First We Met : Remind Me
Aku sedikit gugup hari itu, tentu saja, siapa yang tidak gugup karena ini adalah hari pertamanya masuk ke sekolah baru?
Aku mencoba untuk sedikit rileks, dan yap, menenangkan diri sendiri.
Aku berjalan menuju ke kelas yang akan jadi kelasku selama setahun ini sambil mencoba mengatur emosi.
Seperti layaknya orang hilang, aku kebingungan dengan sekolah baru ini. Dan yang lebih buruk lagi, tak ada teman yang kukenal disini. Oh, betapa kerennya!
Aku masih mencari-cari kelas yang akan menjadi kelasku, tapi semua kelasnya masih kosong, apa aku datang terlalu pagi? Sepertinya sih tidak.
Karena benar-benar kebingungan dan tak tahu arah, akhirnya aku menuju ke arah gerombolan kakak-kakak OSIS, karena tak ada orang yang bisa kutanyai selain pengurus OSIS yang sedang mempersiapkan diri untuk acara pembuka hari pertama ajaran baru ini.
Aku melangkahkan kaki menuju ke gerombolan kakak-kakak OSIS yang sepertinya sedang sibuk.
"Eh, maaf mengganggu, Kak. Saya masuk di kelas berapa, ya?" pengurus OSIS yang aku tanyai itu memalingkan wajahnya.
"Oh, ini belum saatnya masuk kelas, Dek. Nanti ada pengumuman terlebih dahulu baru masuk kelas masing-masing," kata kakak OSIS itu begitu ramah, dia sangat cantik. Rambutnya terurai dengan rapi dan dibiarkan menggelombang di bawahnya. Memakai blazer biru yang sangat keren (yang ingin kumiliki itu), dia juga memasang tanda pengenal di bagian depan blazernya bertuliskan "Hi, I'm Monica!"
"Tapi kalau mau tahu kelasnya dulu juga bisa, kamu bisa melihatnya di papan pengumuman di tengah lapangan itu," ujarnya lagi sambil menunjuk ke arah papan pengumuman yang ia maksud. Aku mengangguk dan mengucapkan banyak terima kasih.
Aku berjalan menuju ke papan tersebut dengan penasaran, aku masuk kelas berapa, ya?
Tapi, sebenarnya tak ada untungnya penasaran kalau kau tak akan sekelas dengan teman yang sudah kau kenal, bukan? Jadinya, aku masuk kelas apapun juga sama saja. Sama saja tak ada teman yang kukenal.
Setelah sampai di depan papan tersebut, aku mencari-cari namaku. Mungkin namaku ada dibagian atas, karena huruf depan nama lengkapku adalah A.
"Namanya siapa, dek?" seorang kakak OSIS berniat membantuku karena melihat aku kebingungan mencari kelas dan namaku.
Aku melihat sebentar ke arah kakak OSIS tersebut, sepertinya aku pernah mengetahuinya.
"Oh, kamu rupanya. Allen Farencia, kan?" kau tersenyum kecil ke arahku. Iya, ternyata itu adalah kamu. Sosok misterius yang kutemui di sebuah studio beberapa bulan yang lalu. Aku hampir saja melupakanmu, ingat kan kalau aku adalah sosok pengingat yang kurang baik?
"Eh.. iya, Kak," jawabku singkat. Aku masih kebingungan, bagaimana bisa dia ada disini dan menjadi pengurus OSIS?
Oh, iya. Aku kan pernah mengisi acara di tempat ini, dan kamu menanyai keberadaanku saat aku terlambat dijemput lebih dari 3 jam itu (iya, aku menunggu lebih dari 3 jam untuk itu). Aku ingat kau adalah panitia penyelenggara acara itu. Jadi, kemungkinan besar kamu adalah pengurus OSIS di sekolah baru yang akan kutempati selama 3 tahun ini. Betapa... umm.. menyenangkannya!
"Kamu masuk kelas sepuluh satu," katamu. Aku tersenyum kecil, kau membalas senyumanku. Sudah kubilang, kan? Senyumanmu itu sangat manis kalau dilihat dari dekat.
"Terima kasih, Kak," ujarku kemudian.
