Karena Kamu Tidak Tahu Rasanya Jadi Aku
Untuk tertidur sambil mendengarkan musik di kamar rasanya sangat
mudah bagiku. Hari ini kami mendapatkan tugas yang cukup banyak, belum
juga beberapa tugas menumpuk untuk besok.
Tidak, aku tidak membiarkan egoku untuk tertidur dan terdiam saja sambil mendengarkan musik. Aku mengambil laptop dan mengotak atik imajinasiku kembali. Menulis blog, rutinitas yang hampir setiap minggu kulakukan. Ya memang benar, hanya blog lah yang bisa mengerti apa yang aku rasakan saat ini. Hanya ia yang mau mendengarkan curhatanku, bahkan mendengar rintihan-rintihan tak jelas yang sering kurasakan.
Tidak, tidak semua yang kutulis tentang kamu. Kenapa? Aku khawatir jika suatu saat kamu akan membaca seluruh isi blog ini dan kamu menyadari bahwa semua yang kutulis ini adalah tentang kamu. Aku tak ingin suasana menjadi bertambah buruk, seiring kamu yang sekarang tak pernah peduli lagi tentangku.
Aku tidak ingin kamu menambah jarak yang telah kita-yang secara tidak otomatis-tentukan. Aku tidak ingin kita semakin tidak bisa berbicara lagi, atau bahkan tak akan berbicara lagi.
Benar, aku ingin kita yang dulu.
Pesan singkatku dengan teman dekatku kala itu telah membuatku lumayan kehilangan sedikit harapan. Bukankah sangat parah ketika kamu kehilangan sebuah harapan, dan harapan itu hanya sedikit?
Aku memberitahunya supaya ia membaca postinganku yang baru.
"Tentang dia lagi?"tanyanya.
"Tidak, belum tentu juga."
"Sudahlah, berhenti berbohong. Aku sudah tahu."
Dia suka memojokkanku seperti itu. Ya, dia tahu dan aku juga sering menceritakannya tentang kamu. Ya, tak semuanya kuceritakan. Pendengar yang baik? Umm.. ya mungkin bisa dikategorikan.
"Sudah baca? Kalo belum kamu retweet aja. Link nya udah aku masukin di twitter."
"Um, belom. Oke, aku retweet deh."
Benar, dia me retweetnya dan melaporkannya. Ya, walaupun katanya meretweet dengan setengah hati.
"Kenapa kok setengah hati?"
"Ah, kamu lupa tentang kode-kode itu? Semua selalu diartikan dengan salah paham oleh mereka-mereka itu."
Iya, dia punya banyak fans, kenyataannya begitu. Banyak laki-laki yang mengejarnya, walaupun sebenarnya ia tidak menyukai kebanyakan dari mereka.
"Kalau di salah artikan nanti bagaimana? Bisa salah fatal! Nanti kalau mereka ke GR an bagaimana? Padahal aku tidak menyukai mereka. Dan bagaimana kalau aku dikira seorang PHP?"
"Ah, enggak mungkin. Enggak usah mikir sampai kesitu deh."
Dia sosok yang bertanggung jawab dan tidak ingin nama baiknya tercoreng. Ia sering berfikir sampai sangat berlebihan menurutku. Iya sering menggunakan kata 'Kalau begitu nanti gimana?'. Iya, sampai yang mendengarnyapun bosan.
"Makanya nanggepinnya enggak usah berlebihan dong,"jawabku lagi.
"Bukan begitu, kadang mereka itu menganggap semuanya itu adalah tanda. Aku kan enggak mau nge PHP mereka."
"Ya mungkin kamu harus meyakinkan mereka kalo kamu gak suka sama mereka."
Ia membalasnya lagi, tentu saja, ia tak pernah ingin kalah ngeyel denganku.
"Iya, aku udah menjauh dari mereka supaya mereka enggak ke GR an. Tapi kenyataannya? Mereka kelihatannya masih saja berharap."
Deg. Kata itu begitu menggugahku.
"Jadi, menjauhkan diri adalah satu-satunya cara supaya dia tidak me - PHP?"
"Iya, benar."
"Lalu, dia benar-benar tidak suka sampai-sampai nge jauhin dan tidak pernah peduli lagi?"
"Bukannya tidak pernah peduli lagi, paling tidak enggak sedeket dulu lagi gitu."
Rasanya seperti hilang ditelan kata-katanya itu.
Begitu menusuk, oke itu terlalu muluk-muluk, terlalu membuat sakit. Ah, entah kata apa lagi yang bisa kuungkapkan supaya kesannya tidak terlalu lebay juga.
"Jadi, kalau tidak terlalu akrab dan menjauh, yang sangat jauh, itu namanya apa?"tanyaku lagi. Benar, pernyataannya tadi masih begitu membekas.
"Enggak terlalu akrab dan menjauh? Itu namanya bersikap formil dengan tujuan supaya tidak mem-PHP orang,"jelasnya lagi, seperti profesional. Seperti, bukan seorang profesional.
"Dan artinya, dia tidak menyukai kita? Yang telah benar-benar berjuang ini?"
