Pahlawan?
Drak Druk Drak Druk...
Aku berlari kesana kemari hingga keringat bercucuran di wajahku. Aku benar-benar kelelahan. Event lomba-lomba ini benar-benar menguras tenaga yang lumayan banyak. Banyak sekali. Kerjaanku hari ini tidak sekedar cuma, kami semua bekerja keras untuk lomba hari ini. Dan benar-benar menghabiskan energi yang sudah bukan lumayan lagi, tapi memang banyak.
Tidak, kesibukan ini tak buatku melupakanmu. Iya, sosokmu yang memang spesial itu, maksudku spesial hanya untukku. Benar, spesial sekali karena hanya akulah yang kau anggap tidak kelihatan. Iya, tak pernah terlihat di hadapanmu.
Enggak, aku tidak ingin balas dendam denganmu. Aku justru mencarimu setiap waktu, dan berusaha untuk menampakkan diriku dan membuktikan bahwa aku ini terlihat. Aku tahu jika kamu juga melihatku disana, hanya saja kamu tak ingin menganggapku ada. Sayangnya, kita beda pendapat.
Lomba yang terakhir, akhirnya.
Aku yang dari tadi hanya membawa tali rafia dan gunting itu kesana kemari, mulai menalikan tali kepada peserta-peserta lomba. Permainan ini berperaturan kedua kaki dan kedua tangan diikatkan dengan 2 teman lainnya, salah satu dari mereka harus membawa tongkat estafet yang harus mereka berikan kepada pasangan dari grup mereka. Mereka wajib berjalan atau melompat atau bahkan berlari untuk menuju ke grup dua dan garis finish. Ya, permainan ini paling merepotkan, aku dan beberapa temanku harus mengikatkan kaki dan tangan para peserta lomba.
"Semangat, ya teman-teman! Kalian pasti bisa!" ujarku semangat kepada teman-teman dari kelasku yang mengikuti lomba ini. Semangat mereka yang awalnya pudar karena melihat bahwa lawan mereka yang kebanyakan cowok-cowok pun akhirnya muncul kembali. Mereka tersenyum.
"Ganbatte!!"lanjutku sambil menepuk pundak teman-temanku.
Aku memberikan tongkat estafet kepada salah satu temanku, dan juga menyerahkan tongkat itu kepada perwakilan peserta dari grup lain.
Jantungku berdegup kencang saat mengetahui bahwa kamu juga mengikuti lomba itu. Bagaimana tidak? Aku yang juga menyerahkan tongkat itu kepadamu, kepada tanganmu, kepada sosokmu, benar-benar tidak kamu anggap.
"Nih, tongkatnya."
Entah kenapa, pernyataan itu tiba-tiba melayang saat aku memandangmu kala itu. Ya, aku ingin kamu bisa melihatku kali ini, setelah cukup lama kamu menganggapku tidak ada.
Kamu menerimanya dan sempat menggenggam seperseratus tanganku. Tak seberapa, kamu hanya memandangku sedetik kala itu. Aku melanjutkan langkahku dengan perasaan kecewa setengah mati.
Yap, permainan dimulai.
Aku menyemangati teman-temanku dan mendukung sepenuhnya perwakilan dari kelasku. Sebenarnya tidak penuh, duapuluhlima persen dukunganku untukmu. Kamu tampak lancar-lancar saja saat mengikuti lomba itu, perwakilan dari kelasku juga. Aku tersenyum senang dan memandang kearahmu waktu itu.
Selesai! Permainan selesai.
Kelasku mendapat juara 2 dari lomba itu. Aku senang sekali akhirnya kelas kami bisa memenangkan lomba itu juga. Aku berjingkrak-jingkrak tak jelas mengetahuinya.
Tapi tahukah kamu? Hatiku melompat-lompat sangat senang saat mengetahui bahwa kamu mendapat juara satu dalam perlombaan itu. Walaupun, ya, kamu sempat terjatuh karena tali itu.