"Mau aku tunjukin kelasnya?" tanyamu begitu ramah. Kau mau mengantarku ke kelasku nantinya? Bagaimana bisa? Ini semua.. benar-benar mustahil. Aku tidak mengenalmu (mungkin lupa), dan kau (terlihat seperti) sudah mengenalku begitu lama dan kamu berniat mengantarkanku ke kelasku itu.
"Tidak usah, Kak," entah kenapa aku menolak ajakan menyenangkan itu darimu. Betapa bodohnya, ini kan tawaran langka, dari orang yang sudah mengenalku, dan yap, tampan.
Kau tersenyum kecil (yang manis itu) lagi dan akhirnya kembali lagi ke markas asal. Ada sedikit rasa kecewa telah menolak ajakan itu, iyalah, aku saja tak punya kenalan disini, selain, ya, aku hanya pernah melihat kamu diantara ratusan anak yang ada di sini sekarang.
Aku merasakan adanya perasaan yang aneh, yang tak asing lagi. Apa mungkin aku menyukaimu? Ah, mana mungkin! Bodoh sekali itu! Aku kan tidak percaya sama yang namanya cinta-pada-pandangan-pertama, lagipula ini bukan yang pertama kalinya aku melihatmu. Ini tidak wajar, ini semua seperti de javu. Aku merasa pernah merasakan hal ini sebelumnya, begitu aneh.
***
Setelah kegiatan MOS di hari pertama ini usai, akhirnya kami semua diperbolehkan pulang. Aku mengambil tasku dari kursiku yang bersebelahan dengan kursi Adeline, satu satunya orang yang sudah kukenal baik setelah beberapa jam ini.
"Hai!" kata seseorang tiba-tiba. Ah iya, setelah aku membalikkan badan, ternyata itu kamu. Kenapa kau selalu datang di saat aku sedang sibuk melakukan sesuatu dan lalu kau muncul secara misterius sambil berkata "Hai!". Terdengar absurd, bukan?
"Oh, hai..." kataku kemudian masih sedikit panik, dan gugup. Entahlah, setiap saat aku melihat atau bertemu denganmu pasti aku gugup. Ini perasaan yang aneh, bukan?
"Bagaimana sekolah hari ini?" tanyamu yang menurutku begitu perhatian. Siapa lagi yang merasa itu bukanlah suatu perhatian yang spesial? (terutama dari orang yang setampan ini).
"Oh, ba.. ik.." kataku gugup lagi. Kau tersenyum kecil ke arahku, rasa gugupku sedikit berkurang. Di kelas sudah sepi, tinggal hanya ada aku dan kau saat itu.
Kali ini, aku akan memberanikan diri dan berniat untuk menanyakan siapa namamu dan siapa kamu sebenarnya. Aku tidak mau diliputi rasa penasaran ini.
"Eh, kak. Boleh tahu kakak ini siapa?" penyusunan kalimat yang buruk memang. Menjelaskan dengan pasti bahwa aku benar-benar tidak ingat siapa itu dia dan.. ini adalah kesalahan yang sangat fatal!
"Tuh, kan! Ternyata kamu benar-benar lupa siapa aku!" kau tertawa kecil sedikit itu. Aku mengerutkan keningku.
"Eh.. hehe," ujarku kemudian karena tersipu (ketahuan kalau ingatanku benar-benar buruk). "Kakak sudah kenal aku, ya?" tanyaku memastikan, walaupun sedikit gugup.
"Tentu saja, masa kau lupa sama aku, sih?" tanyamu lagi sambil sedikit terkikik, "Faza," ujarmu begitu mantap.
Aku memutar balik otakku untuk mengingat-ingat setiap detail bagian yang telah terjadi antara aku dengan seseorang yang bernama Faza. Faza... Faza... Faza... sepertinya aku pernah mendengar nama dan istilah itu.
Kami terdiam beberapa lama terutama karena aku sedang mengingat-ingat siapa Faza itu sebenarnya.
Teman SD? sepertinya sih bukan.. kayaknya aku tidak punya kenalan SD yang bernama Faza. Kakak kelas SMP? sepertinya sih juga bukan, lagipula, aku kan baru saja lulus SMP, mana mungkin aku lupa?
Teman les-lesan? Kayaknya juga bukan.. lalu siapa? Tetangga?
Tetangga di rumahku yang dulu? Umm...
Umm..
