First We Met : Stars and Memories

Malam ini tak sedingin biasanya. Walaupun angin begitu sepoi-sepoi dan aku tak memakai jaketpun, aku tak merasa kedinginan. Sebenarnya ini bukan karena aku memakai lengan panjang dan jeans coklat favoritku itu, tapi karena satu hal yang begitu aneh, yang sebenarnya tidak ingin ku ungkapkan, tak ingin ku ceritakan kepada siapa saja. Ini semua sudah nyaman, sudah pas, sudah tepat dan tak perlu diubah-ubah lagi. Walau begitu aku tahu kalau ini tidak bisa bertahan untuk selamanya. Aku akan menikmatinya selagi masih boleh dan masih bisa.

Kau ada di sampingku. Malam ini ada acara menonton film dengan teman-teman seumuranku yang sering main bareng. Mereka adalah teman-temanku dari kecil, singkatnya, mereka tetangga-tetanggaku. Kami sering meluangkan waktu untuk sekedar sepedaan bersama atau nonton film bersama sih. Jumlahnya tidak sebanyak dan seutuh saat dulu kami masih kecil dulu, sekarang kurang lebih tinggal 8 orang. Banyak teman-teman kami yang pindah atau bahkan kuliah.

Malam ini, kami berencana menonton film The Amazing Spiderman. Walaupun beberapa dari kami sudah pernah menontonnya, namun tentu saja, menonton bersama teman-teman masa kecil jauh lebih menyenangkan. Kami semua memang kangen masa-masa itu. Saat kami masih sering main bersama setiap hari dan tak kenal lelah lomba sepedaan di lapangan perumahan kami. Namun, sekarang kami punya kesibukan masing-masing. Kami semua sekarang sudah SMA dan sangat sibuk dengan urusan sekolah, les, dan impian kami masing-masing.

Faren adalah teman baik kami yang mau dan rela menyediakan halaman belakang rumahnya untuk dijadikan tempat kami berkumpul. Dia juga menyumbang LCD dan proyektornya untuk nonton film bersama. Sedangkan Daniel, teman kami yang sangat suka mengoleksi film-film menyediakan laptopnya yang penuh dengan film-film keren untuk diputar di halaman belakang rumah Faren. Kami memang sering main kesini dulu. Halaman rumahnya yang begitu luas begitu menyenangkan untuk bermain petak umpat, sepak bola, atau bahkan kasti sekalipun saat kecil dulu. Karena sekarang kami sudah tumbuh dewasa, kami meluangkan waktu setidaknya 2 bulan sekali untuk mengunjungi rumahnya dan menonton film.

"Ini coklat hangatnya," kamu mengagetkanku dari belakang. Berbeda lagi dengan kamu dan Aden yang suka membawa makanan dan mau repot membuat minuman hangat untuk dibawa ke halaman belakang rumah Faren.

"Terima kasih banyak, Faz," ujarku sambil menerima coklat hangat buatanmu. Aku meniup coklat hangat itu, ternyata masih panas. Dapat kulihat dengan pasti kalau kau duduk bersila di sampingku. Karpet tebal itu cukup hangat untuk kami duduki bersama-sama. Tapi, entah kenapa kau memilih untuk duduk di sampingku. Mungkin tidak sih kalau...

"Well, ini untuk merayakan kembalinya kau ke rumahmu!"  ujarmu penuh senyum. Senyum manis itu lagi.

"Thanks, padahal aku kan sudah sering juga pergi kesini untuk sekedar nonton film bareng kalian semua, walaupun baru saja aku balik ke rumah yang selesai di renovasi itu," aku membalas senyummu yang begitu menenangkan hati. Oh iya, kehadiranmu benar-benar menghangatkan suasana malam ini. Bintang-bintang yang tersebar luas di langit dapat kami lihat dengan jelas di sini. Bintang itu berkilauan seperti berlian yang bercahaya. Sangat indah. Malam ini jauh lebih indah daripada biasanya.