Aduh.. Aduh.. Loro banget iki sikilku!! *)
Rintihan itu terasa memanggilku saat itu. Parah! Guntingnya, dimana gunting untuk memotong tali rafia itu?
Aku berlari ke seberang tempat perlombaan untuk mengambil cutter, terpaksa, gunting itu telah hilang dengan sendirinya.
Aku berlari kembali ke asal bunyi suara itu.
Tak asing, bunyi suara itu adalah suara lembutmu.
Aku berusaha untuk memotong tali rafia yang mengikat kakimu dengan kaki temanmu itu secepatnya. Payah! Cutter ini tak berfungsi sama sekali.
Temanmu mengambil cutter itu dan memotong tali-tali itu.
Akhirnyaaa!!
Candaan lepasmu itu lumayan membuatku lega. Iya, cutter, cutter itu telah menyelamatkanmu dari kesakitanmu gara-gara tali rafia yang diikatkan oleh temanku itu terlalu kencang.
"Kamu udah enggak apa-apa?"
Lagi, kata-kata itu tiba-tiba hilang begitu saja saat aku teringat bahwa teman satu kelasku juga merasakan kesakitan yang sama.
Aku memotong tali yang mengingatkan kaki ketiga temanku itu, lebih cepat lepas daripada saat aku memotong talimu tadi, susah dilepas.
"Makasih. Kamu memang pahlawan!" kata temanku sambil tersenyum.
"Pahlawan atas apa?"
Temanku tersenyum kecil.
"Atas semangatmu dan cuttermu itu. Benar-benar telah menyelamatkan kami. Terima kasih!"
Aku membalas senyum mereka sambil menengok menuju ke tempat dimana kamu tergeletak kesakitan tadi. Kamu sudah menghilang.
Tanpa terima kasih, tanpa senyuman, kamu pergi begitu saja.
Hal yang sama.
Jika temanku menganggapku pahlawan atas perbuatan kecilku tadi itu, jugakah kau?
*) dalam bahasa jawa, artinya aduh.. aduh.. kakiku sakit sekali
Aku berlari kesana kemari hingga keringat bercucuran di wajahku. Aku benar-benar kelelahan. Event lomba-lomba ini benar-benar menguras tenaga yang lumayan banyak. Banyak sekali. Kerjaanku hari ini tidak sekedar cuma, kami semua bekerja keras untuk lomba hari ini. Dan benar-benar menghabiskan energi yang sudah bukan lumayan lagi, tapi memang banyak.
Tidak, kesibukan ini tak buatku melupakanmu. Iya, sosokmu yang memang spesial itu, maksudku spesial hanya untukku. Benar, spesial sekali karena hanya akulah yang kau anggap tidak kelihatan. Iya, tak pernah terlihat di hadapanmu.
Enggak, aku tidak ingin balas dendam denganmu. Aku justru mencarimu setiap waktu, dan berusaha untuk menampakkan diriku dan membuktikan bahwa aku ini terlihat. Aku tahu jika kamu juga melihatku disana, hanya saja kamu tak ingin menganggapku ada. Sayangnya, kita beda pendapat.
Lomba yang terakhir, akhirnya.
Aku yang dari tadi hanya membawa tali rafia dan gunting itu kesana kemari, mulai menalikan tali kepada peserta-peserta lomba. Permainan ini berperaturan kedua kaki dan kedua tangan diikatkan dengan 2 teman lainnya, salah satu dari mereka harus membawa tongkat estafet yang harus mereka berikan kepada pasangan dari grup mereka. Mereka wajib berjalan atau melompat atau bahkan berlari untuk menuju ke grup dua dan garis finish. Ya, permainan ini paling merepotkan, aku dan beberapa temanku harus mengikatkan kaki dan tangan para peserta lomba.
"Semangat, ya teman-teman! Kalian pasti bisa!" ujarku semangat kepada teman-teman dari kelasku yang mengikuti lomba ini. Semangat mereka yang awalnya pudar karena melihat bahwa lawan mereka yang kebanyakan cowok-cowok pun akhirnya muncul kembali. Mereka tersenyum.