"Oh iya! Faza, ya?" ujarku bersemangat kemudian. Tepat sekali, kamu adalah tetanggaku di rumahku yang sedang di renovasi itu. Karena sekarang aku sedang pindah rumah di dekat sekolah sambil menunggu renovasi rumahku itu selesai, maka aku (mungkin) jadi sedikit melupakanmu. Tapi sebenarnya maklum-maklum saja sih, renovasi rumah kan butuh waktu lebih dari 2 tahun, jadi kalau lupa wajar, bukan?
Kau mengangguk kecil sambil tertawa lepas, "Akhirnya ingat juga!" hilanglah semua pertanyaanku, rasa penasaranku tentang kamu. Yap, kau adalah tetanggaku yang dulu benar-benar dekat sekali denganku dulu. Kita sudah seperti kakak dan adik, terutama karena kita dulu sering bermain bersama. Mana bisa, sih aku lupa? Parah sekali memang!
"Tapi kok kamu berubah banget sih, Faz?" tanyaku padamu. Semua rasa gugup yang ada itu serentak hilang. Semua rasa penasaran juga hilang. Semua formalitasku untuk memanggilmu dengan sebutan 'Kakak'pun sudah tak kupakai. Aku sudah biasa memanggilmu dengan sebutan 'Faz'
"Apa iya? Enggak juga tuh perasaan," katamu sambil tersenyum kecil.
"Iya, lho. Sampai-sampai aja aku enggak inget sama kamu. Pas aku lihat kamu di studio, pas kamu main musik di Ganaskustik itu aja aku enngak tahu kalau itu kamu, lho! Kayak bukan kamu yang dulu," tiba-tiba aku tersadar kalau aku ingat setiap kejadian di saat aku bertemu denganmu dan mendapatkan senyum manismu itu. Tapi, aku justru tidak tahu kalau itu kamu.
Kita lalu berjalan keluar dari kelas dan melanjutkan pembicaraan di luar kelas, karena kelas sudah mau dibersihkan oleh para petugasnya.
"Emang apanya yang berubah?" tanyamu lagi. Saat itu keadaan sudah tak secanggung lagi. Semua biasa saja, seperti 8 tahun yang lalu. Persis sekali. Aku ingat saat itu aku baru saja pergi ke Yogyakarta selama 1 bulan untuk menghabiskan liburan kenaikan kelas. Pulangnya, aku sudah lupa denganmu.
"Ini semua malah jadi seperti 8 tahun lalu," ujarmu kemudian. Ternyata kau masih ingat di saat aku menanyakan pertanyaan yang sama, lalu kau juga menanyakan hal yang sama denganku, 'Apanya yang berubah'.
"Yang jelas sih sekarang kamu tambah tinggi, tinggi banget malah. Aku udah jauh deh sama kamu, padahal dulu kan tinggi kita sama," kataku sambil terkikik, "Terus wajahmu lebih tyrus dan kamu lebih kurus dari terakhir kali aku ketemu kamu. Dan juga kamu itu gan..." Aku langsung mendekap mulutku dengan tanganku sendiri. Sial! Hampir saja aku akan mengatakan gan.. ah kalian tahu sendiri, kan?
Kau hanya tertawa kecil saat itu. "Kamu juga berubah. Lebih kurus daripada dulu, lebih putih yang jelas," ujarmu kemudian mengingat dua tahun lalu aku memang tidak sekurus dan seputih ini. Kamu lalu memberikan senyum manismu itu lagi.
Kita semua tertawa hari itu, tidak seperti yang belakangan ini (saat aku belum pindah untuk renovasi rumah) terjadi. Kita berteman sangat lama, dari kecil sampai sekarang! Aku tahu semua tentang kamu (dan sepertinya kau juga tahu tentang aku). Kita sudah seperti kakak dan adik sendiri. Saat kecil dulu kita selalu main bareng, enggak ada hari yang aku lewatkan untuk main ke rumah kamu, alau cuma sekedar main PS dan sepak bola pun. Tapi, kalau main sama kamu itu sangat asyik, justru lebih asyik bermain sama kamu ketimbang main masak-masakan bareng kakak-kakak kelas yang usianya terlampau dua tahun lebih tua dari aku.