"Lihat ke atas deh, Faz," kataku sambil menatap ke langit. Aku ingat semua tentang bintang dan segala persepsi khalayanmu tentangnya. Aku ingat saat dulu kita merayakan tirakatan 17 Agustus di perumahan kami beberapa tahun silam, kau melihat bintang-bintang di langit sambil berkata, "Suatu saat kalau kita pisah, aku yakin bintang akan mempertemukan kita lagi." Itu terlihat seperti sebuah gombalan konyol yang tak masuk akal. Namun, dulu kan kita masih kecil, mana mungkin itu gombal? Persahabatan kita memang lebih dari pertemanan biasa. Kita suka membuat kata-kata aneh yang sampai sekarang masih aku ingat pasti. Tapi, ya, memang konyol saat aku benar-benar tidak tau kalau itu adalah kau beberapa saat yang lalu.

"Amatilah bintang-bintang itu dan lihat apa yang membuat kamu terpaku," ujarmu sambil ikut mengadah ke langit. Wajah tyrus mu terlihat begitu tampan dengan balutan cahaya bintang dari langit. Aku sempat melihat ke arahmu dan tak kuasa menahan senyum. Kamu adalah temanku sejak kecil dulu (yang sempat aku lupakan) dan dulu kau begitu lucu dan konyol serta aneh. Namun, sekarang aku melihatmu dengan balutan sinar bintang bahwa kau sudah berubah. Tak hanya kau, akupun juga berubah. Kita semua saling berubah, sudah lebih dewasa, sudah menyadari akan 'hal' itu. Sekarang, aku melihatmu sebagai laki-laki berparas tampan yang ahli bermain gitar dan bercita-cita ingin menjadi pemain bola, dan yang menganggapku spesial. Kau lebih dari sekedar sahabat terbaik.

"Yang buatmu terpaku adalah apa yang telah mereka perbuat untukmu, lihatlah cahaya itu, ia seperti koneksi antara kau dan bintang," katamu sambil menunjuk ke arah satu bintang yang paling terang. "Sampaikan permohonanmu, cahaya akan menyampaikan permohonanmu kepada bintang dengan cepat. Seperti kata orang, suatu saat kau akan meraih bintang itu, bintang yang jadi permohonanmu itu," lanjutmu panjang lebar. Kalau membahas tentang bintang, kau memang jagonya.

Dalam hati aku mengungkapkan seluruh permohonanku, seluruh isi hatiku. Ini semua dengan pengharapan bahwa bintang akan mendengarkan dan mengabulkannya untukku.

"Sudah? May your wishes come true," katamu kemudian sambil mengulas senyum tipis. Senyum yang begitu manis, lebih manis daripada biasanya. Aku mengangguk pelan dan membalas senyummu itu.

Semua memori terasa seperti berputar ulang dalam otakku. Aku ingat tepat akan semua memori-memori indah yang telah kulalui bersamamu. Semua candaan, tawa, permainan bola konyol, pengakuan-pengakuan aneh, kata-kata indah, cedera parah, pertengkaran sengit, perpisahan, kecanggungan, dan pertemuan kita kembali. Rasanya seperti ingin mengulang bagian awalnya, namun aku menyadari, kalau tak ada perpisahan tentu saja tidak akan terjadi pertemuan indah seperti ini lagi. Seandainya aku tidak bertemu denganmu di studio kecil itu, mungkin kau tak akan pernah berbicara denganku lagi. Ini semua seperti rencana, semua sudah terencana.

Namun aku tahu kalau pertemuan kita sekarang ini hanyalah sebuah pertemuan antara 2 sahabat lama yang dulu begitu dekat. Yang mungkin saling mengagumi namun kemungkinannya kecil untuk bisa bersama. Hubungan kita mungkin tidak dapat lebih dekat daripada ini. Aku tak mau kalau semua ini cepat berlalu, aku tak mau kau cepat-cepat punya pacar, dan aku tidak ingin melihatmu tak bersamaku esok. Aku ingin tetap merasakan kehangatan persahabatan kita ini, selama mungkin yang aku bisa. Aku tidak ingin menghadapi hari esok tanpamu lagi, tak mau berpisah denganmu lagi, tak ingin berusaha melupakan semua kenangan-kenangan yang telah kita buat bersama-sama yang begitu indah ini hanya untuk merelakanmu bersama dengan orang lain.