"Iya, karena dia enggak suka tapi dia tahu kalau kita suka sama dia, jadi dia menjaga jarak sama kita, supaya kita enggak GR."
Rasanya dunia seperti berhenti beberapa detik. Bukan, ini bukan pernyataan membahagiakan seperti yang ada pada novel-novel itu. Ini pernyataan kesedihan dan terlalu menyakitkan. Terlalu berlebihan memang, tapi memang kenyataannya begitu.
Apa benar perjuanganku selama ini sia-sia?
"Menurutmu, tindakan itu pantas?"tanyaku lagi dan lagi, yang terus ingin bertanya itu.
"Iya, tindakannya baik dan tepat."
Seorang yang seperti profesional saja berkata begitu. Apakah benar denganmu?
"Caranya mungkin salah,"kataku mengelak semua pernyataan-pernyataannya.
"Karena itu adalah satu-satunya cara."
"Tapi, apakah tidak bisa dengan cara : "Maaf, tapi aku tidak menyukaimu. Kita bisa kan menjadi teman yang baik seperti dulu lagi tanpa harus canggung-canggungan? Aku tetap ingin menjadi teman yang baik untukmu."
"Itu kalau orangnya mau jujur dan mengaku langsung. Tapi kalau tidak? Memang harus dijauhin dengan cara seperti itu."
"Tapi bukankah seperti itu malah sangat menyakitkan? Mungkin kamu bertindak seperti itu karena kamu belum merasakan jadi mereka."
Aku yang dari tadi berusaha sebisa mungkin mengelak semua pernyataan-pernyataannya benar-benar tidak ingin kehilangan sepatah katapun supaya semua pernyataan yang dilontarkan itu salah.
"Bukan begitu, kalau langsung bilang begitu kan takutnya orang itu yang kegeeran kalo kita suka dengannya. Kalau tidak? Bisa fatal."
"Tapi kalau dia udah tahu kalau kita benar-benar menyukainya dan dia melihat semua perjuangan yang telah kita lakukan, bagaimana?"
"Itu berat. Memfrontalkan seperti itu tidak pernah mudah,"katanya lagi.
Iya, aku tidak ingin semua pernyataan yang ia sebutkan tadi adalah benar. Aku benar-benar tidak ingin merasa kehilangan kesempatan.
Aku ingin kita bisa tetaap akrab, walau sebatas angin lalu saja.
"Yang jelas, yang namanya bertepuk sebelah tangan itu tidak pernah enak. Lebih tidak enak lagi kalau kita dulunya sangat dekat dengannya."
Jadi, apa lagi yang harus bisa aku elak lagi kalau kenyataan benar-benar sudah membuktikannya.
Iya, aku harap kamu bisa mengerti rasanya jadi aku. Itu saja.
Tidak, aku tidak membiarkan egoku untuk tertidur dan terdiam saja sambil mendengarkan musik. Aku mengambil laptop dan mengotak atik imajinasiku kembali. Menulis blog, rutinitas yang hampir setiap minggu kulakukan. Ya memang benar, hanya blog lah yang bisa mengerti apa yang aku rasakan saat ini. Hanya ia yang mau mendengarkan curhatanku, bahkan mendengar rintihan-rintihan tak jelas yang sering kurasakan.
Tidak, tidak semua yang kutulis tentang kamu. Kenapa? Aku khawatir jika suatu saat kamu akan membaca seluruh isi blog ini dan kamu menyadari bahwa semua yang kutulis ini adalah tentang kamu. Aku tak ingin suasana menjadi bertambah buruk, seiring kamu yang sekarang tak pernah peduli lagi tentangku.
Aku tidak ingin kamu menambah jarak yang telah kita-yang secara tidak otomatis-tentukan. Aku tidak ingin kita semakin tidak bisa berbicara lagi, atau bahkan tak akan berbicara lagi.
Benar, aku ingin kita yang dulu.
Pesan singkatku dengan teman dekatku kala itu telah membuatku lumayan kehilangan sedikit harapan. Bukankah sangat parah ketika kamu kehilangan sebuah harapan, dan harapan itu hanya sedikit?
Aku memberitahunya supaya ia membaca postinganku yang baru.
"Tentang dia lagi?"tanyanya.
"Tidak, belum tentu juga."
"Sudahlah, berhenti berbohong. Aku sudah tahu."
Dia suka memojokkanku seperti itu. Ya, dia tahu dan aku juga sering menceritakannya tentang kamu. Ya, tak semuanya kuceritakan. Pendengar yang baik? Umm.. ya mungkin bisa dikategorikan.
"Sudah baca? Kalo belum kamu retweet aja. Link nya udah aku masukin di twitter."
"Um, belom. Oke, aku retweet deh."
Benar, dia me retweetnya dan melaporkannya. Ya, walaupun katanya meretweet dengan setengah hati.
"Kenapa kok setengah hati?"
"Ah, kamu lupa tentang kode-kode itu? Semua selalu diartikan dengan salah paham oleh mereka-mereka itu."
Iya, dia punya banyak fans, kenyataannya begitu. Banyak laki-laki yang mengejarnya, walaupun sebenarnya ia tidak menyukai kebanyakan dari mereka.