Tapi, lambat laun sepertinya kita sudah bertumbuh dan beranjak dewasa. Kita tak pernah bermain bersama lagi. Semakin lama kita semakin sibuk dengan urusan sekolah, les, dan sebagainya. Sampai suatu saat teman-teman cewekku mengatakan bahwa kita saling menyukai satu sama lain, kita akhirnya benar-benar tak pernah bermain bersama lagi. Padahal itu semua cuma salah paham. Namun, yap benar-benar fatal.
Hanya ketemu kamu saja itu jarang sekali, padahal rumah kita berdekatan. Kita juga tidak pernah berbicara lagi semenjak itu. Benar-benar tak pernah saling bicara, hingga akhirnya kau mengajakku berbicara di studio itu. Itu adalah pertama kalinya kita saling berbicara (walaupun aku belum sepenuhnya sadar kalau kamu itu Faza)
Mungkin, kita sudah sadar saat itu, kalau kita berbeda. Mungkin kita mengerti kalau kita sudah tak bisa mengharapkan lagi, karena kita berbeda. Itu yang membuat hubungan kita merenggang. Aneh, ya? Kalau sudah cerita tentang ini, aku tidak pernah lupa.
"Enggak pulang, Len?" tanyamu kemudian melihatku melamun sendiri.
"Eh.. belum dijemput," jawabku.
"Oh gitu. By the way aku harus cabut, nih!" katamu sambil melihat ke gerombolan kakak-kakak OSIS lainnya. "Eh iya. Renovasi rumahmu selesai kapan?" tanyamu lagi sebelum berlari menuju ke gerombolan itu.
"Kayaknya, sih akhir bulan ini udah pindahan. Tunggu aja, deh!" ujarku semangat.
Kau tersenyum, kali ini jauh lebih manis daripada biasanya. Pandangan matamu menatapku penuh arti (dan penuh pengharapan), "Sampai bertemu besok ya, Len."
Aku melambaikan tanganku, "Oke, Faz!" aku membalas senyummu, benar-benar berharap bahwa hari besok akan datang lebih cepat.
Entah mengapa akhirnya aku sadar. Pantas saja ini semua seperti de javu.
Aku, kan sudah pernah merasakannya.
Aneh, ya? Ternyata sosok itu selama ini adalah kamu. Waktu mungkin memang tak pernah mau memisahkan kita. Sampai akhirnya kita di pertemukan lagi, di sini.
TO BE CONTINUED
Aku mencoba untuk sedikit rileks, dan yap, menenangkan diri sendiri.
Aku berjalan menuju ke kelas yang akan jadi kelasku selama setahun ini sambil mencoba mengatur emosi.
Seperti layaknya orang hilang, aku kebingungan dengan sekolah baru ini. Dan yang lebih buruk lagi, tak ada teman yang kukenal disini. Oh, betapa kerennya!
Aku masih mencari-cari kelas yang akan menjadi kelasku, tapi semua kelasnya masih kosong, apa aku datang terlalu pagi? Sepertinya sih tidak.
Karena benar-benar kebingungan dan tak tahu arah, akhirnya aku menuju ke arah gerombolan kakak-kakak OSIS, karena tak ada orang yang bisa kutanyai selain pengurus OSIS yang sedang mempersiapkan diri untuk acara pembuka hari pertama ajaran baru ini.
Aku melangkahkan kaki menuju ke gerombolan kakak-kakak OSIS yang sepertinya sedang sibuk.
"Eh, maaf mengganggu, Kak. Saya masuk di kelas berapa, ya?" pengurus OSIS yang aku tanyai itu memalingkan wajahnya.
"Oh, ini belum saatnya masuk kelas, Dek. Nanti ada pengumuman terlebih dahulu baru masuk kelas masing-masing," kata kakak OSIS itu begitu ramah, dia sangat cantik. Rambutnya terurai dengan rapi dan dibiarkan menggelombang di bawahnya. Memakai blazer biru yang sangat keren (yang ingin kumiliki itu), dia juga memasang tanda pengenal di bagian depan blazernya bertuliskan "Hi, I'm Monica!"
"Tapi kalau mau tahu kelasnya dulu juga bisa, kamu bisa melihatnya di papan pengumuman di tengah lapangan itu," ujarnya lagi sambil menunjuk ke arah papan pengumuman yang ia maksud. Aku mengangguk dan mengucapkan banyak terima kasih.
Aku berjalan menuju ke papan tersebut dengan penasaran, aku masuk kelas berapa, ya?
