Untitled : START (2)
Sudah banyak draft post yang ingin kutulis, sudah banyak kata yang telah terpikir, sudah banyak ide yang mengalir, namun, tak semuanya cukup untukku. Aku, ingin lebih dari itu. Aku, butuh lebih dari itu.
Hari itu tepat di mulainya tri hari suci. Aku benar-benar mengingatnya. Aku bersantai di rumah seperti biasa, mempersiapkan diri sebelum berangkat ke gereja. Hari itu, aku mengikuti misa ke 2, misa di malam hari. Berbeda denganmu yang datang di misa 1.
Kau berpamitan denganku sebelum berangkat ke gereja denganku - sama halnya denganku, karena aku juga akan ke gereja tepat setelah misa 1 usai, sehingga aku yakin tidak ada waktu untuk berbincang banyak - meski lewat chat.
"Nanti malam habis dari gereja, kamu janji dongengin kaya biasanya, ya."
Ya, setiap malam kita selalu meluangkan waktu untuk saling menceritakan dongeng-dongeng sebelum tidur. Untuk berlatih kalau sudah dewasa besok - begitu katamu.
"Hmm, oke. Asalkan jangan ninggal tidur duluan," aku menjawab.
Setelah usai mengikuti misa dengan nuansa putih - kira-kira pukul sebelas atau lebih - aku menepati janjiku. Seperti malam-malam sebelumnya, kau menelepon duluan, menyapa dan membicarakan hal-hal aneh dan lucu.
Ku kira kau lupa menagih janjimu. Tapi tidak.
"Ayo buruan dongengin. Tadi udah janji lho."
Aku tidak yakin dongeng apa yang ku bacakan untukmu malam itu. Tetapi yang aku ingat adalah setiap hari kita bergiliran untuk mendongeng. Awalnya hanya lewat chat saja, disaat awal-awal kita saling mengenal. Namun lama kelamaan, semua tulisan-tulisan itu berubah menjadi sambungan langsung free call. Ya, istilahnya supaya bisa paling tidak saling mendengar suara satu sama lain.
Banyak dongeng yang sudah kita ceritakan. Dari cerita-cerita rakyat, cerita-cerita manca negara, hingga cerita yang dibuat-dibuat - yang mungkin sengaja dikarang untuk tujuan tertentu. Ya, kalian tahu.
"Terima kasih, ya," ujarmu seusai aku mendongeng malam itu. Aku ingat sekali, saat dongeng itu usai sudah sangat larut. Malam sudah berganti hari. Orang-orang sudah terlelap untuk tidur. Suaramu masih terdengar dibalik ponselku. Dan aku, aku masih terjaga di peraduanku yang gelap - tentu juga kamu. Late night conversation, my favorite part of the day.
"Omong-omong, setelah Ujian Nasional masih lama, ya?" tanyamu. Aku hanya tertawa kecil saja, "Tidak juga, tinggal satu minggu lagi. Kenapa?"
Kau terdiam sejenak, bisa kupastikan karena aku hanya bisa mendengar suara angin dari balik ponselku, "Terlalu lama, aku ingin tahu jawabannya."
Sudah beberapa kali kau mengatakan hal itu kepadaku setelah sore itu. Pernah beberapa hari setelah kau mengatakan hal itu kepadaku, kau menanyakan waktu yang terlalu lama juga. Aku ingat sekali saat itu kita sedang mampir di toko alat tulis untuk fotocopy, saat pandanganmu dekat ke arahku dan kuingat wajahmu yang lucu, memelas, mengatakan kalau terlalu lama. Lucu sekali.
"Yang nyuruh jawab habis Ujian Nasional juga siapa coba," kataku menggoda.
"Uh.. kamu," katamu kesal, "aku memang ingin tahu disaat hari ulang tahunmu saja, tapi aku juga ingin tahu sekarang."