"Ganbatte!!"lanjutku sambil menepuk pundak teman-temanku.
Aku memberikan tongkat estafet kepada salah satu temanku, dan juga menyerahkan tongkat itu kepada perwakilan peserta dari grup lain.
Jantungku berdegup kencang saat mengetahui bahwa kamu juga mengikuti lomba itu. Bagaimana tidak? Aku yang juga menyerahkan tongkat itu kepadamu, kepada tanganmu, kepada sosokmu, benar-benar tidak kamu anggap.
"Nih, tongkatnya."
Entah kenapa, pernyataan itu tiba-tiba melayang saat aku memandangmu kala itu. Ya, aku ingin kamu bisa melihatku kali ini, setelah cukup lama kamu menganggapku tidak ada.
Kamu menerimanya dan sempat menggenggam seperseratus tanganku. Tak seberapa, kamu hanya memandangku sedetik kala itu. Aku melanjutkan langkahku dengan perasaan kecewa setengah mati.
Yap, permainan dimulai.
Aku menyemangati teman-temanku dan mendukung sepenuhnya perwakilan dari kelasku. Sebenarnya tidak penuh, duapuluhlima persen dukunganku untukmu. Kamu tampak lancar-lancar saja saat mengikuti lomba itu, perwakilan dari kelasku juga. Aku tersenyum senang dan memandang kearahmu waktu itu.
Selesai! Permainan selesai.
Kelasku mendapat juara 2 dari lomba itu. Aku senang sekali akhirnya kelas kami bisa memenangkan lomba itu juga. Aku berjingkrak-jingkrak tak jelas mengetahuinya.
Tapi tahukah kamu? Hatiku melompat-lompat sangat senang saat mengetahui bahwa kamu mendapat juara satu dalam perlombaan itu. Walaupun, ya, kamu sempat terjatuh karena tali itu.
Aduh.. Aduh.. Loro banget iki sikilku!! *)
Rintihan itu terasa memanggilku saat itu. Parah! Guntingnya, dimana gunting untuk memotong tali rafia itu?
Aku berlari ke seberang tempat perlombaan untuk mengambil cutter, terpaksa, gunting itu telah hilang dengan sendirinya.
Aku berlari kembali ke asal bunyi suara itu.
Tak asing, bunyi suara itu adalah suara lembutmu.
Aku berusaha untuk memotong tali rafia yang mengikat kakimu dengan kaki temanmu itu secepatnya. Payah! Cutter ini tak berfungsi sama sekali.
Temanmu mengambil cutter itu dan memotong tali-tali itu.
Akhirnyaaa!!
Candaan lepasmu itu lumayan membuatku lega. Iya, cutter, cutter itu telah menyelamatkanmu dari kesakitanmu gara-gara tali rafia yang diikatkan oleh temanku itu terlalu kencang.
"Kamu udah enggak apa-apa?"
Lagi, kata-kata itu tiba-tiba hilang begitu saja saat aku teringat bahwa teman satu kelasku juga merasakan kesakitan yang sama.
Aku memotong tali yang mengingatkan kaki ketiga temanku itu, lebih cepat lepas daripada saat aku memotong talimu tadi, susah dilepas.
"Makasih. Kamu memang pahlawan!" kata temanku sambil tersenyum.
"Pahlawan atas apa?"
Temanku tersenyum kecil.
"Atas semangatmu dan cuttermu itu. Benar-benar telah menyelamatkan kami. Terima kasih!"
Aku membalas senyum mereka sambil menengok menuju ke tempat dimana kamu tergeletak kesakitan tadi. Kamu sudah menghilang.
Tanpa terima kasih, tanpa senyuman, kamu pergi begitu saja.
Hal yang sama.
Jika temanku menganggapku pahlawan atas perbuatan kecilku tadi itu, jugakah kau?
*) dalam bahasa jawa, artinya aduh.. aduh.. kakiku sakit sekali
Comments
Post a Comment