Tapi, sebenarnya tak ada untungnya penasaran kalau kau tak akan sekelas dengan teman yang sudah kau kenal, bukan? Jadinya, aku masuk kelas apapun juga sama saja. Sama saja tak ada teman yang kukenal.
Setelah sampai di depan papan tersebut, aku mencari-cari namaku. Mungkin namaku ada dibagian atas, karena huruf depan nama lengkapku adalah A.
"Namanya siapa, dek?" seorang kakak OSIS berniat membantuku karena melihat aku kebingungan mencari kelas dan namaku.
Aku melihat sebentar ke arah kakak OSIS tersebut, sepertinya aku pernah mengetahuinya.
"Oh, kamu rupanya. Allen Farencia, kan?" kau tersenyum kecil ke arahku. Iya, ternyata itu adalah kamu. Sosok misterius yang kutemui di sebuah studio beberapa bulan yang lalu. Aku hampir saja melupakanmu, ingat kan kalau aku adalah sosok pengingat yang kurang baik?
"Eh.. iya, Kak," jawabku singkat. Aku masih kebingungan, bagaimana bisa dia ada disini dan menjadi pengurus OSIS?
Oh, iya. Aku kan pernah mengisi acara di tempat ini, dan kamu menanyai keberadaanku saat aku terlambat dijemput lebih dari 3 jam itu (iya, aku menunggu lebih dari 3 jam untuk itu). Aku ingat kau adalah panitia penyelenggara acara itu. Jadi, kemungkinan besar kamu adalah pengurus OSIS di sekolah baru yang akan kutempati selama 3 tahun ini. Betapa... umm.. menyenangkannya!
"Kamu masuk kelas sepuluh satu," katamu. Aku tersenyum kecil, kau membalas senyumanku. Sudah kubilang, kan? Senyumanmu itu sangat manis kalau dilihat dari dekat.
"Terima kasih, Kak," ujarku kemudian.
"Mau aku tunjukin kelasnya?" tanyamu begitu ramah. Kau mau mengantarku ke kelasku nantinya? Bagaimana bisa? Ini semua.. benar-benar mustahil. Aku tidak mengenalmu (mungkin lupa), dan kau (terlihat seperti) sudah mengenalku begitu lama dan kamu berniat mengantarkanku ke kelasku itu.
"Tidak usah, Kak," entah kenapa aku menolak ajakan menyenangkan itu darimu. Betapa bodohnya, ini kan tawaran langka, dari orang yang sudah mengenalku, dan yap, tampan.
Kau tersenyum kecil (yang manis itu) lagi dan akhirnya kembali lagi ke markas asal. Ada sedikit rasa kecewa telah menolak ajakan itu, iyalah, aku saja tak punya kenalan disini, selain, ya, aku hanya pernah melihat kamu diantara ratusan anak yang ada di sini sekarang.
Aku merasakan adanya perasaan yang aneh, yang tak asing lagi. Apa mungkin aku menyukaimu? Ah, mana mungkin! Bodoh sekali itu! Aku kan tidak percaya sama yang namanya cinta-pada-pandangan-pertama, lagipula ini bukan yang pertama kalinya aku melihatmu. Ini tidak wajar, ini semua seperti de javu. Aku merasa pernah merasakan hal ini sebelumnya, begitu aneh.
***
Setelah kegiatan MOS di hari pertama ini usai, akhirnya kami semua diperbolehkan pulang. Aku mengambil tasku dari kursiku yang bersebelahan dengan kursi Adeline, satu satunya orang yang sudah kukenal baik setelah beberapa jam ini.
"Hai!" kata seseorang tiba-tiba. Ah iya, setelah aku membalikkan badan, ternyata itu kamu. Kenapa kau selalu datang di saat aku sedang sibuk melakukan sesuatu dan lalu kau muncul secara misterius sambil berkata "Hai!". Terdengar absurd, bukan?
"Oh, hai..." kataku kemudian masih sedikit panik, dan gugup. Entahlah, setiap saat aku melihat atau bertemu denganmu pasti aku gugup. Ini perasaan yang aneh, bukan?
"Bagaimana sekolah hari ini?" tanyamu yang menurutku begitu perhatian. Siapa lagi yang merasa itu bukanlah suatu perhatian yang spesial? (terutama dari orang yang setampan ini).