"Inget nggak waktu dulu aku yakin banget kalau udah besar nanti kamu bakal jadi pacar aku?" tanyamu begitu yakin. Wajahmu memasang tampang konyol yang begitu lucu. Kau tertawa kecil.

"Tentu saja aku ingat," jawabku sambil ikutan tertawa kecil. Aku benar-benar ingat saat itu, tiba-tiba saja saat kau melihat ke arah suatu bintang terang, kau langsung berkata, "Aku yakin kalau sudah besar nanti kamu bakalan jadi pacar aku." Konyol, bukan? Kira-kira, umur kita saat itu masih 6 tahunan lah. Entah kenapa kau bisa kepikiran tentang hal itu.

"Aku menyadari sepertinya kita tidak bisa..." katamu sambil menatapku dalam. Begitu dalam, hingga dapat kurasakan bahwa tanganku merinding. Aku tahu kita memang tidak bisa, kemungkinannya hanya 0,1%

"Iya, aku juga mengerti," jawabku singkat sambil mengulas senyum datar. Kau masih melihat ke arahku walau aku sudah memalingkan wajahku ke arah LCD.

"Kau sudah punya pacar?" tanyamu tiba-tiba mengagetkanku.
"Belum kok, belajar dulu lah baru pacaran," jawabku.
"Sok alim kamu!" katamu sambil sedikit tertawa, "gebetan? Pasti punya dong!" ujarmu sambil tertawa puas karena telah menyatakan pertanyaan yang begitu memojokkanku.

Aku memang malu untuk mengakuinya, "Em.. oke, aku kalah."

"Siapa hayo?" tanyamu menggodaku, sial sekali!

Aku tak mau mengakuinya, namun memang benar ada seseorang yang selalu buat aku tersenyum ketika dia mau meminjam buku cetakku, di saat dia mau membalas pesan singkatku, walaupun kami sudah kenal lama namun hubungan kami merenggang akhir-akhir ini.

"Hahaha, siapapun gebetanmu, semoga kau berhasil mendapatkannya, ya!"

"Oke, sekarang kau yang harus mengakuinya!"

"Aku akan mengakuinya kalau kau juga mau mengakuinya!"

"Bintang tau, tanya saja sana sama bintang. Aku pernah menyebut namanya saat aku mengucapkan permohonanku kepada bintang,"

"Terserah deh, berarti kita seri!" kau tertawa lepas, kita tertawa lepas berdua, persis seperti saat kita mempermasalahkan sebuah donat saat kita kecil dulu. Semuanya terulang kembali, memori itu teringat lagi.

"Apapun keadannya, kalau kita masing-masing sudah punya pacar nanti, kau harus berjanji kalau kita berdua akan selalu menjadi teman yang baik. Apapun keadannya, kita akan tetap bersama," katamu sambil mengulurkan jari kelingkingmu, "katakan pada bintang kalau kau akan berjanji padaku."

Ini semua berat, kalau kita sudah punya yang lain nantinya, mungkin, kita tidak akan bisa seperti ini lagi, sedekat ini lagi, dan seakrab ini lagi.
Aku tak mau kehilangan kamu lagi, kalau boleh jujur. Aku ingin keadannya tetap seperti ini, aku tak mau melihat kita tumbuh besar namun tak bisa sedekat saat kita kecil dulu.

Namun, aku tak mau mengecewakanmu. Dan dengan berat hati aku berkata, "Aku berjanji," aku membalas uluran jari kelingkingmu sambil berkata kepada salah satu bintang. Aku dapat melihat dengan jelas senyuman manis darimu, kehangatan jari-jarimu yang lebih panjang daripada milikku, dan seketika itu juga kau menggenggam tanganku. Seperti seseorang yang benar-benar tidak ingin kehilangan sahabatnya, walaupun ia tau kalau ia tetap akan kehilangan sahabatnya itu suatu saat nanti.

Kau tentu tahu bahwa kita tak akan bisa selamanya selalu bersama, namun yang tak kau tahu adalah hal yang kuucapkan pada bintang.

Bintang tahu, Tuhan punya rencana terbaik untuk kita berdua.

           TO BE CONTINUED

Comments

Popular posts from this blog

A Thing About Yogyakarta, 2024

Elixir: [Track 6] Used to Me

Elixir : [Track 5] Yesterday Once More