Untitled : START
Sudah banyak draft post yang ingin kutulis, sudah banyak kata yang telah terpikir, sudah banyak ide yang mengalir, namun, tak semuanya cukup untukku. Aku, ingin lebih dari itu. Aku, butuh lebih dari itu.
Sore itu melelahkan. Hari minggu di Bulan Maret, tepat sekali bersamaan dengan program kerja besar yang dilaksanakan di sekolahku. Setelah melalui persiapan yang cukup panjang, akhirnya kami berhasil melaksanakan program kerja hari itu. Melelahkan, seharian, banyak orang, luar biasa.
Aku mengurus beberapa hal di lapangan, begitu juga dengan kawanku yang lain. Kami membereskan tenda-tenda bazar di lapangan hingga lapangan menjadi bersih. Sudah kubilang, sangat melelahkan.
Seharian sudah aku jarang membuka ponselku. Aku mengusap layar touch screen ponselku, membuka pattern nya, dan banyak sekali pesan dan obrolan yang masuk. Kubuka satu persatu, dan kubalas satu persatu.
Sudah selesai? Biarkan aku yang menjemputmu saja.
Well, sejujurnya itu mengasyikkan, akan menjadi perjalanan yang panjang dan menyenangkan. Setelah mendapatkan ijin, kuiyakan ajakanmu. Aku mengemas barangku, aku pulang.
Sepeda motor laki-laki yang berwarna biru sudah berada di depan sekolahku, seperti menyambutku.
"Sudah lama?" tanyaku memulai pembicaraan. Kau ambil helm yang kau bawa, lalu kau kenakan padaku. Aku tersenyum simpul, tanda terima kasih.
"Belum, baru 5 menit," kau langsung menyalakan mesin, "ayo, naik." Aku langsung naik ke sepeda motormu. Sepeda motorpun langsung melaju.
Sempat ada keheningan untuk beberapa saat. Hingga kau membuka pembicaraan lagi, "Capek ya? Uhh.. kasian."
"Ya lumayanlah, dari pagi tadi sampai sore kaya gini, sih. Wajar dong kalau capek," jawabku.
"Iya iya, aku tahu kok. Tahu gak sih? Tadi sebelum..." dan kau bercerita panjang setelah itu. Percakapan normal biasanya, seperti saat-saat sebelumnya. Kau sudah sering sekali mengantar dan menjemputku, ya kutahu jarak rumahku dan rumahmu memang cukup jauh, tetapi, "Cuma 15 menit," itu katamu.
Jalanan kota juga seperti sore normal biasanya. Sudah agak mendung, namun tidak menunjukkan tanda-tanda kalau akan hujan. Angin berhembus seperti biasa pula, dan pembicaraan juga hangat seperti biasanya.
"Aku repotin, nih. Beneran gapapa?" pertanyaan itu selalu kusampaikan lebih dari sekali ketika kau mengantar dan menjemputku. Maksudku, bukan siapa-siapa, tapi mendapatkan apa-apa.
"Ih, sampai tanya kaya gitu lagi aku turunin kamu di pinggir jalan lho," ujarmu lucu.
"Uhh, yaudah kalau gitu turunin dipinggir aja, aku terlalu repotin, nih."
"Eh.. uluhuluh ngambek. Enggak lah, masa iya tega nurunin kamu di tengah jalan gini."
"Loh, tadi kan bilangnya dipinggir jalan bukan di tengah jalan."
"Uh kamu," ujarmu sambil sedikit tertawa, "lucu ah. Udah deh."
Senyum simpul menyatu di tengah jalan kota sore itu. Perbincangan tak penting selalu ada di setiap saat, tidak pernah bosan. Dan sampailah kita di rumahku.
Aku masuk ke rumahku dan mempersilakan kamu masuk juga. Ternyata Ibuku sudah menyambutku.
"Udah sampai, ya? Sini-sini masuk dulu, deh. Makasih ya udah dianterin," kata Ibu.
"Iya tante, sama-sama," ujarmu malu-malu. Aku mempersilakan kamu masuk tapi kau memutuskan untuk duduk di teras saja. Aku langsung masuk mengambil beberapa jamuan, lalu keluar kembali sambil membawa makanan favorit kita berdua. Raut wajah kita berdua sama, bersemangat.
"Ibu membelikan ini tadi, katanya kita disuruh makan," kataku, "this is my first time anyway."
"Belum pernah makan martabak ini?" tanyamu, "aku udah pernah lho."
"Ihh yaudah kalau udah pernah jatahnya untuk aku aja, deh," kataku sambil mengancam mengambil martabak yang kau bawa.
"Yaudah ini buat kamu aja," katamu sambil menyerahkan martabak kepadaku. "Eh.. eh.. bercanda," kataku ketawa, "untuk kakak aja."
Tawa kita bergemuruh di teras rumahku. Sore itu, hangat seperti biasanya - aku sudah mengatakannya. Martabak terasa lezat, terutama adalah karena ini pertama kalinya aku mencoba. Candaan itu, tawaan itu, hangat, berbeda.