"Oh, ba.. ik.." kataku gugup lagi. Kau tersenyum kecil ke arahku, rasa gugupku sedikit berkurang. Di kelas sudah sepi, tinggal hanya ada aku dan kau saat itu.
Kali ini, aku akan memberanikan diri dan berniat untuk menanyakan siapa namamu dan siapa kamu sebenarnya. Aku tidak mau diliputi rasa penasaran ini.
"Eh, kak. Boleh tahu kakak ini siapa?" penyusunan kalimat yang buruk memang. Menjelaskan dengan pasti bahwa aku benar-benar tidak ingat siapa itu dia dan.. ini adalah kesalahan yang sangat fatal!
"Tuh, kan! Ternyata kamu benar-benar lupa siapa aku!" kau tertawa kecil sedikit itu. Aku mengerutkan keningku.
"Eh.. hehe," ujarku kemudian karena tersipu (ketahuan kalau ingatanku benar-benar buruk). "Kakak sudah kenal aku, ya?" tanyaku memastikan, walaupun sedikit gugup.
"Tentu saja, masa kau lupa sama aku, sih?" tanyamu lagi sambil sedikit terkikik, "Faza," ujarmu begitu mantap.
Aku memutar balik otakku untuk mengingat-ingat setiap detail bagian yang telah terjadi antara aku dengan seseorang yang bernama Faza. Faza... Faza... Faza... sepertinya aku pernah mendengar nama dan istilah itu.
Kami terdiam beberapa lama terutama karena aku sedang mengingat-ingat siapa Faza itu sebenarnya.
Teman SD? sepertinya sih bukan.. kayaknya aku tidak punya kenalan SD yang bernama Faza. Kakak kelas SMP? sepertinya sih juga bukan, lagipula, aku kan baru saja lulus SMP, mana mungkin aku lupa?
Teman les-lesan? Kayaknya juga bukan.. lalu siapa? Tetangga?
Tetangga di rumahku yang dulu? Umm...
Umm..
"Oh iya! Faza, ya?" ujarku bersemangat kemudian. Tepat sekali, kamu adalah tetanggaku di rumahku yang sedang di renovasi itu. Karena sekarang aku sedang pindah rumah di dekat sekolah sambil menunggu renovasi rumahku itu selesai, maka aku (mungkin) jadi sedikit melupakanmu. Tapi sebenarnya maklum-maklum saja sih, renovasi rumah kan butuh waktu lebih dari 2 tahun, jadi kalau lupa wajar, bukan?
Kau mengangguk kecil sambil tertawa lepas, "Akhirnya ingat juga!" hilanglah semua pertanyaanku, rasa penasaranku tentang kamu. Yap, kau adalah tetanggaku yang dulu benar-benar dekat sekali denganku dulu. Kita sudah seperti kakak dan adik, terutama karena kita dulu sering bermain bersama. Mana bisa, sih aku lupa? Parah sekali memang!
"Tapi kok kamu berubah banget sih, Faz?" tanyaku padamu. Semua rasa gugup yang ada itu serentak hilang. Semua rasa penasaran juga hilang. Semua formalitasku untuk memanggilmu dengan sebutan 'Kakak'pun sudah tak kupakai. Aku sudah biasa memanggilmu dengan sebutan 'Faz'
"Apa iya? Enggak juga tuh perasaan," katamu sambil tersenyum kecil.
"Iya, lho. Sampai-sampai aja aku enggak inget sama kamu. Pas aku lihat kamu di studio, pas kamu main musik di Ganaskustik itu aja aku enngak tahu kalau itu kamu, lho! Kayak bukan kamu yang dulu," tiba-tiba aku tersadar kalau aku ingat setiap kejadian di saat aku bertemu denganmu dan mendapatkan senyum manismu itu. Tapi, aku justru tidak tahu kalau itu kamu.
Kita lalu berjalan keluar dari kelas dan melanjutkan pembicaraan di luar kelas, karena kelas sudah mau dibersihkan oleh para petugasnya.
"Emang apanya yang berubah?" tanyamu lagi. Saat itu keadaan sudah tak secanggung lagi. Semua biasa saja, seperti 8 tahun yang lalu. Persis sekali. Aku ingat saat itu aku baru saja pergi ke Yogyakarta selama 1 bulan untuk menghabiskan liburan kenaikan kelas. Pulangnya, aku sudah lupa denganmu.