"Kalau di salah artikan nanti bagaimana? Bisa salah fatal! Nanti kalau mereka ke GR an bagaimana? Padahal aku tidak menyukai mereka. Dan bagaimana kalau aku dikira seorang PHP?"
"Ah, enggak mungkin. Enggak usah mikir sampai kesitu deh."
Dia sosok yang bertanggung jawab dan tidak ingin nama baiknya tercoreng. Ia sering berfikir sampai sangat berlebihan menurutku. Iya sering menggunakan kata 'Kalau begitu nanti gimana?'. Iya, sampai yang mendengarnyapun bosan.
"Makanya nanggepinnya enggak usah berlebihan dong,"jawabku lagi.
"Bukan begitu, kadang mereka itu menganggap semuanya itu adalah tanda. Aku kan enggak mau nge PHP mereka."
"Ya mungkin kamu harus meyakinkan mereka kalo kamu gak suka sama mereka."
Ia membalasnya lagi, tentu saja, ia tak pernah ingin kalah ngeyel denganku.
"Iya, aku udah menjauh dari mereka supaya mereka enggak ke GR an. Tapi kenyataannya? Mereka kelihatannya masih saja berharap."
Deg. Kata itu begitu menggugahku.
"Jadi, menjauhkan diri adalah satu-satunya cara supaya dia tidak me - PHP?"
"Iya, benar."
"Lalu, dia benar-benar tidak suka sampai-sampai nge jauhin dan tidak pernah peduli lagi?"
"Bukannya tidak pernah peduli lagi, paling tidak enggak sedeket dulu lagi gitu."
Rasanya seperti hilang ditelan kata-katanya itu.
Begitu menusuk, oke itu terlalu muluk-muluk, terlalu membuat sakit. Ah, entah kata apa lagi yang bisa kuungkapkan supaya kesannya tidak terlalu lebay juga.
"Jadi, kalau tidak terlalu akrab dan menjauh, yang sangat jauh, itu namanya apa?"tanyaku lagi. Benar, pernyataannya tadi masih begitu membekas.
"Enggak terlalu akrab dan menjauh? Itu namanya bersikap formil dengan tujuan supaya tidak mem-PHP orang,"jelasnya lagi, seperti profesional. Seperti, bukan seorang profesional.
"Dan artinya, dia tidak menyukai kita? Yang telah benar-benar berjuang ini?"
"Iya, karena dia enggak suka tapi dia tahu kalau kita suka sama dia, jadi dia menjaga jarak sama kita, supaya kita enggak GR."
Rasanya dunia seperti berhenti beberapa detik. Bukan, ini bukan pernyataan membahagiakan seperti yang ada pada novel-novel itu. Ini pernyataan kesedihan dan terlalu menyakitkan. Terlalu berlebihan memang, tapi memang kenyataannya begitu.
Apa benar perjuanganku selama ini sia-sia?
"Menurutmu, tindakan itu pantas?"tanyaku lagi dan lagi, yang terus ingin bertanya itu.
"Iya, tindakannya baik dan tepat."
Seorang yang seperti profesional saja berkata begitu. Apakah benar denganmu?
"Caranya mungkin salah,"kataku mengelak semua pernyataan-pernyataannya.
"Karena itu adalah satu-satunya cara."
"Tapi, apakah tidak bisa dengan cara : "Maaf, tapi aku tidak menyukaimu. Kita bisa kan menjadi teman yang baik seperti dulu lagi tanpa harus canggung-canggungan? Aku tetap ingin menjadi teman yang baik untukmu."
"Itu kalau orangnya mau jujur dan mengaku langsung. Tapi kalau tidak? Memang harus dijauhin dengan cara seperti itu."
"Tapi bukankah seperti itu malah sangat menyakitkan? Mungkin kamu bertindak seperti itu karena kamu belum merasakan jadi mereka."
Aku yang dari tadi berusaha sebisa mungkin mengelak semua pernyataan-pernyataannya benar-benar tidak ingin kehilangan sepatah katapun supaya semua pernyataan yang dilontarkan itu salah.
"Bukan begitu, kalau langsung bilang begitu kan takutnya orang itu yang kegeeran kalo kita suka dengannya. Kalau tidak? Bisa fatal."
"Tapi kalau dia udah tahu kalau kita benar-benar menyukainya dan dia melihat semua perjuangan yang telah kita lakukan, bagaimana?"
"Itu berat. Memfrontalkan seperti itu tidak pernah mudah,"katanya lagi.
Iya, aku tidak ingin semua pernyataan yang ia sebutkan tadi adalah benar. Aku benar-benar tidak ingin merasa kehilangan kesempatan.
Aku ingin kita bisa tetaap akrab, walau sebatas angin lalu saja.
"Yang jelas, yang namanya bertepuk sebelah tangan itu tidak pernah enak. Lebih tidak enak lagi kalau kita dulunya sangat dekat dengannya."
Jadi, apa lagi yang harus bisa aku elak lagi kalau kenyataan benar-benar sudah membuktikannya.
Iya, aku harap kamu bisa mengerti rasanya jadi aku. Itu saja.
Comments
Post a Comment