Bisakah Kaubayangkan?
Sudah lama aku merasa tak terlihat dan diam di hadapanmu. Iya, sebenarnya sudah lama sekali, sejak awal kita masuk sekolah yang baru. Entah, entah apa yang buat kamu jadi begitu berubah. Aku belum pernah menanyakan hal itu sebelumnya.
Sudah lama aku tak pernah berbicara kepadamu. Iya, sebenarnya itu membunuhku pelan-pelan. Buatku kesepian dan termenung untuk menunggu pesan singkat darimu. Buatku gila setiap engkau membalasnya walau hanya beberapa huruf saja yang kau kirimkan.
Sudah lelah aku diam-diam dan pura-pura tak pernah kenal jika aku bertemu denganmu. Aku sudah jenuh harus tak pernah peduli di hadapanmu dan menjauhkan diriku darimu.
Kamu yang dulu selalu dekat denganku kini jauh ditelan bumi. Temanmu bukan lagi aku. Dan mungkin aku bukan lagi kau anggap temanmu.
Lalu, bagaimana caranya supaya kita bisa kembali seperti dahulu?
Siang ini aku termenung di depan kelas, melihat punggungmu yang hilang begitu saja dengan motor ninja yang dikendarai kakakmu itu. Kakakmu yang berjaket Manchaster United warna hitam sudah menunggumu dari tadi, tapi kamu justru masih bermain dengan temanmu yang lain.
Bagaimana aku bisa tahu? Tentu saja aku tahu, apakah kau lupa kalau kamu bercerita bahwa kakakmu sekolah di salah satu universitas terkenal di Bandung? Apakah kamu tak pernah tahu kalau kamu juga bercerita bahwa kakakmu sedang menikmati liburan musim panas di bulan Juli hingga Agustus? Apakah kamu lupa kalau kamu pernah menunjukkan kepadaku kakakmu itu? Kamu menceritakan itu semua kepadaku, dulu.
Kamu menggendong tas ransel berwarna hitam dengan sleret abu di depannya. Tanganmu yang merangkul tasmu erat-erat begitu memanggilku. Disaat kamu pulang, bayangmu selalu pergi begitu saja, tanpa pamit, tanpa salam.
Aku diam saja. Teman-temanku sudah pulang. Tinggal kakak-kakak kelas yang sedari tadi memainkan gitar sambil bernyanyi lagu-lagu galau yang tak jelas. Aku seperti orang hilang, linglung, tak mengerti apa yang terjadi.
Coba kalau ada kamu. Kamu belum pulang, duduk menunggu kakakmu tepat 1 meter di sisi kananku. Ya walaupun akan tetap canggung aku merasa terlindungi.
Kamu tentu akan diam saja sampai ada orang yang harus membuka pembicaraan diantara kita berdua.
"Belum pulang?"
"Belum."
"Oh..."
Canggung, sudah bisa kubayangkan percakapan itu pasti akan sangat canggung. Tapi bisa kubayangkan kamu meresponnya lagi.
"Kamu?"
"Belum juga."
"Oh.."
Percakapan yang sama, penuh dengan basa basi dan akan sangat membosankan. Kubayangkan lagi jika suatu saat hal itu benar-benar terjadi. Apa yang harus kulakukan setelahnya?
"Nunggu kakakmu?"
"Iya.."
"Oh, tumben belum dateng."
"Enggak tahu juga."
Mungkin sebaiknya aku harus mengganti topik supaya aku bisa mengembalikan suasana saat dulu aku dan kamu masih begitu akrab.
Aku juga bisa bayangkan kalau kau yang mulai berbicara lagi:
"Kangen?"
"Kangen apa?"
"Sama aku."
"Enggak, lah."
"Trus?"
"Trus apa?"
"Gakpapa."
Iya, wagu. Percakapan tersebut tidak akan masuk akal jadinya. Kamu yang biasa menganggap dirimu keren dan ganteng selalu bertanya seperti itu setiap kali membahas tentang 'kangen'. Tapi jika aku yang memulai percakapan tersebut:
"Kangen sama temen-temen SD?"
"Iya.."
"Sama. Reunian yuk."
"Kapan?"
"Kamu yang ngrencanain dong, kan kamu pemimpin."