"Huuu, aneh kan," kataku sambil tertawa. Aku bisa menjamin wajahmu kesal namun menggemaskan saat itu, ya walaupun aku tidak benar-benar melihatnya.
"Yaudah deh," ujarmu. Aku bisa mendengarmu mengambil nafas dalam lewat speaker ponselku, "aku ambil nafas dulu."
"Hah?" aku kebingungan. Aku bisa merasakan keheningan untuk beberapa saat, "Halo?" tanyaku memastikan bahwa kau tidak tidur.
Ku dengar kau mengambil nafas panjang lagi sebelum berkata, "Aku ingin kau menjawab sekarang. Kamu mau jadi pacarku?"
Aku terdiam, terkejut, "Hah? Jawab sekarang?"
"Iya, jawab sekarang saja. Aku ingin tahu."
Aku terdiam untuk beberapa lama, berfikir tentang berbagai skenario yang akan terjadi. Akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Aku ingat aku terdiam lalu berkata :
"Kalau misalnya enggak gimana?"
Lalu kau terdiam, aku juga ingat kau terdiam saat itu, suaramu juga pudar saat kau menjawab, "Kalau misal enggak ya yaudah gapapa, kan itu jawabanmu, pilihanmu."
Aku tersenyum di balik ponselku, itu yang tak kau tahu.
"Enggak bakal nolak maksudnya," begitu kataku.
Saat itu aku ingat betul sudah lewat pukul satu. Lama juga, ya? Namun waktu selama itu tak kurasa. Mungkin, karena sudah terbiasa. Mungkin, karena semuanya jadi berbeda.
"Haa? Jadi... jadi? Jadi gimana?" tanyamu kaget, "kamu.. mau?"
Aku tertawa kecil, "Iyaa."
"Oh ya, Tuhan," kau menghela nafas lega - sudah kubilang ku bisa mendengarnya, "I love you too."
Lalu kau tersadar, "Eh, maksudnya I love you. Duh, gugup kan."
Aku tertawa mendengar kamu yang salah tingkah seperti itu. Aku juga tersenyum.
"Wkwkwk, kenapa sih?" tanyaku sambil masih tertawa kecil.
"Uh kamu, sih. Udah gapapa," tanyamu sambil masih terdengar gugup.
"Hehehe, emang tadi ngerasa gimana waktu aku bilang enggak?"
"Ya sedih, lah. Kamu gatau sih, malah ngerjain. Sedih banget tahu, rasanya kaya semua yang udah dilakuin selama ini sia-sia. Uh beneran tadi rasanya kaya deg, sedih banget. Ngeselin banget beneran deh," ujarmu panjang lebar, "tapi gapapa deh, kan kamu pacarku."
Aku tertawa mendengarmu berkata begitu, "Ciee udah punya pacar ni," kataku, "PJ nya dulu dong."
"Kamu juga dong, habis jadian juga kan?" tanyamu lucu.
Kita berdua hanya tertawa lucu, lalu terdiam sebentar.
Hampir pukul setengah 2, hampir 2 jam sudah ku mendengarmu berkata. Lucu, indah, berbeda, dan nyata. Benar-benar nyata, bukan wacana.
Sudah waktuku dan kamu untuk terlelap, karena langit sudah mulai ingin tak gelap.
"God bless you," ujarmu.
"God bless you too."
Dan kau berkata, "I love you."
Aku tersenyum, benar-benar tersenyum, "I love you too."
Satu yang tak mereka tahu, sudah sering pula kita ucapkan janji itu setiap malam datang, bahkan sebelum malam baru itu berkumandang.
Malam itu, segalanya telah menjadi satu. Aku, kamu, lucu. Ah, benar-benar lucu.
Dan malam itu, pertama dalam hidupku, merasakan hal yang semoga bukan berupa kalbu. Aku tak mau kalbu, aku hanya ingin tetap begitu, tetap begini, tetap menjadi seperti ini.
Semoga, juga menjadi terakhir kali.
Comments
Post a Comment