Sudah beberapa kali kau datang ke rumahku walau sekedar untuk melihatku - begitu katamu. Atau, kau juga sering menawarkan untuk mengantarkanku pulang. Pertama, belum ada, belum pernah ada.
Sudah banyak yang bertanya, sudah banyak pertanyaan dan juga angan-angan, pengandaian, keingintahuan. Bukan, bukan dariku. Bahkan, kamu yang mengatakannya beberapa hari sebelum itu. Percakapan yang aneh, menuju ke suatu pernyataan, pertanyaan. Aku, diam, menunggu, ngikut.
Sudah beberapa kali kau membuatku merasakan 'pertama kali'. Maksudku, ya begitu. Belum pernah ada, pertama. Aku masih anak baru - kau sudah ahli, sepertinya. Tapi berbeda - begitu katamu.
Lama sudah mengenalmu, tak menyangka, tak berharap, tapi terjadi. Memang berbeda, semoga memang benar berbeda. Aku tak mau sama, aku ingin jadi yang berbeda. Aku juga ingin menjadi yang pertama, walau bukan yang pertama.
Setelah kuhabiskan martabak itu, kita membicarakan hal-hal tak penting lainnya. Membuat lelucon yang terkadang tak lucu, namun ketidaklucuan itulah yang membuatmu lucu. Berbeda, sudah kukatakan.
"Jadi.." katamu memulai pembicaraan, "sudah bilang Ibu?"
"Bilang apa?" tanyaku keheranan. Aku benar-benar tak tahu.
"Ya.. itu, masa kau tak tahu?" tanyamu aneh. Jujur, saat itu aku tak tahu. Aku memutar otak, mencoba menggabung-gabungkan hal terakhir apa yang terjadi yang berhubungan.
"Apa sih? Bilang kalau kita pacaran?" tanyaku polos. Aku, yang saat itu sangat kelelahan, polos, benar-benar tak ada tenaga untuk menutup-nutupi.
Kau terdiam sebentar, "Iya."
Aku lalu terdiam, kebingungan. Kita, tidak pernah menjadi kita. Maksudku, setidaknya belum menjadi kita - begitu ujarmu. Kamu, sudah mengatakannya, tapi tak jelas. Aku, malas berpura-pura. Aku bingung, ya begitulah aku adanya, aku bingung.
"Emang... kita.. pacaran?" tanyaku, pelan-pelan, takut tersinggung. Takut kau tuduh ngode. Aku tidak begitu.
Aku ingat beberapa hari sebelum itu terjadi, kau memberitahuku sesuatu yang -ya- sangat berarti. Aku memang belum pernah mengatakannya dengan resmi kepadamu, namun setidaknya, kamu harus tau kalau aku..
Ya, aku yakin kalian tahu lanjutannya. Begitulah katamu, dan aku yakin akan hal itu.
Kau terdiam, mengambil nafas panjang, mukamu memucat.
Kau genggam tanganku, kau sudah pernah melakukannya beberapa kali sebelum itu. Tapi kali itu, aku ingat sekali, begitu berbeda.
"Kamu mau menjadi pacarku?" pelan, lembut, begitu caramu mengucapkannya. Kau menatapku dalam, berbeda, dan aku - aku hanya tertawa. Mencoba mempermainkan dan membuat candaan supaya tidak terlalu tegang. "Umm... umm..."
"Aku serius," katamu lagi, menatapku dengan serius.
Sore itu, aku tak pernah bermimpi, tak pernah menyangka, kau akan menyatakan itu di hari itu juga. Tak ada rencana, tak ada bayangan. Lokasi yang tak kusangka, di rumahku sendiri. Aku tak percaya.
Aku mengambil nafas panjang.
"Aku.." kataku terpotong oleh ucapanmu. "Oke, jangan jawab sekarang. Jawab setelah aku menyelesaikan Ujian Nasional saja." Aku mengangguk sambil tersenyum.
Setelah berpamitan dengan kedua orang tuaku, kau lalu pulang dan seperti biasa- aku menyambutmu pulang.
"Hati-hati, ya," kataku. Kau tersenyum, "Beneran lho pertanyaanku tadi, aku serius."
Aku hanya tersenyum, "Iya, habis UN kan?"
"Umm.. iya," kau terlihat salah tingkah, "aku pulang dulu ya." Lalu, kau berlalu.
Hari itu, di sore yang biasa itu, anganku, beradu menjadi satu.
***
Hi, readers!!
YES I KNOW THIS IS MY FAULT.
Well, first post on 2016. Bad, so bad, I know that.
Pardon my unexistance, school's business as always. But promise me, I'll write some this holiday.
So if you ask me what my project now, the answer is... just read this post by yourself😅
Thank you for staying, reading, and supporting my writings. May God bless you😇
Comments
Post a Comment