"Enggak, ah."
Sosokmu yang enggak mau repot tentu saja tidak mau kalau mengurusi masalah reunian.
Lalu, pertanyaan apalagi yang harus kulontarkan ketika hal 'menunggu' itu benar-benar terjadi?
"Gimana kakakmu?"
"Baik-baik aja."
"Oh, di Bandung ya sekarang?"
"Iya."
Sepakbola, hal yang selalu buat kita asyik membicarakan hal itu seharian, dulu. Bisa kubayangkan jika aku menanyakan hal itu kepadamu :
"Semalem ada MU gak?"
"Gaktau, nih. Udah lama gak update."
"Oh iya, dirumahmu pake TV kabel juga kan? Aku juga, gak bisa nyetel BPL."
"Iya nih, jadi gak bisa nonton bola."
"Beli antena UHF aja."
"Untuk apa?"
"Biar bisa nyetel bola."
"Oh.."
Aku jadi ingat saat dulu kita sering bicara tentang TV dirumahmu yang juga memakai TV kabel. Kita selalu menonton Junior Masterchef Australia dan membahasnya di pagi hari.
Kamu suka membahas salah satu peserta perempuan yang sangat lucu dan aneh, ya sama anehnya juga denganmu. Aku selalu tersenyum saat mengingat-ingat hal itu.
"Masih suka Taylor Swift?"
"Em.. iya. Kamu?"
"Iya. Keren banget dia."
Entah kamu ingat atau tidak semua kejadian-kejadian yang sering kita perbincangkan saat dulu. Saat kita belum canggung seperti ini, saat kita masih akrab dan suka mengejek satu sama lain. Saat kita bisa saling nyaman kalau kita berbincang.
Situasi yang sekarang benar-benar berputar seratus-delapan-puluh-derajat ini membuatku merindukan masa-masa itu.
Iya, sayangnya waktu tidak bisa diulang lagi. Yang terlanjur tidak bisa ditarik lagi.
Sekarang, aku hanya bisa berharap supaya skenario yang telah aku bayangkan akan terjadi. Ya, walaupun tetap akan canggung.
Atau aku hanya akan terus melihat tas hitam sleret abumu yang hilang seiring jalannya sepeda motor ninja kakakmu.
Sudah lama aku tak pernah berbicara kepadamu. Iya, sebenarnya itu membunuhku pelan-pelan. Buatku kesepian dan termenung untuk menunggu pesan singkat darimu. Buatku gila setiap engkau membalasnya walau hanya beberapa huruf saja yang kau kirimkan.
Sudah lelah aku diam-diam dan pura-pura tak pernah kenal jika aku bertemu denganmu. Aku sudah jenuh harus tak pernah peduli di hadapanmu dan menjauhkan diriku darimu.
Kamu yang dulu selalu dekat denganku kini jauh ditelan bumi. Temanmu bukan lagi aku. Dan mungkin aku bukan lagi kau anggap temanmu.
Lalu, bagaimana caranya supaya kita bisa kembali seperti dahulu?
Siang ini aku termenung di depan kelas, melihat punggungmu yang hilang begitu saja dengan motor ninja yang dikendarai kakakmu itu. Kakakmu yang berjaket Manchaster United warna hitam sudah menunggumu dari tadi, tapi kamu justru masih bermain dengan temanmu yang lain.
Bagaimana aku bisa tahu? Tentu saja aku tahu, apakah kau lupa kalau kamu bercerita bahwa kakakmu sekolah di salah satu universitas terkenal di Bandung? Apakah kamu tak pernah tahu kalau kamu juga bercerita bahwa kakakmu sedang menikmati liburan musim panas di bulan Juli hingga Agustus? Apakah kamu lupa kalau kamu pernah menunjukkan kepadaku kakakmu itu? Kamu menceritakan itu semua kepadaku, dulu.
Kamu menggendong tas ransel berwarna hitam dengan sleret abu di depannya. Tanganmu yang merangkul tasmu erat-erat begitu memanggilku. Disaat kamu pulang, bayangmu selalu pergi begitu saja, tanpa pamit, tanpa salam.
