, sedangkan Armand menaburkan confetti keemasan. Lalu ada Claire dan Ashton yang ikut menaburkan kelopak bunga seperti yang lainnya.

Aku tersenyum saat berpapasan dengan mereka berdua. Bagaimanapun juga, Claire-lah yang membuatku bisa bertemu Sam, walaupun memang Becky yang mengenalkan kami berdua. Tapi kalau misalnya dulu di IAB Claire membalas perasaanku, tentu Becky tak akan pernah mengenalkanku pada Sam.

Claire telah memberiku pelajaran tentang sesuatu yang menurutku sangat penting: kalau sesuatu diambil darimu, berarti kau memang tidak ditakdirkan untuk memilikinya. Nanti alam semesta akan menuntunmu pada apa yang ditakdirkan untuk menjadi milikmu, entah cepat atau lambat. Aku tahu karena hal itulah yang terjadi padaku: Claire pergi, lalu Sam datang.

Well, aku bersyukur karena setidaknya aku telah mengetahui hal ini sebelum patah hatiku naik ke level yang lebih parah. Mungkin kalau dulu kulanjutkan aku bisa gila, parah-parahnya bunuh diri. Ngeri, ya? Untung sekarang aku sudah sembuh. Tapi mungkinkah hal itu terjadi lagi padaku sekarang? Ah, pasti tidak. Kan sekarang aku sudah memiliki Sam yang sangat kucintai di sampingku, pekerjaan dengan bayaran yang baik, dan sahabat-sahabat yang luar biasa. Apa yang mungkin bisa terjadi? []

***

So, how was the story guys? I really want to give the special thanks to Sekar who made this story cause honestly maybe we won't finish Nyenye if it's not bcs of her. Thank you!!💕

Yeah, and that's all. I hope you like it. Thank you for reading and loving this kind of story tho I know sometimes it's kinda weird but it touches me to know that there are still people who want to read Nyenye.

Thank you guys, Gbu!😇

Comments

Popular posts from this blog

A Thing About Yogyakarta, 2024

Elixir: [Track 6] Used to Me

Elixir : [Track 5] Yesterday Once More