"Ini semua malah jadi seperti 8 tahun lalu," ujarmu kemudian. Ternyata kau masih ingat di saat aku menanyakan pertanyaan yang sama, lalu kau juga menanyakan hal yang sama denganku, 'Apanya yang berubah'.
"Yang jelas sih sekarang kamu tambah tinggi, tinggi banget malah. Aku udah jauh deh sama kamu, padahal dulu kan tinggi kita sama," kataku sambil terkikik, "Terus wajahmu lebih tyrus dan kamu lebih kurus dari terakhir kali aku ketemu kamu. Dan juga kamu itu gan..." Aku langsung mendekap mulutku dengan tanganku sendiri. Sial! Hampir saja aku akan mengatakan gan.. ah kalian tahu sendiri, kan?
Kau hanya tertawa kecil saat itu. "Kamu juga berubah. Lebih kurus daripada dulu, lebih putih yang jelas," ujarmu kemudian mengingat dua tahun lalu aku memang tidak sekurus dan seputih ini. Kamu lalu memberikan senyum manismu itu lagi.
Kita semua tertawa hari itu, tidak seperti yang belakangan ini (saat aku belum pindah untuk renovasi rumah) terjadi. Kita berteman sangat lama, dari kecil sampai sekarang! Aku tahu semua tentang kamu (dan sepertinya kau juga tahu tentang aku). Kita sudah seperti kakak dan adik sendiri. Saat kecil dulu kita selalu main bareng, enggak ada hari yang aku lewatkan untuk main ke rumah kamu, alau cuma sekedar main PS dan sepak bola pun. Tapi, kalau main sama kamu itu sangat asyik, justru lebih asyik bermain sama kamu ketimbang main masak-masakan bareng kakak-kakak kelas yang usianya terlampau dua tahun lebih tua dari aku.
Tapi, lambat laun sepertinya kita sudah bertumbuh dan beranjak dewasa. Kita tak pernah bermain bersama lagi. Semakin lama kita semakin sibuk dengan urusan sekolah, les, dan sebagainya. Sampai suatu saat teman-teman cewekku mengatakan bahwa kita saling menyukai satu sama lain, kita akhirnya benar-benar tak pernah bermain bersama lagi. Padahal itu semua cuma salah paham. Namun, yap benar-benar fatal.
Hanya ketemu kamu saja itu jarang sekali, padahal rumah kita berdekatan. Kita juga tidak pernah berbicara lagi semenjak itu. Benar-benar tak pernah saling bicara, hingga akhirnya kau mengajakku berbicara di studio itu. Itu adalah pertama kalinya kita saling berbicara (walaupun aku belum sepenuhnya sadar kalau kamu itu Faza)
Mungkin, kita sudah sadar saat itu, kalau kita berbeda. Mungkin kita mengerti kalau kita sudah tak bisa mengharapkan lagi, karena kita berbeda. Itu yang membuat hubungan kita merenggang. Aneh, ya? Kalau sudah cerita tentang ini, aku tidak pernah lupa.
"Enggak pulang, Len?" tanyamu kemudian melihatku melamun sendiri.
"Eh.. belum dijemput," jawabku.
"Oh gitu. By the way aku harus cabut, nih!" katamu sambil melihat ke gerombolan kakak-kakak OSIS lainnya. "Eh iya. Renovasi rumahmu selesai kapan?" tanyamu lagi sebelum berlari menuju ke gerombolan itu.
"Kayaknya, sih akhir bulan ini udah pindahan. Tunggu aja, deh!" ujarku semangat.
Kau tersenyum, kali ini jauh lebih manis daripada biasanya. Pandangan matamu menatapku penuh arti (dan penuh pengharapan), "Sampai bertemu besok ya, Len."
Aku melambaikan tanganku, "Oke, Faz!" aku membalas senyummu, benar-benar berharap bahwa hari besok akan datang lebih cepat.
Entah mengapa akhirnya aku sadar. Pantas saja ini semua seperti de javu.
Aku, kan sudah pernah merasakannya.
Aneh, ya? Ternyata sosok itu selama ini adalah kamu. Waktu mungkin memang tak pernah mau memisahkan kita. Sampai akhirnya kita di pertemukan lagi, di sini.
TO BE CONTINUED
Comments
Post a Comment