Aku diam saja. Teman-temanku sudah pulang. Tinggal kakak-kakak kelas yang sedari tadi memainkan gitar sambil bernyanyi lagu-lagu galau yang tak jelas. Aku seperti orang hilang, linglung, tak mengerti apa yang terjadi.
Coba kalau ada kamu. Kamu belum pulang, duduk menunggu kakakmu tepat 1 meter di sisi kananku. Ya walaupun akan tetap canggung aku merasa terlindungi.
Kamu tentu akan diam saja sampai ada orang yang harus membuka pembicaraan diantara kita berdua.
"Belum pulang?"
"Belum."
"Oh..."
Canggung, sudah bisa kubayangkan percakapan itu pasti akan sangat canggung. Tapi bisa kubayangkan kamu meresponnya lagi.
"Kamu?"
"Belum juga."
"Oh.."
Percakapan yang sama, penuh dengan basa basi dan akan sangat membosankan. Kubayangkan lagi jika suatu saat hal itu benar-benar terjadi. Apa yang harus kulakukan setelahnya?
"Nunggu kakakmu?"
"Iya.."
"Oh, tumben belum dateng."
"Enggak tahu juga."
Mungkin sebaiknya aku harus mengganti topik supaya aku bisa mengembalikan suasana saat dulu aku dan kamu masih begitu akrab.
Aku juga bisa bayangkan kalau kau yang mulai berbicara lagi:
"Kangen?"
"Kangen apa?"
"Sama aku."
"Enggak, lah."
"Trus?"
"Trus apa?"
"Gakpapa."
Iya, wagu. Percakapan tersebut tidak akan masuk akal jadinya. Kamu yang biasa menganggap dirimu keren dan ganteng selalu bertanya seperti itu setiap kali membahas tentang 'kangen'. Tapi jika aku yang memulai percakapan tersebut:
"Kangen sama temen-temen SD?"
"Iya.."
"Sama. Reunian yuk."
"Kapan?"
"Kamu yang ngrencanain dong, kan kamu pemimpin."
"Enggak, ah."
Sosokmu yang enggak mau repot tentu saja tidak mau kalau mengurusi masalah reunian.
Lalu, pertanyaan apalagi yang harus kulontarkan ketika hal 'menunggu' itu benar-benar terjadi?
"Gimana kakakmu?"
"Baik-baik aja."
"Oh, di Bandung ya sekarang?"
"Iya."
Sepakbola, hal yang selalu buat kita asyik membicarakan hal itu seharian, dulu. Bisa kubayangkan jika aku menanyakan hal itu kepadamu :
"Semalem ada MU gak?"
"Gaktau, nih. Udah lama gak update."
"Oh iya, dirumahmu pake TV kabel juga kan? Aku juga, gak bisa nyetel BPL."
"Iya nih, jadi gak bisa nonton bola."
"Beli antena UHF aja."
"Untuk apa?"
"Biar bisa nyetel bola."
"Oh.."
Aku jadi ingat saat dulu kita sering bicara tentang TV dirumahmu yang juga memakai TV kabel. Kita selalu menonton Junior Masterchef Australia dan membahasnya di pagi hari.
Kamu suka membahas salah satu peserta perempuan yang sangat lucu dan aneh, ya sama anehnya juga denganmu. Aku selalu tersenyum saat mengingat-ingat hal itu.
"Masih suka Taylor Swift?"
"Em.. iya. Kamu?"
"Iya. Keren banget dia."
Entah kamu ingat atau tidak semua kejadian-kejadian yang sering kita perbincangkan saat dulu. Saat kita belum canggung seperti ini, saat kita masih akrab dan suka mengejek satu sama lain. Saat kita bisa saling nyaman kalau kita berbincang.
Situasi yang sekarang benar-benar berputar seratus-delapan-puluh-derajat ini membuatku merindukan masa-masa itu.
Iya, sayangnya waktu tidak bisa diulang lagi. Yang terlanjur tidak bisa ditarik lagi.
Sekarang, aku hanya bisa berharap supaya skenario yang telah aku bayangkan akan terjadi. Ya, walaupun tetap akan canggung.
Atau aku hanya akan terus melihat tas hitam sleret abumu yang hilang seiring jalannya sepeda motor ninja kakakmu.
Comments
Post a Comment