Tatapan Itu, Selalu Begitu

Aku terdiam pagi itu, merenung. Pelajaran usai saat pelajaran ketiga, bukan berarti kami pulang awal. Hari itu ada bazaar di sekolah kami, dan kami harus datang ke bazaar tersebut.
Mood ku pagi itu tidak terlalu baik, aku tahu kalau aku harus menjaga stand hingga malam nanti. Belum lagi seleksi lomba yang wajib diikuti, cukup menyiksa memang. 
Aku menyandarkan tubuhku di tembok serambi kelas, banyak anak yang melakukannya juga. Aku hanya kelelahan saja, tadi malam aku terjaga sampai cukup malam juga, aku ingin santai, ingin rileks, tapi kenyataannya hari ini beberapa pekerjaan menungguku.
Pintu-pintu kelas tempat seleksi belum terbuka, aku melihat-lihat kebawah dari depan kelasku. Aku melihat kekanan-kekiri, teman-temanku ternyata sedang sibuk dibawah, disitu hanya ada aku dan angin yang sedang merenung, betapa melelahkannya akhir-akhir ini. Saat pintu kelas sebelah dibuka, suasana yang tenang itu jadi ribut. Aku jengkel, tapi tetap berusaha tenang.

Banyak anak-anak seumuranku yang muncul dari pintu kelas itu, termasuk kamu. Aku melihatmu sebentar, cuma sebentar, tapi aku membalikkan badanku lagi untuk melihat-lihat bazaar yang ada dibawah. Sebenarnya bukan itu, sih tujuanku, cuma ingin mengalihkan perhatianmu yang tiba-tiba menangkap basah aku yang hanya iseng melihatmu. Selalu begitu, selalu begitu.

Akhir-akhir ini rasanya melelahkan, tapi akhir-akhir ini rasanya juga membingungkan. Tatapan mu di setiap istirahat, ah tak usah muluk-muluk, disetiap kita bertemu, selalu begitu, selalu begitu. Aku selalu tertangkap basah telah melihat kamu olehmu sendiri. Lalu aku harus mengalihkan pandanganku pada objek yang tak jelas. Aku tidak tahu apa artinya, tapi aku juga tidak tahu apa sebabnya.

Kita sudah tidak pernah berbicara lagi, sejak saat itu, sejak kita berpisah dan tidak pernah merasa melihat satu sama lain lagi, walaupun aku tahu sebenarnya kau ada di hadapanku saat itu, dan kau juga tahu kalau aku ada di hadapanmu. Kita hanya bisa menatap satu sama lain, mata ke mata, tapi bukan hati ke hati. Hanya beberapa detik, kita menatap bersama, rasanya malapetaka. Kau tidak menghakimiku dengan tatapan seperti itu, dulu. Aku jadi merasa tidak terlihat, hanya olehmu. Kamu jadi berubah, tidak seperti yang dulu lagi.

Selalu begitu. Aku bertemu denganmu, menatapmu hanya untuk beberapa detik, dan bukan untuk tujuan apa-apa, dan tak berharap tatapanku ini dibalas olehmu. Tapi, kau, selalu membalas tatapan itu. Aku jadi salah tingkah, aku jadi jengkel, aku jadi murka, karena kamu selalu membalas tatapanku yang tak berarti itu. Aku kan jadi merasa GR, padahal aku tahu tatapanmu itu juga tidak berarti apa-apa. Buktinya, kita saja tidak pernah berbicara, begitu saja mau mengharapkan lebih, sudahlah jangan terlalu banyak berangan.

Berhenti dengan lamunanku yang mengarah ke bawah, aku mendongak ke kanan dan ke kiri, ramai orang. Banyak juga yang lagi melamun sepertiku. Aku jadi merasa sendiri, untungnya angin mau menemaniku sebentar saat itu. Hanya untuk beberapa saat, setelah itu dia pergi entah kemana. Kamu dan bayangmu, hanya itu yang bisa kulihat setelah angin pergi.

Rasanya ingin marah kepada angin, kenapa dia meninggalkanku dengan orang yang bahkan tidak pernah bisa menganggapku terlihat. Aku juga murka kepadanya karena dia meninggalkanku hanya berdua dengan orang yang tidak pernah mengajakku berbicara lagi. Tambah lagi, aku juga jengkel kepada angin, dia tega meninggalkanku dengan orang yang hanya membaca pesan singkatku, dan bahkan tidak membalasnya. Angin memang jahat, telah meninggalkanku dengan orang yang meninggalkan banyak kenangan sebelum kami mengetahui bahwa ada sesuatu yang aneh diantara persahabatan kami. Dan mungkin aku sebabnya.

Aku mengarahkan kepalaku kearahmu. Aku melihatmu untuk beberapa saat, dan memberanikan diri untuk melihatmu menatapku lagi.

Benar, kau membalas tatapanku, dan bahkan saat aku belum membalikkan posisi kepalaku, kaupun juga tidak menyudahi tatapanmu itu. Aku berusaha kuat untuk menatapmu selama yang kubisa saat itu. Hingga terucap kata-kata diluar batasku:

"Sampai kapan kita akan bertatap-tatapan seperti ini?"

Kamu yang dari tadi menatap mataku, hingga saat ini, malah terdiam. Sekarang aku terdiam dan menyesal telah melontarkan pertanyaan itu. Aku balik melamun ke arah bawah.

"Aku sendiri juga enggak tahu."

Kamu menjawabnya kala itu. Aku balik menatap matamu lagi, tapi sayangnya kamu sudah balik melamunkan bayangmu ke bawah. Aku pun melakukan hal yang sama, dan menyadari hanya ada aku dan kamu disitu, cuma berdua, tapi serasa belum pernah kenal.

Sampai saat ini, tatapan itu belum bisa ku artikan, apa kamu juga merasakan yang sama? Atau mungkin kamu masih juga dendam denganku?
Aku juga tidak tahu.



Comments

Popular posts from this blog

A Thing About Yogyakarta, 2024

Elixir: [Track 6] Used to Me

Elixir : [Track 5] Yesterday Once More